Tanpa di sadari, kita senantiasa menjalani hidup ini dengan ‘auto-pilot’. Raga kita menjalani aktivitas sehari-hari seperti berjalan kaki, naik kendaraan, makan, minum, dan sebagainya, tetapi “kita tidak benar-benar hadir di sana”.
Physically we are doing regular stuffs but our mind was venturing elsewhere.
We are not present. We are either strolled back to the past, or flown away into the imagination of futures, or something in between.
Kita jadi seperti robot. Zombie. Walking dead.
Pagi itu di tahun 2014, ketika saya masih kuliah di United Kingdom, sekitar pukul 7.00 GMT, saya berjalan kaki dari flat menuju terminal bus. Rutenya sama. Pemandangan sekitaran jalannya sama, hanya saja lebih sepi, meski di kala itu matahari sudah bersinar terang.
Biasanya saya pun berjalan dengan mode auto pilot. Kaki dan tubuh ini seperti sudah di program untuk menuju tujuan tanpa cela sedikit pun. Dan saat itu juga pikiran saya pun telah berpergian melintasi ruang dan waktu ke tempat lain sesuka hatinya.
Tetapi tidak pagi itu.
Sepanjang jalan saya memandangi sekitar saya. Gedung kampus, jalanan yang sepi, rumah-rumah penduduk, pub dan bar, rumput-rumput hijau, bunga-bunga di taman yg berwarna-warni.
Seketika saya pun terpesona menyadari bahwa kini saya sudah sedemikian terbiasanya hidup di sini.
Hidup jauh dari rumah. Jauh dari semua yg saya ketahui dan kenali selama 28 tahun.
Somehow saya pun menyadari betapa kecil dan sendirinya diri ini, terlepas dari banyaknya teman dan sahabat yg senantiasa hadir baik secara fisik maupun maya.
In fact, we are always alone. If not now, then tomorrow. If not in this life, then in our deathbed.
We are meant to be alone in the end.
I am humbled.