Sepertinya memang benar.
Adalah sulit untuk konsisten ketika reward yg kita inginkan tidak segera datang.
Betapa sulitnya mendidik diri ini untuk menghargai proses yang panjang dan berkesinambungan.
Betapa laparnya diri ini akan sesuatu yg serba instan dan cepat, tanpa melibatkan usaha yg banyak.
Sungguh berbahaya.
Secara tidak sadar, kecenderungan ini melemahkan integritas diri, mengkerdilkan keteguhan hati, serta menciutkan kedisiplinan mental.
All my life, saya selalu melihat banyak hal digambarkan melalui kurva lonceng. Orang-orang yg katanya “berhasil” (apapun bentuknya) jumlahnya selalu sedikit.. Termasuk yg terbilang “gagal”, di mana jumlah mereka sama sedikitnya dengan mereka yg berhasil. Mereka tergambarkan dengan sisi-sisi lonceng yg menurun.
Yg paling banyak jumlahnya adalah mereka yang “biasa-biasa” saja. Tergambarkan dengan badan lonceng yg gemuk dan lebar.

Yang harus diyakini pasti adalah bahwa the progress is real. And its lingering effect should be felt soon if we are to keep going and not giving in to the laziness or boredom.
Barangkali kuncinya adalah menjaga agar rantai konsistensi ini tetap terjaga dan jangan sampai putus.
Ketika terputus, tidak akan ada efek apa2 kecuali judgment hebat dari sendiri tentang betapa payah dan lemahnya diri ini. Sesuatu yg mengerikan.
Ketika si rantai konsistensi dan disiplin bisa terus dijaga, dari hari ke harinya, ada reward yg sesungguhnya datang dengan instan : Perasaan yang sangat enak untuk dirasakan seharian.
Perasaan memiliki kuasa penuh atas diri sendiri dengan kepercayaan diri yang solid.
Perasaan bahwa diri ini tidaklah seperti apa yg dihakimi oleh diri sendiri selama ini.
Rasa kemenangan.
Perasaan transformasi diri yg membebaskan.
Ini adalah sebuah pembuktian diri. Bukan kepada orang lain, melainkan kepada sang hakim yg ada di dalam diri ini. Sang hakim yg selama ini sudah terlanjur menghakimi diri sendiri dengan label pemalas, indisipliner, inkonsisten, lemah integritas, dan hal-hal buruk lainnya.
Still a long way to go.