Black Mirror S2E2 – White Bear

Saya amazed dengan episode ini.

Menjadikan pelaksanaan hukuman sebagai salah satu atraksi atau wahana untuk hiburan (sekaligus edukasi?) bagi masyarakat, di mana sang terhukum akan terus menjalani hukuman yg sama berulang-ulang (seperti gambaran neraka pada beberapa agama).

Di White Bear, diceritakan seorang wanita yang harus survive dari kejaran terror orang-orang tak dikenal hanya untuk dikhianati oleh orang lain yg menolongnya selama ini, dan diperlihatkan bahwa selama ini dirinya merupakan tontonan orang banyak. Ternyata wanita ini merupakan terdakwa pembunuhan seorang anak kecil, dan simulasi ini merupakan hukuman abadi baginya.

Di masa mendatang yg digambarkan Black Mirror, hukuman bagi penjahat dapat di-customize menjadi sesuatu yang lebih mengerikan ketimbang penjara seumur hidup maupun hukuman mati.

For some criminal deeds, death or lifetime prison is just too easy.

Black Mirror S2E1 – Be Right Back

Ketika kehadiran dan kepribadian seseorang dapat direplikasi ke dalam representasi teks, suara, maupun bentuk fisik, lantas bagaimana seseorang memaknai kematian dan kehilangan ?

Kemungkinan itu tergambar jelas pada Be Right Back. Ketika seorang significant other meninggal dunia, maka terdapat program kecerdasan buatan yg dapat mereplikasi kepribadiannya lewat pola-pola yang ditemukan dari postingan media sosial orang yang meninggal tersebut. Setelah itu kepribadian ini dihadirkan menjadi bentuk teks dan atau suara telepon yang dapat berinteraksi langsung dengan si pasangan yang tengah kehilangan. Lebih gila lagi, kecerdasan buatan ini, dapat belajar melalui interaksi sehari-harinya sehingga mampu menjadi seseorang yang sudah pergi tersebut sepenuhnya.

Pada tingkatan yang lebih hebat, kehadiran ini dapat berupa kehadiran fisik sesungguhnya meskipun terbuat dari bahan sintesis.

Bisa dibayangkan kalau seorang yg dekat dengan kita meninggal, kemudian kita tidak benar-benar kehilangan dirinya karena kehadirannya dapat digantikan dengan kecerdasan buatan yang dapat dibuat persis seperti orang tersebut ? Akankah kita memaknai kematian dan kepergian dengan cara yang sama ?

Black Mirror S2E4 – White Christmas

Apa itu kesadaran ? Apa itu jiwa ? Di mana kesadaran dan jiwa manusia sesungguhnya berada ?

Pertanyaan tersebut terpantik setelah saya menonton White Christmas.

Meski narasi dan gaya penceritaannya sengaja berlapis sehingga membuat penonton penasaran, namun pada akhirnya pertanyaan itulah yang muncul di benak ini.

White Christmas sebetulnya menceritakan tentang 2 hal terkait kemajuan teknologi, namun keduanya dibungkus ke dalam satu vocal point : Keterasingan.

Kemajuan teknologi yang pertama adalah mata kita dapat langsung terintegrasi dengan kamera, namun kalau itu masih mencengangkan, melalui teknologi yang sama, kita bisa “memblok” kehadiran seseorang menjadi siluet abu-abu dengan suara yang dipendam. Tentu kita familiar dengan fitur “blocking” baik di Whatsapp maupun media sosial lain. This time, White Christmas menggambarkan bahwa seseorang bisa memblok orang lainnya secara fisik, sehingga mereka tidak bisa melihat satu sama selain selain siluet abu-abu dan tidak bisa mendengar apapun dari mereka kecuali suara terpendam.

Di sinilah keterasingan yang pertama dimunculkan. Teknologi memungkinkan seseorang diasingkan sepenuhnya tanpa benar-benar perlu diasingkan secara fisik. Cukup penglihatannya saja yang dibuat dia tidak bisa lagi melihat orang-orang yang ada disekelilingnya dalam bentuk dan bunyi yang seharusnya. Di White Christmas, karakter yang diperankan John Hamm menerima hukuman diblok oleh semua orang, sehingga dia tidak bisa berinteraksi dengan siapapun, termasuk orang-orang pun tidak bisa melihat John Hamm seutuhnya karena hanya berupa siluet berwarna merah. Must be maddening. How’s that for a punishment.

Kemajuan teknologi kedua digambarkan bahwa umat manusia sudah mampu menyalin kesadaran dan menyimpannya ke dalam suatu perangkat keras. Black Mirror mempesona saya melalui gagasan-gagasannya berani dan terkesan “blasphemous”. I mean, selain agama, tidak ada lagi yang bisa menjawab kemana seseorang “pergi” setelah jasadnya mati. Bagaimana jika sesuatu yang pergi paska matinya jasad, dapat disimpan di suatu perangkat yang dijalankan di dunia ini ? Amazing.

White Christmas menggambarkan teknologi yang dapat mentransfer kesadaran seseorang ke dalam suatu perangkat, di mana kesadaran ini betul-betul sama persis seperti seperti pemiliknya. Bahkan, digambarkan bahwa kesadaran yang disimpan dalam perangkat merupakan 100% salinan dari pemiliknya dan dapat “ditemui” dan “diajak berinteraksi” oleh orang lain di alam nyata saat ini (providing bahwa salinan kesadaran berada di dalam perangkat). Dan gilanya lagi, perangkat yang menyimpan salinan kesadaran ini dapat diatur waktu dan tempat si salinan kesadaran ini berada. For example, salinan kesadaran si A dapat ditempatkan di setting rumah kecil pada saat musim salju dengan setting waktu 1 menit di dunia nyata sama dengan 1 tahun di dunia perangkat. Hingga pada suatu adegan, penegak keadilan memutuskan untuk menghukum pelaku kejahatan dengan membiarkan salinan kesadarannya terjebak melihat dan mendengarkan hal yang sama selama 1000 tahun di waktu perangkat yang diset equal dengan 1 menit di dunia nyata, untuk ditinggalkan semalaman sementara penegak keadilan ini merayakan malam natal bersama keluarganya.

1 jam = 60 menit. Dan jika ditinggal semalaman, mungkin akan memakan waktu sektar 12 jam. Maka dari itu hukuman untuk pelaku kejahatan di White Christmas adalah 1000 x 60 x 12 = 720.000 tahun. Terasing. Sendiri.

Talk about hell.

Saya jadi ingat, pernah ada suatu kajian di Islam yang menyebut bahwa 1 hari di dunia sama dengan 1000 tahun di akhirat.

Who would’ve thought ?

Black Mirror S1E3 – The Entire History of You

Premis kisah ini adalah bagaimana teknologi memungkinkan seseorang merekam seluruh yang dia lihat melalui kedua matanya, dan rekaman tersebut dapat diputar ulang kapan pun di mana pun, bahkan di-cast ke perangkat lain untuk orang lain lihat bersama-sama.

Zaman sekarang (setidaknya di waktu tulisan ini dibuat), mungkin belum se-advance itu, namun pertandanya sudah muncul. Familiar dengan istilah “jejak digital” khan ?

Kalau jejak digital di twitter saja bisa membuat seseorang kehilangan integritasnya, maka dapat dibayangkan jejak yang berupa rekaman visual langsung dari mata si pemilik. You can’t bullshit your way out of something because what you saw will always be recorded and available for any use. Hal ini menarik perhatian saya karena terdapat satu scene dalam episode ini yang menggambarkan bagaimana sang tokoh hendak keluar dari bandara, sebelum keluar, dirinya diperiksa oleh petugas melalui rekaman yang dia lihat dari matanya. Sang petugas mengecek secara acak dan dipercepat semua hal yang si tokoh lihat selama periode kepergiannya. Talk about preventing terrorism here ? I think its quite advanced and very useful.

Namun demikian, bukan Black Mirror jika tidak menampilkan sisi buruk kemajuan teknologi melalui satir dan sinisme-nya.. Having sex sambil memutar kembali rekaman pengalaman seksual yang panas tanpa sepengetahuan pasangan ? Perselingkuhan yang tidak bisa ditutupi karena rekaman yang dapat diakses kapanpun ? You name it.

But if you ask me, I prefer to have such technology on people. It supposed to raise accountability in their life at some point. And its supposed to be good overall.

Black Mirror S1E2 – Fifteen Million Merit

Satu lagi satir dari Black Mirror di episode 2 berjudul Fifteen Million Merit. Meski diset seperti di masa depan, saya melihat bahwa hampir setiap elemen dari setting masa depan tersebut merupakan simbol yang relevan dengan keadaan dan kondisi di hari ini.

Orang-orang di sana setiap hari bersepeda untuk mengumpulkan merit. Mirip dengan kondisi saat ini di mana orang-orang bekerja, mengumpulkan uang, menghabiskannya, dan kembali bersepeda untuk melanjutkan siklusnya dari awal.

At some point of time, ketika merit sudah terkumpul, pesepeda tersebut dapat mencoba peruntungannya untuk menunjukkan bakatnya agar dapat keluar dari siklus itu.

Akhir ceritanya merupakan sesuatu yang satir dan sinis, cenderung nihilis kalau tidak mau disebut pessimist. Di dalam Fifteen Million Merit, sang pemeran utama bernama Bing tidak terima akan sistim yang berjalan setelah temannya yang bersuara emas berakhir menjadi bintang film porno setelah suara emas-nya dinilai tidak cukup baik. Bing, bekerja keras dan menabung merit, sampai mencapai 15 juta merit untuk tampil di acara talenta yang sama hanya untuk meracau akan ketidak-adilan sistem dan mengancam akan membunuh dirinya sendiri dengan potongan kaca tajam. Seluruh elemen acara talenta terdiam sebelum akhirnya salah satu dewan juri berdiri dan bertepuk tangan memuji aksi Bing yang dia nilai sangat otentik dan menginspirasi.

Kisah selanjutnya, Bing ditampilkan melakukan racauan dan ancaman yang sama, namun kali ini, dirinya melakukannya di depan kamera di acaranya sendiri yang mendapatkan sambutan luar biasa dari penduduk lain. Hidup Bing kini sudah jauh lebih baik daripada ketika dirinya mengayuh sepeda.

What can you get from this ?

Seseorang bisa saja begitu idealis menantang sistem, namun ketenaran dan kekayaan membuatnya menjadi partisipan sistem tersebut.

At some point of time, people are just the same.

Black Mirror S1E1 – National Anthem

Shocking and disturbing.

Itu 2 hal pertama yang timbul di benak saya sekian detik setelah episode National Anthem berakhir.

Pada episode tersebut, PM Inggris digambarkan bersetubuh dengan seekor babi. Yikes. And the almost the whole movie is all about preventing the poor guy to do such unspeakable. But to no avail.

The despair, the hopelessness.. Hanya untuk mengetahui kalau hal tersebut tidak perlu terjadi andai saja ada yang tahu bahwa sandera yang membuat si PM Inggris harus melakukan hal tersebut sudah dibebaskan 30 menit sebelum deadline.

Its sicken me. Its just not fair.

Tapi itulah Black Mirror. Sepertinya serial ini memang didesain untuk membuat kita merasa gak enak setelah menontonnya. Namun demikian menontonnya merupakan pengalaman tersendiri yang mengesankan.

Belum lagi kalau kita pikirkan makna dari pesan dan simbol yang ditampilkan di tiap-tiap episodenya. Penuh dengan satir dan sinisme akan kecanggihan dan perkembangan teknologi yang saat ini tengah melanda dunia sekitar kita.

Contohnya di National Anthem. Bagaimana media-sosial digambarkan menjadi suatu keributan yang dapat menekan kebijakan dan pengambilan keputusan kepala negara. Sosial media. We don’t even know the people behind the keyboard. But their power and influence felt so real. But is it ? Saya masih menjadi orang yang masih skeptis terhadap pengaruh media sosial terhadap suatu negara mengambil kebijakannya. Mungkin dalam beberapa hal dan juga bergantung sama negara tempat media sosial tersebut digunakan.  I believe di Indonesia sekarang sudah mulai masuk ke titik jenuh karena media sosial sekarang sudah dipenuh-sesaki oleh bot, passukan buzzer yang menggunakan media sosial untuk kepentingan politik tertentu.

In Indonesia, when it came to politics, its hard to see the sincerity anymore.