Saya pernah mendengar istilah ini ketika berdiskusi tentang Lean Management bersama kolega di kantor. Namun belakangan, saya kembali menemui istilah ini ketika istilah “Scrum” berseliweran di timeline Youtube saya.
Rasa penasaran mengantarkan saya ke berbagai artikel yang membahas tentang “Scrum Master” seperti di artikel berbahasa Indonesia ini yang berjudul “Scrum Master: bukan manajer proyek ataupun technical leader” oleh Joshua Partogi.
Membaca tulisan Joshua, saya seperti membaca buku-buku psikologi praktis tentang leadership seperti yang pernah ditulis oleh John C. Maxwell, Robin Sharma and the like. Membaca paparannya membuat saya semakin terheran-heran kenapa hal ini mulai mencuat belakangan ini. Hal-hal seperti servant leadership, leader as a coach, dan organizational change menjadi sentral dari tulisannya. Joshua juga mengetengahkan betapa peranan Scrum Master sering disalah-artikan oleh banyak pihak yang alasannya cukup mengguncang nalar saya.
Joshua menulis: “mayoritas orang-orang melihat kalau semua hal dalam dunia ini terstruktur dengan bentuk pola dominant-submissive. Dalam pola ini, selalu ada peran yang dominant bertanggung-jawab untuk memerintah dan selalu ada orang-orang yang submit kepada orang-orang yang dominan, contoh-contoh dari model ini adalah: guru-murid, raja-rakyat, bos-pegawai, dsb.“
I was like:
Tulisan Joshua di atas membuat saya tertegun. Barangkali itu sebabnya mengapa suatu tim tidak benar-benar bisa secara autonomous bergerak mencapai tujuannya, tanpa digerakkan oleh pimpinannya. Kita terbiasa berpikir father’s know best. Yang memerintah dan memimpin pasti tahu jalnnya, yang diperintah manut dan bergerak saja jika memang diminta.
Sampai sini, meski saya cukup terusik dengan presentasi dominant-submissive, saya belum benar-benar memahami tentang “Scrum Master”. Pencarian saya untuk memahami Scrum membawa saya menemukan bahwa istilah “Scrum” erat kaitannya dengan “Agile”. Rupanya scrum merupakan bagian dari agile management secara keseluruhan.
Istilah Agile pertama kali muncul dalam “Manifesto for Agile Software Development” di tahun 2001, seperti dibawah ini:
We are uncovering better ways of developing software by doing it and helping others do it. Through this work we have come to value:
Individuals and interactions over processes and tools
Working software over comprehensive documentation
Customer collaboration over contract negotiation
Responding to change over following a plan
That is, while there is value in the items on the right, we value the items on the left more.
Manifesto tersebut dapat langsung dilihat di websitenya langsung di sini.

Pertama kali membaca manifesto ini saya langsung berpikir, “Oh, ini mungkin metode khusus untuk mereka yang lagi mengembangkan software.”
Namun demikian, tulisan dari Steve Denning di forbes.com yg berjudul “What Is Agile“, perlahan mengubah pemikiran saya. Rasa penasaran yang sedemikian besar membuat saya langsung membeli buku Steve Denning berjudul “The Age of Agile”, yang hingga kini masih saya baca. Sungguh saya ingin melihat bagaimana Agile yg sarat dengan technicality dalam software development bisa diterapkan dalam general management. Dan proses making sense konsep dan praktik Agile dalam konteks manajemen umum bukan sesuatu yang mudah bagi saya hingga saat ini!