Talenta

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku yang terbit sekitar 22 tahun lalu, berjudul “First, Break All The Rules – What The World’s Greatest Manager Do Differently”. Penulis buku ini mengklaim bahwa tulisannya berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan oleh Gallup terhadap lebih dari 80.000 manajer di setidaknya 400 Perusahaan seluruh dunia. Premis ini membuat saya kian tertarik, dan sejauh yang saya baca, buku ini terus menggugah rasa penasaran saya karena paparannya yang begitu “baru” bagi pengetahuan ini.

Salah satu yang menarik minat saya adalah ketika buku ini membahas tentang pentingnya talent atau talenta seseorang yang menurutnya merupakan faktor prediktif utama bagi keberhasilan seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Buku ini terang-terangan menolak gagasan bahwa semua orang bisa mendapatkan kemampuan/keahlian tertentu asalkan dilatih dengan benar. Buku ini menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki talenta di bidang tertentu (seperti bidang akuntansi misalnya) bisa saja dilatih untuk memiliki kemampuan di sana, namun hasilnya tidak akan pernah bisa se-optimal dengan orang lain yang memang memiliki talenta di situ.

Jadi apa itu talenta? Biasanya kita menyamakan istilah talenta dengan “bakat”. Misalnya, seorang diva, tentu merupakan seseorang dengan bakat menyanyi yang luar biasa. Dengan definisi ini, setidaknya bagi diri saya sendiri, mengasosiasikan “bakat” dengan “bawaan lahir”, atau sesuatu yang memang seolah sudah di-install oleh Tuhan ke dalam diri seseorang ketika dilahirkan. Untuk itu, rasanya masuk akal jika tidak semua orang punya bakat menyanyi, atau memasak, atau menulis, atau bermain sepak bola. Masuk akal juga jika kita berpikir bahwa seseorang bisa saja dilatih menyanyi, memasak, menulis atau bermain sepak bola sehingga dirinya betul-betul piawai melakukannya (ingat dengan teori dari Galdwell tentang apapun bisa dikuasai asalkan melewati 10.000 jam latihan?). Buku ini sekilas berpegang pada “bakat” yang cukup dengan “bawaan lahir”. Namun mereka menjelaskannya dengan sangat baik dari sisi sains, yaitu neuroscience.

Sebelum terlampau menjelaskan tentang talenta menurut buku ini, terdapat 4 baris kalimat yang sering diulang-ulang di buku ini:

People don’t change that much. Don’t waste time trying to put in what was left out. Try to draw out what was left in. That is hard enough.

4 kalimat tersebut kerap diulang di buku ini, seperti menegaskan bahwa setiap orang sudah memiliki talenta-nya sendiri-sendiri, dan mencoba untuk mengembangkan orang tersebut di luar talentanya merupakan hal yang sulit kalau tidak boleh disebut sia-sia.

Buku ini meyakini, berdasarkan hasil wawancara dengan puluhan ribu manajer sukses di dunia, bahwa talenta merupakan saringan mental yang dimiliki oleh seseorang. Saringan mental ini sama uniknya atau sama abadinya dengan sidik jari seseorang. Wow! Kita semua tahu bahwa sidik jari setiap manusia di muka bumi ini adalah unik dan tidak ada yang betul-betul sama. Jika memang demikian, berarti talenta pun sedemikian uniknya, bukan? Meski demikian, buku ini sukses meyakinkan saya bahwa keunikan ini terjadi di tataran otak yang sesungguhnya berkembang jauh pada saat seseorang masih bayi.

Penjelasannya begini. Pada saat baru lahir, otak bayi berisi seratus miliar neurons atau sel otak. Kata para ahli neuroscience waktu itu, jumlah neurons di otak bayi lebih banyak dari jumlah bintang-bintang yang ada di galaksi Milky Way.

Me when I read above statement

Nah, sel otak ini merupakan bahan mentah dari pikiran, namun sel otak bukanlah pikiran itu sendiri. Pikiran bayi dan atau balita ini hidup di antara sel-sel otak ini. Pikiran mereka hidup pada koneksi atau hubungan antara sel-sel otak atau disebut juga dengan synapses (sinapsis). Pembentukkan sinapsis (yang pada gilirannya menghasilkan “pemikiran” atau “pikiran” tertentu) tidaklah instan, dan rasanya buku ini sudah sangat sesuai ketika menggunakan kata “carve” (mengukir) dalam menggambarkan proses sinapsis yang terjadi dalam otak manusia. Menurut buku ini, pada 15 tahun pertama seseorang hidup, di situlah proses pengukiran sinapsis ini sungguh-sungguh terjadi.

Di hari pertama seseorang lahir ke dunia, pikirannya mulai keluar dengan agresif dan kencang. Prosesnya di mulai dari pusat otak, seluruh sel otak yang ada mengirim ribuan sinyal kepada satu sama lain. Sel-sel otak ini mencoba untuk berkomunikasi, menciptakan hubungan. Di tahun ketiga, jumlah sinapsis yang tercipta luar biasa banyaknya.. Berjumlah 15.000 koneksi sinapsis untuk masing-masing 100 miliar sel otak! Namun, koneksi ini terlampau banyak bagi si anak. Dirinya kebanjiran informasi di dalam kepalanya. Untuk itu, selama dan sampai 10 tahun ke depan, otaknya fokus untuk menyuling, menyaring dan mensortir, secara perlahan, semua sinapsis ini. Sinapsis yang kuat tercipta akan terus kuat, sedangkan yang lemah terhubung akan perlahan layu dengan sendirinya. Diambil dari istilah Dr. Harry Chugani, professor neurology di Wayne State University Medical School, proses ini mudah dipahami apabila kita membayangkan lalu lintas jalanan khususnya di jalan bebas hambatan (jalan tol). Kata Dr. Harry: “Jalanan dengan lalu lintas yang banyak dan tinggi akan kian melebar, sedangkan jalanan yang jarang atau tidak pernah dilalui akan rusak dengan sendirinya.”

Meskipun masih banyak ahli yang berdebat tentang mengapa jalanan tertentu tinggi lalu-lintasnya sedangkan jalanan yang lain sepi, banyak dari ahli ini yang sepakat dengan hasil dari proses filterisasi atau pemangkasan mental ini. Kembali ke si anak tadi, ketika usianya memasuki belasan tahun, sinapsis yang dirinya miliki hanya setengah dari ketika dirinya berusia 3 tahun. Otaknya kini sudah memiliki ukiran-ukiran sinapsis yang unik. Otaknya kini memiliki jalan tol sinapsis yang indah, bebas hambatan dan lebar di mana hubungan antara sel-sel otak di sinapsis ini berjalan sangat mulus dan kuat. Namun di sisi lain, otaknya yang sama juga memiliki jalanan sinapsis tandus yang rusak dan penuh lubang tanpa adanya sinyal apapun yang berjalan melintasinya.

Misalnya begini. Jika “empati” berada dalam jalan tol sinapsis di otaknya, dia akan merasa semua emosi yang ada di sekelilingnya seperti miliknya sendiri. Berbeda cerita jika “empati” yang sama malah berada dalam jalanan sinapsis tandus yang rusak dan penuh lubang di dalam otaknya, maka dirinya akan “buta” secara emosional. Dirinya akan kerap mengatakan hal yang tidak seharusnya di katakan dalam banyak situasi (saya jadi ingat karakter Sherlock Holmes dalam serial BBC yang berjudul Sherlock).

Make sense juga ya?

Kebutaan emosional ini bukanlah karena dirinya kejahatan atau kejam, namun sesederhana karena dirinya tidak mampu menangkap serta memproses sinyal emosional yang diterima otaknya.

Nah, buku ini meyakini bahwa sinapsis tersebut adalah filter setiap orang. Sinapsis ini menghasilkan pola-pola berulang yang membuat diri seseorang menjadi unik. Sinapsis ini memerintah mana-mana saja stimuli yang harus direspon dan mana yang harus diabaikan. Sinapsis ini menentukan area-area mana saja seseorang bisa hebat, atau sebaliknya (kembali lagi ke “bakat”). Sinapsis ini mengukir karakter seseorang. Dan menurut neuroscience kala itu, selepas setengah dari masa remaja seseorang, terdapat keterbatasan apabila seseorang ingin menjadi hal-hal di luar dari yang sudah terukir tersebut.

Namun bukan berarti seseorang tidak bisa berubah. Seseorang tetap bisa mempelajari keahlian dan pengetahuan yang baru. Seseorang juga bisa mengubah nilai-nilai dirinya, termasuk dalam hal mengembangkan kesadaran diri yang lebih besar termasuk dalam hal penguasaan diri sendiri. Namun kembali, buku ini percaya bahwa hal-hal tersebut tidak akan pernah mengubah jalanan yang sudah tandus, rusak dan berlubang menjadi jalan tol yang lebar dengan koneksi super kencang. Katanya, seluruh intervensi sadar untuk mengubah jalanan tandus tadi hanya bisa mengubahnya menjadi jalanan yang “cukup layak” untuk digunakan bagi sinyal melintas. Selebihnya tidak bisa.

Kembali ke gagasan sebelumnya bahwa talenta merupakan saringan mental seseorang, maka setiap orang tentunya menjadi unik. Namun demikian, talenta ini bisa dikategorikan, setelah menarik hasil kajian terhadap 150 peranan di dalam dunia kerja yang ditampilkan dalam buku ini. Hal ini kemudian yang menjadi menarik ketika kita mendalaminya lagi menjadi 3 besar kategori dasar talenta yaitu striving talents, thinking talents, and relating talents. Saya akan menulis soal ini di postingan blog ini yang selanjutnya. Until then, take care!