Sic Parvis Magna

Pertama kali mendengar istilah ini saat saya main game The Uncharted 4. Artinya “Greatness from a Small Beginning” atau “Kejayaan dimulai dari awal yang sederhana/kecil”. Somehow saya pernah juga mendengar quote yang mirip waktu menonton film Kera Sakti. Saat itu Pendeta Tong Sam Chong yang berkelana ke barat kurang lebih berkata, “Perjalanan ribuan kilometer ke barat diselesaikan pada awalnya lewat langkah pertama.” Small beginning.

Saya jatuh cinta dengan quote Sic Parvis Magna setelah saya mulai mendalami ilmu tentang habit. Khususnya di bagian memulai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang mudah dilakukan, seperti yang saya tulis di postingan ini. Memulai dengan kebiasaan kecil yang mudah dilakukan sungguh merupakan manifestasi dari Sic Parvis Magna. Sesuatu yang kecil, tampak tidak berarti, namun jika dilakukan dengan konsisten secara terus menerus akan menghasilkan sesuatu yang besar. Satu-satunya yang membuat seseorang tidak menyadari hal ini karena ia menginginkan sesuatu yang serba instan.

Nah, ini baru sesuatu.

Sic Parvis Magna memiliki makna lebih dari sekadar permulaan yang kecil untuk sebuah kejayaan yang gilang gemilang. Ada formula khusus yang membuat sesuatu yang sedemikian kecil pada waktunya berubah menjadi sesuatu yang luar biasa.

Formula tersebut adalah konsistensi.

Dengan konsistensi, tercipta sesuatu yang disebut compound effect atau jika diterjemahkan secara bebas berarti efek berlipat ganda.

Video di atas menjelaskan dengan sangat baik mengenai konsistensi. Video tersebut memulai dengan sebuah cerita tentang pemuda bernama Mike (terdapat perbedaan detail dengan apa yang ditulis di sini) Suatu hari dalam perjalanan rutinnya sepulang bekerja, Mike menemui seseorang tengah memukul-mukul batu besar dengan peralatan seadanya. Penasaran, Mike-pun bertanya kepada si tukang batu tersebut apa yang sedang ia lakukan. “Oh, aku sedang berusaha untuk memecahkan batu ini,” jawab si tukang batu enteng. Mike dibuatnya heran. “Bagaimana mungkin dia bisa memecahkan batu ini dengan peralatan seperti itu ?” batin Mike. Namun Mike hanya tersenyum dan mengucapkan semoga berhasil kepada si tukang batu sambil pamit mohon diri.

Hari-hari seterusnya pun seperti itu. Setiap hari Mike disuguhkan pemandangan yang sama. Si tukang batu memukul-mukulkan peralatannya seolah tidak tahu kalau usahany itu sia-sia saja, menurut Mike. 1 minggu berlalu, setiap berpapasan dengan si tukang batu yg sedang bekerja, Mike mengamati batu dipukul dan sama sekali tidak nampak ada retak sedikit pun. 2 minggu.. 1 bulan.. 3 bulan.. Mike tidak tahan lagi. Di bulan ke-5 Mike mutuskan untuk memberitahu si tukang batu naif ini untuk berhenti dan melakukan hal yang lain.

“Bagaimana kalau Anda menyerah saja ?” kata Mike. “Ada hal lebih baik lain yang bisa Anda lakukan,” tambahnya. Si tukang batu hanya menatapnya sekali, tertawa kecil, dan kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa menjawab sepatah kata-pun. Kesal karena tak mendapatkan reaksi apapun, Mike melengos pergi sambil berkata di benaknya, “Mungkin orang ini memang gila!” Namun baru saja Mike melangkah 2-3 langkah pergi, telinganya menangkap bunyi batu yang retak. Mike berbalik dan terkesiap menemukan batu tersebut kini terbelah dua.

“Tapi bagaimana mungkin ?” kata Mike pada si tukang batu. “Apakah Anda menggunakan alat lain atau kini tenaga Anda lebih kuat dari sebelum-sebelumnya ?” cerocos Mike.

“Tidak ada,” jelas si tukang batu dengan tenang. “Alat saya hanya seperti ini sejak saya memulai, dan saya yakin saya tidak bertambah kuat meski sudah melakukan ini dalam waktu yang cukup lama,” tambahnya.

Melihat Mike masih kebingungan, si tukang batu mencoba menjelaskan lebih lanjut sebisanya, “Tidak ada hal berbeda yang saya lakukan sejak pertama saya melakukan ini sampai hari ini. Saya hanya meyakini kalau setiap progress kecil itu nyata adanya, meski tak terlihat dan tidak berarti. Bukan berarti itu tidak ada sama sekali. Kita hanya perlu untuk percaya dan tetap melakukannya.”

Barangkali kita sering mengalami hal ini (untuk yang jarang mengalami, good for you!): Kita membeli gym membership yang cukup mahal itu namun ditengah jalan kita hanya membayar saja tetapi tidak pernah lagi menggunakan fasilitas yang sudah kita bayar. Beberapa di antara kita semangat berolahraga di gym di awal-awal hanya untuk menemukan diri kita setelah beberapa lama berhenti dan mengabaikan semangat itu.

Mengapa ya seperti itu ? Bagaimana jika, setiap jam yang kita habiskan di gym sama dengan menurunkan berat badan kita 2 kg dan memperkuat massa otot tubuh 10%, saat itu juga ? Pastinya semangat kita tidak akan timbul tenggelam khan ? Mengapa ? Karena kita langsung melihat hasil dari upaya kita secara instan. Namun kita semua tahu, bahwa skenario 1 jam olahraga di gym sama dengan 2 kg berat badan turun itu tidak pernah akan terjadi (at least sampai hari ini, cuma Tuhan yang tahu di masa depan akan seperti apa). Kita juga tahu, bahwa menurunkan berat badan dan membentuk perut six pack tidak bisa dicapai dalam hitungan hari. Mungkin itu sebabnya kita sulit konsisten, karena reward dari apa yang kita upayakan tidak serta merta kita lihat hasilnya saat itu juga.

Beberapa dari kita ingin hasil instan.

Dan sayangnya, hukum alam tidak berjalan demikian. Semuanya perlu proses dan seringnya, formula dasar dari proses tersebut adalah kesabaran dan keyakinan.. Atau mungkin kepasrahan. Apapun itu, hukum alam menghendaki mereka yang berproses untuk tetap patuh, disiplin di dalam proses tersebut. Seperti si tukang batu.

Project Habits

Konsistensi dan disiplin senantiasa menjadi hal yang mengusik saya. Simply karena saya orang yang sulit konsisten dan disiplin. Sulit bagi saya untuk seperti itu. Rasanya saya tidak bisa untuk tidak menyabotase diri sendiri.

Saya masih mencari kunci itu, sampai akhirnya saya menemukan buku The Power of Habit oleh Charles Duhigg dan Atomic Habits oleh James Clear. Yang kedua telah saya baca habis. Dari sekian banyak tips and trick yg James sampaikan di bukunya, yang paling menarik bagi saya adalah sarannya mengenai memulai dengan hal yang paling mudah.

Contoh, jika saya ingin membiasakan diri berlari pagi, saya tidak disarankan untuk langsung berlari sejauh 1 km atau 5 putaran atau selama 30 menit. Hal tersebut bisa saja dilakukan pada saat hari-hari pertama kebiasaan tersebut dilakukan. Tantangannya adalah konsistensi melakukan hal yang sama setiap hari.

Saya mendengar konsep ini bukan dari James pada awalnya. Saya mengetahuinya dari video youtube dibawah ini.

Yes, tantangan dari konsistensi adalah ketika kita diserang malas, hal tersebut semakin diperparah dengan bayangan bahwa kita harus melakukannya selama 30 menit, 5 putaran, atau 1 km. Setelah itu, biasanya kita bolos atau berhenti sama sekali. Ada yang seperti itu ? Saya seperti itu. Many many many times di sepanjang hidup saya.

Rupanya seperti yg dijelaskan di video di atas serta diperkuat dengan penjelasan James Clear yang mengatakan bahwa salah satu kunci mendirikan kebiasaan baru adalah memulai dengan sangat mudah, sedemikian mudah sehingga ketika kita sedang malas-pun kita tetap bisa melakukannya, saking mudahnya.

Dalam kasus mendirikan kebiasaan berlari setiap pagi, alih-alih mencoba berlari pagi selama 30 menit, 1 km, ataupun 5 putaran, saya bisa memulai dengan sangat mudah yaitu berlari 2-5 menit, 100 meter, ataupun cukup 1 putaran saja.

Orang pada umumnya akan berpikir, “Hey, di mana olahraganya kalau cuma lari 5 menit?”

Ternyata baik menurut James maupun video di atas, yang pertama perlu dijadikan perhatian adalah bukan olahraganya, tapi lebih ke kebiasaannya. Seperti penjelasan di atas, kita bisa saja olahraga hingga berkeringat deras, namun berapa banyak dari kita yang mampu konsisten melakukannya setiap hari ?

Pada kenyataannya, tulisan ini dibuat setiap hari dengan mindset yang sama! Saya mencoba menulis setiap hari setidaknya satu paragraf saja! Dan saya sudah mulai sejak 5 hari yang lalu. Tidak terlalu buruk, bukan?

How To Separate Learning Myths from Reality by Artin Atabaki, Stacey Dietsch, & Julia Sperling (2015)

Artikel ini diambil dari McKinsey Quarterly yang terbit pada bulan Juli 2015. Ini merupakan terjemahan bebas saya. Enjoy 🙂

Bagaimana Memisahkan Mitos Belajar dengan Kenyataan yang Sesungguhnya

Pengetahuan umum yang selama ini kita ketahui selama ini terkait perkembangan otak manusia dalam hubungannya dengan proses belajar ternyata banyak yang salah. Misalnya, kapasita belajar otak ketika masa kanak-kanak cenderung lebih baik dan lebih powerful ketimbang masa dewasa yang sudah cenderung stagnan. Atau misalnya lagi, setengah dari otak kita itu tidak aktif di waktu-waktu tertentu atau ketika sedang mengerjakan pekerjaan tertentu. Atau misalnya lagi, kita hanya bisa belajar efektif jika sesuai dengan gaya belajar kita masing-masing. Ternyata semua itu banyak yang salah ketika metode analisa kerja otak manusia di zaman modern ini semakin canggih dan maju. Artikel ini akan membahas mitos-mitos yang selama ini kita ketahui tentang otak dan belajar manusia yang ternyata salah kaprah, berkat kemajuan teknologi saat ini. Hal ini penting mengingat ada hubungan yang cukup erat antara miskonsepsi tentang cara kerja otak ini dengan program-program pelatihan di perusahaan.

Mitos 1 : Masa Perkembangan Otak Paling Efektif ada di Masa Kanak-Kanak

Kita udah sering denger kalo masa-masa paling penting dari pembelajaran manusia itu pas lagi anak-anak khan ya. Hal itu disebabkan karena otak betul-betul berkembang di masa-masa itu. Setelah periode keemasan otak ini berakhir, kita juga tahu bahwa perkembangan manusia jadi gak begitu se-wah ketika masa kanak-kanak. Rupanya, penelitian terbaru membantah asumsi itu.

Penelitian terbaru tentang saraf otak menyebutkan kalo terdapat fenomena yang namanya neuroplasticity (atau kekenyalan/keliattan saraf). Intinya penelitian ini menemukan kalau pengalaman-pengalaman yang dialami oleh manusia seumur hidupnya mampu mengubah struktur fisik otak beserta bagaimana otak itu mengorganisir fungsi-fungsinya. Luar biasa ya ?

Nah, tingkat kekenyalan otak ini menurut para peneliti akan semakin meningkat ketika berhubungan langsung dengan “kesadaran” (mindfulness) manusia. Mindfullness ini maksudnya adalah ketika kita secara betul betul sadar sedang melakukan sesuatu. Misalnya adalah istilah mindful eating, atau makan dengan betul-betul sadar sedang makan, rasanya kita rasakan, bau makanannya kita cium, teksturnya, semuanya kita sadari betul.. Alih-alih kita makan sambil ngobrol sehingga semua itu tidak kita sadari. Nah, otak akan semakin kenyal dan berkembang dengan baik ketika kita mempraktekkan teknik-teknik meditasi sederhana seperti konsentrasi pernafasan. Menurut hasil penelitian, berkonsentrasi kepada proses bernafas kita meningkatkan kapasitas otak kita untuk belajar, mengontrol emosi, dan juga membuat otak lebih merasakan kasih sayang. Peneliti dari Harvard menemukan ketika kita secara rutin mempraktekkan teknik bernafas meditatif ini selama 8 minggu, maka hal itu akan membuat struktur fisik otak berubah secara signifikan dan bisa dibaca oleh MRI.

Perusahaan-perusahaan besar cukup sering mempraktekkan hal ini untuk meningkatkan produktivitas karyawannya berbarengan dengan menurunkan kadar stres karyawannya. Perusahaan seperti General Mills di bidang pangan, bahkan perusahaan digital sebeken Facebook dan Google senantiasa memberikan kesempatan ruang dan waktu bagi setiap karyawannya untuk mempraktekkan teknik meditasi ini, yang mana mendapatkan sambutan hangat dari para karyawannya. Hal ini telah beberapa kali terbukti mampu meningkatkan performa kerja setiap karyawan yang melakukannya.

Contoh lebih detail datang dari perusahaan asuransi kesehatan yang bernama Aetna. Aetna mengadakan kelas yoga dan meditasi gratis untuk semua karyawannya. Dilaporkan kemudian, karyawan yang rutin mengikuti kelas ini berkurang kadar stress-nya hingga 28% dan produktivitas mereka meningkat menjadi 62 menit per minggu—yang apabila diterjemahkan ke dalam nominal, produktivitas ini berharga senilai $3000 per karyawan per tahun. CEO Aetna, Mark Bertolini tercengang dengan tingkat ketertarikan karyawannya mengikuti kelas gratis ini. Hingga hari ini lebih dari seperempat karyawan Aetna yang jumlahnya 50,000 itu secara rutin mengikuti minimal satu kelas yoga dan meditasi. Pemimpin seperti Bertolini ini sadar betul pentingnya menyediakan fasilitas bagi karyawan untuk membantu mereka lebih fokus dan mindful untuk meningkatkan lingkungan kerja yang lebih kondusif dalam rangka peningkatkan performa kerja.

Mitos 2 : Idle-Brain Theory

Maksud dari idle-brain theory adalah yang mengatakan bahwa ada satu atau beberapa bagian otak yang tidak bekerja ketika kita sedang beraktivitas. Riset yang dilakukan di UK dan di Belanda mengungkapkan hampir 50% guru percaya bahwa teori ini memang sudah terbukti benar secara sains. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa apapun yang sedang dilakukan oleh seseorang, seluruh bagian dan fungsi otak bekerja. Dan tergantung dari akvitiasnya, beberapa bagian otak bekerja lebih aktif ketimbang bagian lainnya.

Intinya, seseorang selalu bisa belajar sesuatu yang baru bukan dengan cara mengakses bagian yang jarang digunakan pada otak, tetapi dengan cara membuat koneksi baru dan memperkuat koneksi antar neuron yang ada di otak.

Pemahaman ini terutama menjadi sangat relevan ketika situasi-situasi pembelajaran otak tengah berlangsung (seperti ketika seseorang mengikuti training, kuliah, seminar, atau apapun). Kita semua mungkin pernah mengalaminya. Di tengah-tengah sesi pelatihan atau kelas-kelas, kita kerap terpancing untuk mengecek hp kita untuk email, sms, atau text apapun atau melakukan apapun yang menjauhkan fokus kita kepada materi pelatihan. Masalahnya di sini adalah multi-tasking membuat otak bagian memori bekerja sangat keras, karena otak bagian penyimpanan memori ini bekerja dua pekerjaan sekaligus. Hal ini menyebabkan sulitnya otak menerima informasi pelatihan yang baru karena terganggu dengan aktivitas lain. Pendeknya, multi-tasking dan belajar tidak bisa dikerjakan sama-sama kalau mau efektif.

Beberapa perusahaan telah membangun lingkungan tempat belajar yang sebegitu mendukung pembelajaran dengan sama sekali mengeliminasi distraksi. Di McKinsey juga diterapkan satu area training di mana setiap peserta yang masuk diharuskan menyimpan gadget komunikasinya di loker masing-masing agar proses pembelajaran dapat berlangsung maksimal.

Mitos 3 : Gaya Belajar dan Dikotomi Otak Kiri dan Kanan

Sudah lumrah bagi kita untuk memahami bahwa ada sebagian orang yang dominan otak kiri (analitis) dan dominan otak kanan (kreatif). Penelitian terbaru telah membuktikan bahwa dikotomi ini sama sekali salah. Kedua bagian otak ini dalam aktivitas apapun senantiasa berhubungan dan bekerja berbarengan. Mereka tidak bekerja secara terisolir bergantung pada kegiatan apa yang tengah dilakukan (apakah pekerjaan analitis atau pekerjaan kreatif). Penelitian terbaru menolak anggapan bahwa setiap orang memiliki gaya belajar dan preferensinya sendiri-sendiri. Penelitian terbaru ini lebih menyarankan supaya pembelajaran berlangsung lebih efektif, maka semua indera manusia agar lebih banyak dilibatkan (audiovisual, indera peraba, indera penciuman, dll).

Satu perusahaan yang menerapkan konsep pembelajaran yang melibatkan hampir seluruh indera adalah KFC. KFC mengembangkan modul pelatihan customer service bagi karyawannya dalam bentuk video game. Video-game ini menempatkan karyawan berperan sebagai kasir dan penerima order dari pelanggan termasuk berreaksi terhadap reaksi-reaksi pelanggan yang sudah diset sebelumnya (kayak Dinner Dash ?). Setelah sesi bermain video-game ini selesai, karyawan akan menerima feed-back dari performa-nya di video game dan menerima coaching untuk semakin memperkuat pengalaman pembelajarannya.