Black Mirror S3E1 – Nosedive

Film “Nosedive” memperlihatkan bagaimana seseorang dinilai dari perilakunya melalui sistem rating, dan rating tersebut dapat mempengaruhi orang tersebut dalam menggunakan fasilitas-fasilitas di masyarakat (membeli tiket pesawat, menggunakan mobil mewah atau sederhana, dll). Film ini sepertinya hendak menyindir tentang obsesi beberapa orang terhadap ‘like’ yang mereka dapatkan di media sosial. In which saya memiliki sedikit insight di sini.

Bisa dikatakan saya ini termasuk generasi milennial yang paling awal. Internet boom saat itu terjadi ketika saya SMA, dan media sosial baru betul-betul masuk menjadi budaya saat saya sudah mulai berkarir. Saya teringat beberapa artikel maupun vlog beberapa orang yang mengkritisi bahwa generasi muda sekarang memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadap jumlah ‘like’ atas postingan mereka di media sosial, saya pun termasuk yang suka mentertawakan keberlebihan anak-anak muda sekarang dengan obsesi mereka terhadap ‘like’. Namun saya juga baru teringat mengapa ‘like’ tersebut begitu nikmat untuk diketahui.

Sekitar tahun 2013 s/d 2015, media sosial yang paling beken di jagat digital Indonesia adalah Path. Facebook, twitter, dan Instagram sudah terlebih dahulu muncul, namun di Indonesia, saat itu Path adalah rajanya. Saya ingat sekali, bagaimana saya merasakan ada sensasi kesenangan dan kepuasan ketika melihat postingan saya (tentang liburan, tentang keluarga, tentang apapun) dipenuhi dengan icon hati yang berderet-deret, dan saya cenderung heran dengan postingan saya yang hanya mendapat satu atau dua icon hati.

Saya jadi merenung sendiri, ini sensasi apa ya? Sepertinya vlog di atas menjadi cukup relevan terkait adiksi kita terhadap ‘like’. Bagaimana kita merasa ‘kecewa’ ketika postingan kita sedikit mendapat ‘like’, dan bagaimana kita merasa puas ketika postingan kita dibanjiri ‘like’. Saya merasakan itu di Path.

Saya merasa.. Bahwa ‘like’ itu merupakan representasi dari ungkapan “Yeah, bro we’ve heard you! Keep going!” dari orang-orang yang melihat postingan saya.

Saya jadi merasa lucu sendiri.

Kita ini manusia betul-betul cuma ingin didengar dan ditanggapi yah. Meskipun bentuknya digital, meskipun cuma diwakili oleh ‘like’. Tidak mendapat ‘like’ rasanya seperti ngomong sendiri di ruang kosong, yang pada gilirannya membuat kita merasa kosong pula.

Tidak ada yang menanggapi mungkin saja sama dengan tidak ada. Dan itu sangat menyiksa kita. Pernah dengar ungkapan, “Ada pohon yang jatuh di tengah hutan, tetapi tidak ada satu manusia pun yang mendengarnya, apakah jatuhnya pohon tersebut menimbulkan suara?” Apalah arti sesuatu jika tidak ada yang mengkonfirmasi sesuatu itu ada?

I am being like, I am being noticed, therefore I am.

Is it something that also applied to.. The God Himself?

Black Mirror S2E3 – The Waldo Moment

Politik.

Apa yang terlintas di benak ketika mendengar satu kata di atas?

Bagi saya, “politik” ada layar kaca televisi. Saya melihat orang-orang yang sudah berumur berbicara/berorasi di depan sekumpulan orang-orang berumur lainnya tentang suatu hal yang mereka klaim sebagai “kepentingan publik”. “Kepentingan publik” saya beri tanda petik karena saya sejak kecil selalu merasa bahwa apa yang ramai di layar televisi sebagai “politik” tidak betul-betul saya, sebagai bagian dari publik, rasakan. Bisa dikatakan saya senantiasa merasa terpisah atau detached dengan apapun yang disebut dengan “politik”. Saya hanya penonton, dan “politik” hanya satu dari sekian banyak hiburan yang bisa saya pilih kapanpun untuk saya nikmati ketika penat.

Apatis? Saya rasa iya.

Ketika saya bertumbuh besar, saya baru menyadari bahwa hampir semua aspek kehidupan saya dipengaruhi oleh kebijakan/program kerja hasil dari “politik” para pejabat negara kala itu. Harga BBM misalnya, atau fact bahwa saat ini orang-orang bisa menempuh perjalanan darat dari Lampung hingga Palembang dalam waktu 6 jam saja (dulu bisa 12 jam menggunakan jalur Lintas Sumatera). Atau fact bahwa saat Natal & Tahun Baru nanti, saya punya alternatif jalur yang mengurangi kemacetan saat menuju Bandung (thanks to jalan tol layang Jakarta-Cikampek).

Saya bisa tetap apatis tentu, tapi saya tidak bisa menafikan fakta bahwa “politik”, yang kadang saya pandang sebagai dagelan atau sesuatu yang terpisah dari hidup saya, adalah sesuatu yang mempengaruhi hidup saya dan bagaimana saya menjalani hidup saya. Meski saya kadang muak dan annoyed dengan beberapa kebijakan yang dihasilkan dari “politik” tersebut.

Pada episode Waldo Moment, diperlihatkan bahwa beruang biru bernama Waldo mampu menarik perhatian masyarakat karena dirinya mampu berbuat dan berkata-kata “tidak seperti kebanyakan politikus”. Waldo dengan mudah diterima oleh publik meskipun mulutnya kotor, penuh umpatan, dan kalimat-kalimat yang jorok. Mengapa? Karena Waldo mengarahkan kata-katanya pada para politikus itu. Mengapa publik dengan bisa dengan mudah menerima keberadaan Waldo? Mungkin alasannya sama dengan apa yang selama ini dirasakan oleh kita semua sebagai warga yang merasa “apolitikal”, kita tahu bahwa para politikus itu cuma berbohong dan menggunakan lip service-nya untuk kepentingan pribadi mereka saja. Publik jengah, kesal dan marah atas dusta ini, makanya ketika Waldo muncul, Waldo menjadi simbol perlawanan yang mengekspresikan kekesalan publik itu.

Lagipula, siapa sih yang tidak senang dan puas ketika bisa sesekali menyemprot politikus/pejabat negara yang mereka benci dengan kata-kata abusif nan penuh kebencian, dengan tanpa konsekuensi apapun? Of course kita bisa lakukan itu di media sosial dengan menggunakan akun anonim seperti yang banyak dilakukan, namun dalam kasus Waldo, ataupun para akun dengan berjuta follower, being significantly heard is what matters.

Dan fakta bahwa kita tahu kalau kita didengar (dibuktikan dengan respon-respon balik yang masuk) adalah yang membuat signifikansi itu menjadi krusial.

Black Mirror S2E2 – White Bear

Saya amazed dengan episode ini.

Menjadikan pelaksanaan hukuman sebagai salah satu atraksi atau wahana untuk hiburan (sekaligus edukasi?) bagi masyarakat, di mana sang terhukum akan terus menjalani hukuman yg sama berulang-ulang (seperti gambaran neraka pada beberapa agama).

Di White Bear, diceritakan seorang wanita yang harus survive dari kejaran terror orang-orang tak dikenal hanya untuk dikhianati oleh orang lain yg menolongnya selama ini, dan diperlihatkan bahwa selama ini dirinya merupakan tontonan orang banyak. Ternyata wanita ini merupakan terdakwa pembunuhan seorang anak kecil, dan simulasi ini merupakan hukuman abadi baginya.

Di masa mendatang yg digambarkan Black Mirror, hukuman bagi penjahat dapat di-customize menjadi sesuatu yang lebih mengerikan ketimbang penjara seumur hidup maupun hukuman mati.

For some criminal deeds, death or lifetime prison is just too easy.

Black Mirror S2E1 – Be Right Back

Ketika kehadiran dan kepribadian seseorang dapat direplikasi ke dalam representasi teks, suara, maupun bentuk fisik, lantas bagaimana seseorang memaknai kematian dan kehilangan ?

Kemungkinan itu tergambar jelas pada Be Right Back. Ketika seorang significant other meninggal dunia, maka terdapat program kecerdasan buatan yg dapat mereplikasi kepribadiannya lewat pola-pola yang ditemukan dari postingan media sosial orang yang meninggal tersebut. Setelah itu kepribadian ini dihadirkan menjadi bentuk teks dan atau suara telepon yang dapat berinteraksi langsung dengan si pasangan yang tengah kehilangan. Lebih gila lagi, kecerdasan buatan ini, dapat belajar melalui interaksi sehari-harinya sehingga mampu menjadi seseorang yang sudah pergi tersebut sepenuhnya.

Pada tingkatan yang lebih hebat, kehadiran ini dapat berupa kehadiran fisik sesungguhnya meskipun terbuat dari bahan sintesis.

Bisa dibayangkan kalau seorang yg dekat dengan kita meninggal, kemudian kita tidak benar-benar kehilangan dirinya karena kehadirannya dapat digantikan dengan kecerdasan buatan yang dapat dibuat persis seperti orang tersebut ? Akankah kita memaknai kematian dan kepergian dengan cara yang sama ?

Black Mirror S2E4 – White Christmas

Apa itu kesadaran ? Apa itu jiwa ? Di mana kesadaran dan jiwa manusia sesungguhnya berada ?

Pertanyaan tersebut terpantik setelah saya menonton White Christmas.

Meski narasi dan gaya penceritaannya sengaja berlapis sehingga membuat penonton penasaran, namun pada akhirnya pertanyaan itulah yang muncul di benak ini.

White Christmas sebetulnya menceritakan tentang 2 hal terkait kemajuan teknologi, namun keduanya dibungkus ke dalam satu vocal point : Keterasingan.

Kemajuan teknologi yang pertama adalah mata kita dapat langsung terintegrasi dengan kamera, namun kalau itu masih mencengangkan, melalui teknologi yang sama, kita bisa “memblok” kehadiran seseorang menjadi siluet abu-abu dengan suara yang dipendam. Tentu kita familiar dengan fitur “blocking” baik di Whatsapp maupun media sosial lain. This time, White Christmas menggambarkan bahwa seseorang bisa memblok orang lainnya secara fisik, sehingga mereka tidak bisa melihat satu sama selain selain siluet abu-abu dan tidak bisa mendengar apapun dari mereka kecuali suara terpendam.

Di sinilah keterasingan yang pertama dimunculkan. Teknologi memungkinkan seseorang diasingkan sepenuhnya tanpa benar-benar perlu diasingkan secara fisik. Cukup penglihatannya saja yang dibuat dia tidak bisa lagi melihat orang-orang yang ada disekelilingnya dalam bentuk dan bunyi yang seharusnya. Di White Christmas, karakter yang diperankan John Hamm menerima hukuman diblok oleh semua orang, sehingga dia tidak bisa berinteraksi dengan siapapun, termasuk orang-orang pun tidak bisa melihat John Hamm seutuhnya karena hanya berupa siluet berwarna merah. Must be maddening. How’s that for a punishment.

Kemajuan teknologi kedua digambarkan bahwa umat manusia sudah mampu menyalin kesadaran dan menyimpannya ke dalam suatu perangkat keras. Black Mirror mempesona saya melalui gagasan-gagasannya berani dan terkesan “blasphemous”. I mean, selain agama, tidak ada lagi yang bisa menjawab kemana seseorang “pergi” setelah jasadnya mati. Bagaimana jika sesuatu yang pergi paska matinya jasad, dapat disimpan di suatu perangkat yang dijalankan di dunia ini ? Amazing.

White Christmas menggambarkan teknologi yang dapat mentransfer kesadaran seseorang ke dalam suatu perangkat, di mana kesadaran ini betul-betul sama persis seperti seperti pemiliknya. Bahkan, digambarkan bahwa kesadaran yang disimpan dalam perangkat merupakan 100% salinan dari pemiliknya dan dapat “ditemui” dan “diajak berinteraksi” oleh orang lain di alam nyata saat ini (providing bahwa salinan kesadaran berada di dalam perangkat). Dan gilanya lagi, perangkat yang menyimpan salinan kesadaran ini dapat diatur waktu dan tempat si salinan kesadaran ini berada. For example, salinan kesadaran si A dapat ditempatkan di setting rumah kecil pada saat musim salju dengan setting waktu 1 menit di dunia nyata sama dengan 1 tahun di dunia perangkat. Hingga pada suatu adegan, penegak keadilan memutuskan untuk menghukum pelaku kejahatan dengan membiarkan salinan kesadarannya terjebak melihat dan mendengarkan hal yang sama selama 1000 tahun di waktu perangkat yang diset equal dengan 1 menit di dunia nyata, untuk ditinggalkan semalaman sementara penegak keadilan ini merayakan malam natal bersama keluarganya.

1 jam = 60 menit. Dan jika ditinggal semalaman, mungkin akan memakan waktu sektar 12 jam. Maka dari itu hukuman untuk pelaku kejahatan di White Christmas adalah 1000 x 60 x 12 = 720.000 tahun. Terasing. Sendiri.

Talk about hell.

Saya jadi ingat, pernah ada suatu kajian di Islam yang menyebut bahwa 1 hari di dunia sama dengan 1000 tahun di akhirat.

Who would’ve thought ?

Black Mirror S1E3 – The Entire History of You

Premis kisah ini adalah bagaimana teknologi memungkinkan seseorang merekam seluruh yang dia lihat melalui kedua matanya, dan rekaman tersebut dapat diputar ulang kapan pun di mana pun, bahkan di-cast ke perangkat lain untuk orang lain lihat bersama-sama.

Zaman sekarang (setidaknya di waktu tulisan ini dibuat), mungkin belum se-advance itu, namun pertandanya sudah muncul. Familiar dengan istilah “jejak digital” khan ?

Kalau jejak digital di twitter saja bisa membuat seseorang kehilangan integritasnya, maka dapat dibayangkan jejak yang berupa rekaman visual langsung dari mata si pemilik. You can’t bullshit your way out of something because what you saw will always be recorded and available for any use. Hal ini menarik perhatian saya karena terdapat satu scene dalam episode ini yang menggambarkan bagaimana sang tokoh hendak keluar dari bandara, sebelum keluar, dirinya diperiksa oleh petugas melalui rekaman yang dia lihat dari matanya. Sang petugas mengecek secara acak dan dipercepat semua hal yang si tokoh lihat selama periode kepergiannya. Talk about preventing terrorism here ? I think its quite advanced and very useful.

Namun demikian, bukan Black Mirror jika tidak menampilkan sisi buruk kemajuan teknologi melalui satir dan sinisme-nya.. Having sex sambil memutar kembali rekaman pengalaman seksual yang panas tanpa sepengetahuan pasangan ? Perselingkuhan yang tidak bisa ditutupi karena rekaman yang dapat diakses kapanpun ? You name it.

But if you ask me, I prefer to have such technology on people. It supposed to raise accountability in their life at some point. And its supposed to be good overall.

Black Mirror S1E2 – Fifteen Million Merit

Satu lagi satir dari Black Mirror di episode 2 berjudul Fifteen Million Merit. Meski diset seperti di masa depan, saya melihat bahwa hampir setiap elemen dari setting masa depan tersebut merupakan simbol yang relevan dengan keadaan dan kondisi di hari ini.

Orang-orang di sana setiap hari bersepeda untuk mengumpulkan merit. Mirip dengan kondisi saat ini di mana orang-orang bekerja, mengumpulkan uang, menghabiskannya, dan kembali bersepeda untuk melanjutkan siklusnya dari awal.

At some point of time, ketika merit sudah terkumpul, pesepeda tersebut dapat mencoba peruntungannya untuk menunjukkan bakatnya agar dapat keluar dari siklus itu.

Akhir ceritanya merupakan sesuatu yang satir dan sinis, cenderung nihilis kalau tidak mau disebut pessimist. Di dalam Fifteen Million Merit, sang pemeran utama bernama Bing tidak terima akan sistim yang berjalan setelah temannya yang bersuara emas berakhir menjadi bintang film porno setelah suara emas-nya dinilai tidak cukup baik. Bing, bekerja keras dan menabung merit, sampai mencapai 15 juta merit untuk tampil di acara talenta yang sama hanya untuk meracau akan ketidak-adilan sistem dan mengancam akan membunuh dirinya sendiri dengan potongan kaca tajam. Seluruh elemen acara talenta terdiam sebelum akhirnya salah satu dewan juri berdiri dan bertepuk tangan memuji aksi Bing yang dia nilai sangat otentik dan menginspirasi.

Kisah selanjutnya, Bing ditampilkan melakukan racauan dan ancaman yang sama, namun kali ini, dirinya melakukannya di depan kamera di acaranya sendiri yang mendapatkan sambutan luar biasa dari penduduk lain. Hidup Bing kini sudah jauh lebih baik daripada ketika dirinya mengayuh sepeda.

What can you get from this ?

Seseorang bisa saja begitu idealis menantang sistem, namun ketenaran dan kekayaan membuatnya menjadi partisipan sistem tersebut.

At some point of time, people are just the same.

Black Mirror S1E1 – National Anthem

Shocking and disturbing.

Itu 2 hal pertama yang timbul di benak saya sekian detik setelah episode National Anthem berakhir.

Pada episode tersebut, PM Inggris digambarkan bersetubuh dengan seekor babi. Yikes. And the almost the whole movie is all about preventing the poor guy to do such unspeakable. But to no avail.

The despair, the hopelessness.. Hanya untuk mengetahui kalau hal tersebut tidak perlu terjadi andai saja ada yang tahu bahwa sandera yang membuat si PM Inggris harus melakukan hal tersebut sudah dibebaskan 30 menit sebelum deadline.

Its sicken me. Its just not fair.

Tapi itulah Black Mirror. Sepertinya serial ini memang didesain untuk membuat kita merasa gak enak setelah menontonnya. Namun demikian menontonnya merupakan pengalaman tersendiri yang mengesankan.

Belum lagi kalau kita pikirkan makna dari pesan dan simbol yang ditampilkan di tiap-tiap episodenya. Penuh dengan satir dan sinisme akan kecanggihan dan perkembangan teknologi yang saat ini tengah melanda dunia sekitar kita.

Contohnya di National Anthem. Bagaimana media-sosial digambarkan menjadi suatu keributan yang dapat menekan kebijakan dan pengambilan keputusan kepala negara. Sosial media. We don’t even know the people behind the keyboard. But their power and influence felt so real. But is it ? Saya masih menjadi orang yang masih skeptis terhadap pengaruh media sosial terhadap suatu negara mengambil kebijakannya. Mungkin dalam beberapa hal dan juga bergantung sama negara tempat media sosial tersebut digunakan.  I believe di Indonesia sekarang sudah mulai masuk ke titik jenuh karena media sosial sekarang sudah dipenuh-sesaki oleh bot, passukan buzzer yang menggunakan media sosial untuk kepentingan politik tertentu.

In Indonesia, when it came to politics, its hard to see the sincerity anymore.

Year : 2019 – The Resolution

I would like to be more disciplined to myself. I will push myself to stick with what I’ve already planned ahead and want to achieve. Some of the discipline I would like to apply today to my life is :

  • Train and exercise harder and better to reach my optimum physique.
  • Eat healthier.
  • Practice more in my piano playing.
  • Read and comprehend more books.
  • Write more.
  • Pray more.

When I accomplish all of these, I will regain my trust to myself in which eventually led to a better self-love.

I will most definitely make peace with myself.

I will be more comfortable and prouder to myself than I am before.

All of this is a positive change for myself and my life. I believe it would also improve many things in my life, my love life, my career, my financial, and everything.

I just need to believe in myself again wholeheartedly.. That I could accomplish anything I put my mind and my intention into.

Year : 2019

Di tahun 2019 ini, saya ingin melakukan seperti yang kebanyakan orang lakukan.

Membuat resolusi.

Meski dibarengi dengan suara kecil di belakang kepala yang secara konstan terus berdengung, “Paling bertahan berapa lama sih ?”

Saya tetap membuatnya.

Tahun-tahun sebelumnya saya tidak membuatnya karena saya setuju dengan suara di belakang kepala saya itu. Saya setuju kalau saya kerap menyabotase rencana dan niatan diri saya sendiri untuk lebih baik.

Sehingga saya menjalani hidup saya di tahun-tahun sebelumnya secara auto-pilot. Mengalir dan hope for the best.

Tahun ini memang berbeda. Saya tergerak untuk membuat resolusi dan menjalankannya.

Kalau saya pikir-pikir, ini bisa tercetus karena postingan beberapa teman di Instagram (saya sih mengalami sendiri, beberapa postingan teman malah memacu saya untuk lebih baik dan lebih baik lagi sebagai individu, so its all relative). Beberapa teman saya di IG kerap post hal-hal yang menyenangkan. Liburan keluar negeri. Bercengkrama dengan pasangan dan orang-orang terkasihnya. As much as we know bahwa gambaran di IG is only a fraction of its true reality, its also a reality nonetheless. Beberapa postingan saya akui membuat saya merasa tertinggal jauh di belakang, namun tidak sering juga ada postingan-postingan yang membakar semangat dalam diri untuk lebih baik dan lebih hebat lagi (padahal postingan-postingannya semua sama). Ini menjadi salah satu momentum buat saya membuat resolusi di tahun ini.

Di antara semua postingan teman-teman saya di IG, ada satu postingan yang memberikan efek cukup besar bagi motivasi saya menjalani hidup lebih baik. Postingan ini datang dari adik kelas saya sendiri ketika di kampus dulu. Namanya Ajeng. Seperti kebanyakan teman-teman, saya hanya mengikuti perkembangan tentang teman-teman saya di media sosial. But, in Ajeng, I’ve seen something special.

Saya pikir, Ajeng menjalani sekaligus mengalami personal transformation yang mengagumkan. Sepanjang yang saya ketahui, Ajeng semakin berhasil memiliki kondisi fitness dan bentuk badan yang ideal. Selain itu, Ajeng juga terlihat semakin melebarkan pengalamannya melalui banyak travelling baik di dalam maupun di luar negeri. All in all, transformasi Ajeng dapat dirangkum di postingan IG-nya (@asmarandhany) kemarin (31/12).

Screen Shot 2019-01-01 at 20.00.09

Membaca tulisan ini, saya terkagum-kagum. Personal transformation yang dialami oleh Ajeng ternyata lebih dari sekadar kebugaran dan travelling. Dan sungguh saya terhenyak ketika membaca petikan dari tulisannya :

I love my own space and the peace that comes with it.

Its a powerful statement. Saya menyadari bahwa tidaklah mudah untuk mencintai ruang yang kita miliki sendiri di dalam diri sendiri, apalagi menjadikannya sebagai salah sumber dari kedamaian hati.

Mencintai diri sendiri dalam kesendirian dan keheningan diri tidak bisa serta-merta diperoleh. Khususnya ketika diri ini kerap mengkhianati janjinya sendiri.

Khususnya ketika diri ini cenderung menyabotase perkembangan diri sendiri.

Melalui ketidak-disipilinan dan ketidak-konsistenan.

Saya termasuk orang yang sulit untuk disiplin. Saya termasuk orang yang susah konsisten. Apalagi jika itu menyangkut hal-hal yang saya janjikan terhadap diri saya sendiri. Kredibilitas diri saya, bagi diri saya sendiri sudah hancur berantakkan.

I just don’t trust myself to transform and to experience true growth that come with it.

Saya menyadari sekali, jika saya ingin menjadi lebih baik, langkah pertama yang bisa saya ambil adalah memperbaiki hubungan saya dengan diri saya sendiri.

I have to make me trust myself again.

Bagaimana caranya ? Dengan menunaikan janji yang sudah saya cetuskan kepada diri sendiri. Saya ingin mengalami seperti yang Ajeng alami. Menjalani dan mengalami personal transfomation yang sedemikian impactful sedemikian mendalam dan mendasar yang mampu mengubah pandangan terhadap diri sendiri secara lebih baik dan positif.

Saya yakin, ketika itu mampu saya jalani dan selesaikan, hidup saya pun akan berubah signfikan menjadi lebih baik.

Saya ingin menjadi pribadi yang terpercaya dan kredibel, untuk diri saya sendiri.

Saya mulai dari situ. Karena really :

The only thing stands between me and greatness is my own selves.

Let’s do this.