The Crippled Boy

The boy walks

He needs to keep on walking

Because he walks on the treadmill made of time

The boy may stand still, but the treadmill keeps on rolling

Because the treadmill stops for no man, nor any boy

The boy walks

Now crippled with less possession to his own hearts

Because somehow it is no longer belong to him

The boy walks

Now completely at mercy

I don’t have anything, cried the boy, I could torned away anytime any moment, he added

Beyond him but ridiculously close to him, The Maker saw

The Maker always witness

The Maker always hear

The Maker knew the boy barely walked The Path

The boy had so much to prove, the boy had so many to redeem

But fear not, deemed The Maker

You are getting there.

[Old-Post] I love you. And I want you to love me. That’s why I bullshit you everyday.

Banyak tulisan telah dibuat mengenai kepercayaan dan cinta, yang menyatakan bahwa apabila kita bisa membangun hubungan yang penuh cinta dan kepercayaan, maka kita bisa saling jujur satu sama lain.

Aku justru mempercayai yang sebaliknya.

Memang enak ketika aku bisa mencintai sekaligus mempercayai seseorang, tetapi jika aku tidak merasakan ini, apa yang bisa aku lakukan ? Kepercayaan dan cinta adalah sebuah perasaan SEBAGAI respon-ku terhadap orang lain, dan respon ini TIDAK BISA direkayasa.

Ini hanyalah tentang apakah aku merasakan cinta, atau tidak.

Segala penekanan atau penegasan terhadap bahwasanya kepercayaan dan cinta bisa dihasilkan lewat berpura-pura mempercayai dan mencintai—dengan alasan : “karena ini sehat, dan akan membawa kedekatan, kejujuran, dan lain sebagainya”—hanya akan menambah kepalsuan dan ketidak-jujuran untuk setiap perilaku yang ada.

Namun demikian, kejujuran, adalah sebuah perilaku (alih-alih respon) dan merupakan sesuatu yang bisa aku pilih. Aku tidak bisa memilih untuk mencintai atau mempercayai, TETAPI aku selalu bisa memilih untuk jujur atau tidak.

Dan ketika aku memilih untuk sungguh-sungguh jujur dengan berkata sesuai dengan apa yang memang aku alami dan rasakan, aku menunjukkan bahwa aku bisa dipercaya.

Hanya perilaku inilah yang mampu memanggil respon kepercayaan. Kepercayaan merupakan responku terhadap seseorang yang aku tahu bisa aku percaya. Meski aku tidak menyukai seseorang, aku bisa mempercayainya apabila dia senantiasa jujur padaku, dan aku menghormati keinginannya untuk jujur.

Tentu saja, kejujuran TIDAK SELALU membawa respon berbentuk cinta, namun ini sangatlah esensial. Ketika aku jujur apa adanya, dan kamu meresponku dengan kehangatan dan kepedulian yang tulus, maka di sini telah ada yang namanya cinta.

Sekali lagi, ketika aku jujur apa adanya, dan kamu meresponku dengan kehangatan dan kepedulian yang tulus, maka DI SINI telah ADA yang namanya CINTA.

giphy
Jika aku berkalkulasi dan memasang perilaku palsu hanya untuk menyenangkan dirimu, kamu mungkin saja mencintai perilaku-ku, tetapi kamu tidak bisa mencintaiku, karena aku telah menyembunyikan keberadaan/eksistensi-ku yang sesungguhnya DI BALIK perilaku artifisial ini. Kendati pun kamu mencintaiku sebagai responmu terhadap perilaku-ku yang ini, aku tidak bisa BENAR-BENAR menerima cintamu.

Karena cinta itu telah teracuni oleh pengetahuanku, bahwa ia ada HANYA untuk image yang telah aku ciptakan, bukan benar-benar untukku. Dengan begitu, aku pun harus senantiasa berjaga, memastikan bahwa aku selalu memelihara image-ku ini sehingga cintamu takkan pergi kemana-mana.

Karena aku telah menutup diriku sendiri dari cintamu dengan cara ini, aku akan selalu merasa kesepian dan tidak dicintai. Oleh karenanya, aku dengan putus asa terus memanipulasi diriku sendiri juga kamu, untuk selalu bisa mendapatkan cinta ini.

Betapa kontrasnya keadaan kita jika aku membuka diriku apa adanya, baik terhadap diriku sendiri maupun terhadap dirimu, dan kamu merespons-ku SEBAGAIMANA AKU DI SAAT ITU (tanpa perlu kamu ditemani oleh penilaianmu, pengalaman masa lalumu, prasangkamu, harapanmu, nilai-nilaimu, moralitasmu, serta dogma dan doktrinmu).

Aku akan bisa menerima segala sesuatu sepenuhnya, serta menyadari betul kepuasan dan kesejatian ketika bersamamu.
Hubungan yang penuh kejujuran ini tidaklah selalu menyenangkan. Tentu saja. Terkadang kita merasa sedih, marah, kecewa, dan hancur karenanya.

Tetapi demi Tuhan, it is always SOLID, REAL, and vitally ALIVE. *

* Diterjemahkan (dan telah sedikit disesuaikan dan dibumbui oleh saya sendiri for (maybe) your own comfort and enjoyment in reading translated stuff) dari John O. Stevens dalam Awareness : Exploring, Experimenting, Experiencing (1971), yang dikutip dari Brad Blanton dalam Radical Honesty (1996 : 56-58)

51nisckhnol

—–oOo—–

Mungkin kita cukup takut untuk mengetahuinya. Atau kita terlalu sibuk untuk meluangkan waktu mencarinya. Atau barangkali justru kita terlampau dungu dan bebal untuk menyadarinya.

Kebenaran itu. Kesejatian itu.

Itulah yang senantiasa kita rindukan segera setelah udara dunia merengkuh penuh kulit kita yang tipis untuk pertama kalinya. Itulah yang senantiasa kita dambakan segera setelah kita mengenal betapa nyaman, aman, dan hangatnya dekapan kasih Ibunda kita untuk pertama kalinya.

Kebenaran kadang merupakan sesuatu buruk rupa. Kebenaran kadang tak punya belas kasihan. Kebenaran kadang menghancurkan segalanya. Menghancurkan persahabatan, mematikan cinta kasih, memutilasi kesetiaan dan kepercayaan.

Tidak. Kebenaran seperti itu, karena manusia yang memberinya atribut demikian. Manusia melekatkan kata-kata sifat seperti itu SETELAH ada kepentingannya yang tak tercapai atau ada perasaannya yang porak-poranda.
Sedangkan kebenaraan tetap berada di sana. Berdiri mantap. Tak tergoyahkan. Bebas nilai, bebas prasangka, bebas definisi. Kebenaran yang apa adanya. Kebenaran yang selama ini sudah ada dalam diri setiap manusia. Menanti untuk diterima, diakui, dan disyukuri keberadaannya.

Why can’t we just accept the truth as it is ? Why can’t we just tell the truth ?

—–oOo—–

“We all lie like hell. It wears us out. It is the major source of all human stress. Lying kills people.. Evidence from the past doesn’t prove anything about current experience.. If we humans are to be saved form ourselves, individually as well as collectively, we have to learn more about the art and science of speaking the truth.”—Brad Blanton

“Kunci pertama menuju kebesaran adalah menjadi seorang yang sama dengan pribadi yang terlihat.”—Socrates

“All truths are easy to understand once they are discovered; the point is to discover them.”
—Galileo Galilei

“There are only two mistakes one can make along the road to truth; not going all the way,
and not starting.”—Buddha

“And you will know the truth, and the truth will make you free.”—John (8 : 32)

“Tidakkah manusia itu lucu, Bodhi ? Selama hidup mereka konstan mengeluh dan mengaduh, tapi begitu hidup ingin menarik diri, mereka tidak pernah rela.. Langkahkan kaki, tendangi kerikil, dan temukan Kesejatian itu.”—Dewi Lestari (Dee)

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar-balikkan [kata-kata] atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”—Q.S Annisa : 135

“I love you, and because I love you, I would sooner have you hate me for telling you
the truth than adore me for telling you lies.”—Pietro Ariteno

Mata yang Menipu

Kita tidak bisa mempercayai mata ini sepenuhnya.

What is seen deceives you.

Sedihnya, kita cenderung mengambil kesimpulan yg begitu decisive terhadap emotional state solely based on what is happening before our eyes.

Ditambah dengan kecanduan kita terhadap social media. Lengkap sudah.

Parade kebahagiaan dari orang-orang sekitar. Tentang pertemuan hangat dan intim dengan teman dan keluarga. Tentang anak-anak mereka yg menggemaskan. Tentang perjalanan mereka ke tempat-tempat yg mengagumkan ke pelosok dunia. Tentang prestasi dan pencapaian mereka yg berkilauan.

internet-says

Kita melihatnya. Dan kadang benak ini tak pelak mengkerdilkan diri masuk ke lubang gelap dingin bersama teman imajiner yg kerjanya hanya berbisik : “Sepertinya hanya engkau-lah satu-satunya yg tidak bahagia.”

Nyatanya kita tidak pernah bisa mengetahui keadaan orang lain yg sebenar-benarnya. Apalagi orang-orang yg lebih sering kita ketahui kehidupannya lewat social media.

People have their own problem, katanya, no matter how shiny they looked before your eyes.

Everyone fought their own battle, katanya.

Longing

Tanpa di sadari, kita senantiasa menjalani hidup ini dengan ‘auto-pilot’. Raga kita menjalani aktivitas sehari-hari seperti berjalan kaki, naik kendaraan, makan, minum, dan sebagainya, tetapi “kita tidak benar-benar hadir di sana”.

Physically we are doing regular stuffs but our mind was venturing elsewhere.

We are not present. We are either strolled back to the past, or flown away into the imagination of futures, or something in between.

Kita jadi seperti robot. Zombie. Walking dead.

Pagi itu di tahun 2014, ketika saya  masih kuliah di United Kingdom, sekitar pukul 7.00 GMT, saya berjalan kaki dari flat menuju terminal bus. Rutenya sama. Pemandangan sekitaran jalannya sama, hanya saja lebih sepi, meski di kala itu matahari sudah bersinar terang.

Biasanya saya pun berjalan dengan mode auto pilot. Kaki dan tubuh ini seperti sudah di program untuk menuju tujuan tanpa cela sedikit pun. Dan saat itu juga pikiran saya pun telah berpergian melintasi ruang dan waktu ke tempat lain sesuka hatinya.

Tetapi tidak pagi itu.

Sepanjang jalan saya memandangi sekitar saya. Gedung kampus, jalanan yang sepi, rumah-rumah penduduk, pub dan bar, rumput-rumput hijau, bunga-bunga di taman yg berwarna-warni.

Seketika saya pun terpesona menyadari bahwa kini saya sudah sedemikian terbiasanya hidup di sini.

Hidup jauh dari rumah. Jauh dari semua yg saya ketahui dan kenali selama 28 tahun.

Somehow saya pun menyadari betapa kecil dan sendirinya diri ini, terlepas dari banyaknya teman dan sahabat yg senantiasa hadir baik secara fisik maupun maya.

In fact, we are always alone. If not now, then tomorrow. If not in this life, then in our deathbed.

We are meant to be alone in the end.

I am humbled.

Kunci

Being consistent and discipline is hard. That is why greatest people alive are always a few among many. Because to do such consistency and discipline so just plain hard.

Ada yang bilang kalo disiplin dan konsistensi itu di dorong oleh yg namanya ‘Purpose’. Bahasa Indonesianya mungkin “Maksud” atau “Tujuan” tapi somehow dua kata ini tidak se-powerful bahasa aslinya.

Yeah, sedemikian powerful sehingga sanggup mendorong seseorang untuk mengabaikan malas, distraksi, dan penghalang-penghalang psikologis lainnya dalam rangka melakukan apa yg harus dirinya lakukan.

Purpose.

Somehow, itu jugalah yg membentengi diri dari perasaan insecure, terutama ketika melihat orang-orang lain yg tampaknya senantiasa berbahagia dan sukses. Betapa manusia itu merupakan makhluk yg sangat cepat mengambil kesimpulan dari sedikit informasi yg dia terima.

Betapa manusia itu senang sekali melakukan ‘deletion’ terhadap kenyataan yg sesungguhnya terjadi.

Kadang memang kenyataan yg tersaji memang tidak utuh. Kadang kenyataan yg tampak sama sekali tidak mendeskripsikan yg sesungguhnya.

Semuanya serba sepotong. Dan potongan ini kita telan bulat-bulat untuk kita jadikan satu-satunya kebeneran di benak kita.

We simply don’t know shit about other people. We will never know, no matter how open they are to us or how a celebrated attention-seeker whore they are on the social media.

Just like our own selves. There is always things we kept to ourselves.

Something dark. Something that we’re so afraid of to be known to others. Something that is mysterious even to ourselves.

gilmer__the_darkness_inside_by_vialir-d6owuhv

I am still looking for a key that unlock the mystery to myself.

Don’t we all ?

Menempa Diri

Sepertinya memang benar.

Adalah sulit untuk konsisten ketika reward yg kita inginkan tidak segera datang.

Betapa sulitnya mendidik diri ini untuk menghargai proses yang panjang dan berkesinambungan.

Betapa laparnya diri ini akan sesuatu yg serba instan dan cepat, tanpa melibatkan usaha yg banyak.

Sungguh berbahaya.

Secara tidak sadar, kecenderungan ini melemahkan integritas diri, mengkerdilkan keteguhan hati, serta menciutkan kedisiplinan mental.

All my life, saya selalu melihat banyak hal digambarkan melalui kurva lonceng. Orang-orang yg katanya “berhasil” (apapun bentuknya) jumlahnya selalu sedikit.. Termasuk yg terbilang “gagal”, di mana jumlah mereka sama sedikitnya dengan mereka yg berhasil. Mereka tergambarkan dengan sisi-sisi lonceng yg menurun.

Yg paling banyak jumlahnya adalah mereka yang “biasa-biasa” saja. Tergambarkan dengan badan lonceng yg gemuk dan lebar.

2014-10-03-blogbellcurve
Bell Curve – Huffington Post

Yang harus diyakini pasti adalah bahwa the progress is real. And its lingering effect should be felt soon if we are to keep going and not giving in to the laziness or boredom.

Barangkali kuncinya adalah menjaga agar rantai konsistensi ini tetap terjaga dan jangan sampai putus.

Ketika terputus, tidak akan ada efek apa2 kecuali judgment hebat dari sendiri tentang betapa payah dan lemahnya diri ini. Sesuatu yg mengerikan.

Ketika si rantai konsistensi dan disiplin bisa terus dijaga, dari hari ke harinya, ada reward yg sesungguhnya datang dengan instan : Perasaan yang sangat enak untuk dirasakan seharian.

Perasaan memiliki kuasa penuh atas diri sendiri dengan kepercayaan diri yang solid.

Perasaan bahwa diri ini tidaklah seperti apa yg dihakimi oleh diri sendiri selama ini.

Rasa kemenangan.

Perasaan transformasi diri yg membebaskan.

Ini adalah sebuah pembuktian diri. Bukan kepada orang lain, melainkan kepada sang hakim yg ada di dalam diri ini. Sang hakim yg selama ini sudah terlanjur menghakimi diri sendiri dengan label pemalas, indisipliner, inkonsisten, lemah integritas, dan hal-hal buruk lainnya.

Still a long way to go.

 

I am My Own Worst Enemy

Manusia seumur hidup gak berhenti diuji integritasnya. Setiap hari. Setiap saat. Kalau pun gak ada orang lain yg ngeh, keutuhan pribadi itu tetep diawasi oleh sang hakim yg ada di dalam diri sendiri.

Konsekuensi dari sistem “free will” yg di-install ama Tuhan. Kita sebagai manusia jadi selalu punya pilihan untuk melenceng dari apa yg sudah kita janjikan keluar.

Or is it ?

Jadi inget bukunya “The God’s Debris” yg bilang kalo kebebasan memilih yg dianugerahkan sama manusia itu gak lain gak bukan adalah ilusi semata.

50221-_uy440_ss440_

Ilusi yg diciptakan untuk membuat manusia berpikir kalau dia-lah yg sesungguhnya memegang kendali dalam kehidupannya.

Ilusi yg didesain untuk membuat manusia berpikir kalau dirinya-lah yg menentukan nasibnya sendiri.

Salah satu gagasan dari “The God’s Debris” yg paling mengguncang nalar adalah ketika ada pertanyaan :

“Jika Tuhan Maha Mengetahui segalanya, maka apakah Dia mengetahui nasib-Nya sendiri ?”

Pemikiran yg menarik sekaligus mengganggu. Belum baca sampe selesai karena abstraksi buku itu masih sulit untuk dicerna.

Anyhoo, balik lagi ke integritas, itu kayanya jadi isu sentral kebanyakan orang saat ini. Termasuk saya.

Susah jadi manusia itu.

Akhir-akhir ini saya jadi makin paham kenapa Muhammad SAW pernah bilang kalau peperangan terbesar terjadi di dalam diri manusia itu sendiri. Karena peperangan ini berlangsung seumur hidup, dan setiap saat. With a little break. And occured oftenly when you are at least expected it.

I am my own worst enemy.

7d98acf9f5d0efcdc18d5efd7c4071be

[Old-Post] The Last Samurai : Reflecting to the Now, where Devotion is Scarce

Film lain yang memberi impact cukup dalam menurut saya adalah film-nya Tom Cruise, The Last Samurai (2003).

Ada satu kalimat yang sampai detik ini masih terngiang-ngiang di benak yaitu :

They are an intriguing people (mengacu ke orang-orang di desa Samurai), from the moment they wake.. They devoted themselves to the perfection of whatever they pursue. I have never seen such discipline.”

Devotion. Toward perfection.

Kata-kata itu begitu menancap dalam di benak ini.

Apa rasanya memiliki rasa pengabdian tak tergoyahkan akan sesuatu hal ?

Bahasa sekarangnya mungkin adalah komitmen dan disiplin.

Its a hard thing to do. Really.

Saya coba menelaah mengapa ini sulit dilakukan dari berbagai sisi.

Yang pertama adalah perbedaan zaman. Zaman sekarang, terlalu banyak distraction. TV, radio, box office movie, video game, social media, youtube. Flood of information. We are getting more than we can grasp and even comprehend. Zaman sekarang adalah zaman di mana fokus semakin sulit dilakukan.

Ngerjain tugas, cari bahan di googling, tiba-tiba perhatian tertarik sama hasil search google yang lain, klik ke sana, ternyata isinya menarik, and gone..

Niatnya break ngerjain tugas dengan cara youtube-ing, niatnya nonton satu video klip, terus liat tabel youtube recommendation, banyak hal-hal yang menarik di sana, klik ke situ, nonton, klik lagi lanjutannya, nonton, one thing led to another, and gone..

Siapa bilang kalau zaman sekarang itu hidup jadi lebih mudah ? No it is not.

Kalau zaman dulu memang basically there is nothing else to do selain melakukan apa yang dilakukan oleh samurai-samurai itu. Zaman sekarang memang lebih serba lebih mudah dan nyaman dalam hal akses informasi, tetapi itu ternyata menimbulkan korosi terhadap fokus dan disiplin diri.

Kayanya belum pernah umat manusia diuji seperti ini di zaman-zaman sebelumnya. Tantangannya makin berat.

Manusia sekarang diuji bukan karena kekurangan resource kaya di zaman dulu, tetapi karena kelebihan resource, terutama informasi.

Manusia sekarang secara konstan diuji terus kapasitas fokus, konsistensi, dan komitmennya.

Zaman sekarang begitu kompleks, rumit, dan.. Berisik.. Sehingga kesederhaan dan hal minimalistik adalah sesuatu yang begitu dirindukan. Setidaknya bagi saya.

Yang berikutnya mungkin adalah efek pendidikan orang tua. Well, bahkan Ibu saya pernah bilang kalau : “Ini salah mamah, mamah dulu terlalu memanjakan kalian.”

Orang tua zaman sekarang dengan segala kemudahan teknologi itu akhirnya jadi cenderung lembek dan terlalu memanjakan anak-anaknya. Dan anak-anak ini, dengan pengetahuan dan akses tanpa batas ke dunia luar mereka, jadi lebih banyak punya referensi tentang apa yang terjadi di luar sana. Akselerasi kecerdasan mereka akan semakin menggila.

Lagi-lagi, belum pernah sebelumnya orang tua diuji oleh pendidikan anaknya sendiri seperti di zaman sekarang. Membesarkan anak di zaman sekarang keliatannya adalah sesuatu yang penuh resiko. Terutama bagi si anak itu.

Si anak bisa menjadi sangat cerdas dan pintar dengan sebegitu instan, sehingga mereka jadi lack of appreciation terhadap proses. Well, ini hanya pandangan saya. Saya sendiri belum pernah membesarkan anak.

Tetapi poin utamanya adalah, zaman sekarang orang-orang sepertinya pingin segala sesuatu serba instan. Dan saya sendiri memiliki kecenderungan seperti itu. Mengerikan.

Makin ke sini, berarti manusia semakin menyimpang dari apa yang sudah digariskan oleh alam. I mean, there is nothing instant in this universe. Alam sudah mengajarkan kita bahwa segala sesuatunya bertumbuh perlahan dengan anggun dan pasti, memenuhi takdirnya sendiri-sendiri, terus bertumbuh hingga akhir. Akhirnya kapan ? Tidak ada yang tahu, but it doesn’t matter, they will keep growing without a scent of prejudice.

Anyway, pokoknya zaman sekarang hidup itu lebih sulit, karena segala sesuatunya semakin mudah.

Paradoks yang membingungkan sekaligus mengagumkan.

[Old-Post] The Wolf of Wall Street : Another Example of Life’s Irony

Abis nonton The Wolf of Wall Street. Amazing story. Amazing performance by Di Caprio and Jonah Hill.

Salah satu dari sedikit film yg menimbulkan impact ke diri sendiri.

Money is indeed a power, sesuai yg digambarkan sama film itu.

Tetapi bukan uang yg menyebabkan kejatuhan.

Melainkan arogansi.

Seperti flu. Tuhan sepertinya sudah menanamkan benih arogansi dalam diri setiap manusia.

Its already there. Tidak senantiasa muncul, kalau tidak ada hal yg memicunya..

Hal-hal seperti.. Prestasi, penghargaan, pengakuan, pencapaian, keberhasilan, kesuksesan, kepemilikan atas sesuatu.. Semua yg didamba oleh kebanyakan orang.

Hingga suatu saat, hal-hal ini jualah yg menjadi alasan dibalik kehancuran mereka.

Oh, how I love when I discovered another life’s irony.

[Old Post-Repost] Mengapa Kita Menyukai Keburukkan Orang Lain

Ini merupakan penggalan tulisan dari guru saya, Kang Gunadi Haristiwan (KG). Simply amazing and will slap your ass hard.

Dalam percakapan sehari-hari antara dua orang yang sudah berteman cukup lama, jika mau di survey lah maka saya yakin sekali bahwa topik tentang membicarakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain akan menempati urutan tiga besar ke atas. Dan sebaliknya saya juga yakin seyakin-yakinnya bahwa topik pembicaraan tentang kebaikan, keteladanan, kebijaksanaan orang lain akan berada di urutan dua puluh besar ke bawah. Sedemikian parahnya perilaku manusia sekarang? Jika anda tidak mempercayainya coba lakukan survey terhadap diri anda sendiri dan orang-orang terdekat disekitar anda. Amati topik pembicaraan mereka atau anda jika bersama dengan orang-orang terdekat atau teman-temannya lah, maka saya yakin anda akan sepakat dengan saya.

Nah pertanyaannya, mengapa kita suka sekali mendengar atau menceritakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain? Ini adalah pertanyaan yang dulu saya ajukan ke diri saya sendiri, dalam usaha saya untuk menemukan jawaban.

Setelah saya amati, ternyata ada semacam rasa senang atau rasa kepuasan tertentu yang yang muncul di dalam diri kita, ketika mendengar hal-hal yang menurunkan kredibilitas orang lain di mata kita.

d6ed2c3fc2475f5def020f6fc6205b6558a2259d3b05c21a2db8e1d2850dbed6

Pertanyaan selanjutnya, mengapa rasa senang atau rasa kepuasan tertentu ini muncul? Cukup pelik saya memikirkan jawabannya, tetapi saya akhirnya menyadari bahwa ini ternyata berhubungan dengan ‘ego’ saya. Ego sebagaimana yang saya sampaikan di tulisan sebelumnya saya defenisikan sebagai hal-hal atau segala sesuatu yang mengarah kepada kepentingan, keuntungan atau kesenangan diri kita sendiri semata saja. Jadi ternyata rasa senang atau rasa kepuasan itu akan muncul, jika saya menemukan ada sesuatu yang membuat orang lain terlihat menjadi semakin buruk atau berkurang kebaikannya di mata saya.

Ekspresi dari rasa senang atau kepuasan ini belum bisa saya uraikan secara gamblang, tetapi jika kita amati dengan teliti maka kita akan menemukannya. Yang pasti ekspresinya ini menghasilkan semacam rasa ketagihan dalam diri kita. ‘Sakau’ kali yah bahasa tepatnya menggunakan istilah jaman sekarang. Amati saja orang-orang disekitar anda yang suka sekali membicarakan keburukan orang lain. Sehari saja dia gak ngomongin kejelekan orang maka tampangnya menjadi menyedihkan lah. Dan ini serius, saya menemukan banyak sekali contoh dalam perjalanan hidup saya selama ini.

Nah, pertanyaan saya berikutnya kepada diri saya adalah, mengapa rasa senang atau kepuasan tersebut membuat saya nyaman dan membuat saya selalu ingin mengulang dan mengulangnya lagi? Mencari jawabannya cukup membuat ego saya terbanting-banting.

Karena ternyata saya merasa nyaman ketika melihat kredibilitas orang lain di mata saya menjadi buruk atau lebih buruk adalah, karena saya tidak bisa ‘sebaik’ mereka.

apply_cold_water_to_burned_area

Saya merasa tidak pernah mampu menjadi sebaik atau lebih baik dari orang tersebut, maka saya akan merasa sangat nyaman ketika akhirnya orang tersebut memiliki cacat, keburukan, aib atau kejelekan yang saya anggap dapat menurunkan kredibilitasnya di dalam diri saya.

Pertama kali saya menyadari ini, yang pasti saya terkejut sendiri. Dalam hati saya berkata, “Berarti selama ini, ketika saya sangat suka mendengar dan mebicarakan keburukan orang lain sebenarnya adalah karena saya sakit jiwa. Hanya orang yang sakit jiwanya saja, yang menyukai dan mengharap keburukan atau aib orang lain agar dirinya merasa nyaman!“.

Selanjutnya dari pemahaman tersebut saya mencoba memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tentang keburukan orang lain ini bagi diri saya. Cerita buruk yang saya terima pastinya akan diperlakukan sebagai informasi oleh memori di otak saya. Terlepas benar atau salah, informasi itu tetap disimpan di memori otak saya. Informasi ini suatu saat akan di pakai otak saya sebagai salah satu referensi untuk merespons sesuatu bagi diri saya.

Saya membayangkan bagaimana persepsi saya akan seseorang bisa berubah drastis jika informasi buruk ini terus-menerus dimasukkan ke memori otak saya. Mending jika informasi tersebut benar, jika salah maka saya sudah melakukan fitnah secara tidak langsung dengan berprasangka buruk pada orang lain. Yang teringat oleh saya saat membayangkan itu, adalah cerita para Nabi saat mereka awal-awal menyebarkan ajarannya. Cerita tentang keburukan para Nabi menyebar dan disebarkan oleh ribuan orang, mayoritas orang mempercayai cerita buruk tersebut bahkan semua yang belum pernah bertemu dengan Nabi pun membenarkannya. Apa yang terjadi ketika mereka bertemu langsung dengan Nabi? Anda semua sudah tahu ceritanya lah. Nah, saya tidak mau terjebak menjadi konyol seperti itu. Karena dampak cerita keburukan orang lain akan menyelewengkan persepsi saya nantinya.

Nah banyak lagi penelusuran dan pemikiran yang saya lakukan, hingga akhirnya membuat saya semakin yakin untuk memutuskan menghindari pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain. Dampaknya terlalu hebat merusak otak dan akal saya yang merupakan satu-satunya benda berharga di dalam diri saya. Hina sekali rasanya jika saya harus mengorbankan otak dan akal saya, hanya untuk sekedar kenikmatan atau perasaan nyaman yang saya peroleh dengan membicarakan keburukan orang lain.

Taken from :
http://lemurianfx.com/stop-curhat/