Project Habits

Konsistensi dan disiplin senantiasa menjadi hal yang mengusik saya. Simply karena saya orang yang sulit konsisten dan disiplin. Sulit bagi saya untuk seperti itu. Rasanya saya tidak bisa untuk tidak menyabotase diri sendiri.

Saya masih mencari kunci itu, sampai akhirnya saya menemukan buku The Power of Habit oleh Charles Duhigg dan Atomic Habits oleh James Clear. Yang kedua telah saya baca habis. Dari sekian banyak tips and trick yg James sampaikan di bukunya, yang paling menarik bagi saya adalah sarannya mengenai memulai dengan hal yang paling mudah.

Contoh, jika saya ingin membiasakan diri berlari pagi, saya tidak disarankan untuk langsung berlari sejauh 1 km atau 5 putaran atau selama 30 menit. Hal tersebut bisa saja dilakukan pada saat hari-hari pertama kebiasaan tersebut dilakukan. Tantangannya adalah konsistensi melakukan hal yang sama setiap hari.

Saya mendengar konsep ini bukan dari James pada awalnya. Saya mengetahuinya dari video youtube dibawah ini.

Yes, tantangan dari konsistensi adalah ketika kita diserang malas, hal tersebut semakin diperparah dengan bayangan bahwa kita harus melakukannya selama 30 menit, 5 putaran, atau 1 km. Setelah itu, biasanya kita bolos atau berhenti sama sekali. Ada yang seperti itu ? Saya seperti itu. Many many many times di sepanjang hidup saya.

Rupanya seperti yg dijelaskan di video di atas serta diperkuat dengan penjelasan James Clear yang mengatakan bahwa salah satu kunci mendirikan kebiasaan baru adalah memulai dengan sangat mudah, sedemikian mudah sehingga ketika kita sedang malas-pun kita tetap bisa melakukannya, saking mudahnya.

Dalam kasus mendirikan kebiasaan berlari setiap pagi, alih-alih mencoba berlari pagi selama 30 menit, 1 km, ataupun 5 putaran, saya bisa memulai dengan sangat mudah yaitu berlari 2-5 menit, 100 meter, ataupun cukup 1 putaran saja.

Orang pada umumnya akan berpikir, “Hey, di mana olahraganya kalau cuma lari 5 menit?”

Ternyata baik menurut James maupun video di atas, yang pertama perlu dijadikan perhatian adalah bukan olahraganya, tapi lebih ke kebiasaannya. Seperti penjelasan di atas, kita bisa saja olahraga hingga berkeringat deras, namun berapa banyak dari kita yang mampu konsisten melakukannya setiap hari ?

Pada kenyataannya, tulisan ini dibuat setiap hari dengan mindset yang sama! Saya mencoba menulis setiap hari setidaknya satu paragraf saja! Dan saya sudah mulai sejak 5 hari yang lalu. Tidak terlalu buruk, bukan?

[Old-Post] I love you. And I want you to love me. That’s why I bullshit you everyday.

Banyak tulisan telah dibuat mengenai kepercayaan dan cinta, yang menyatakan bahwa apabila kita bisa membangun hubungan yang penuh cinta dan kepercayaan, maka kita bisa saling jujur satu sama lain.

Aku justru mempercayai yang sebaliknya.

Memang enak ketika aku bisa mencintai sekaligus mempercayai seseorang, tetapi jika aku tidak merasakan ini, apa yang bisa aku lakukan ? Kepercayaan dan cinta adalah sebuah perasaan SEBAGAI respon-ku terhadap orang lain, dan respon ini TIDAK BISA direkayasa.

Ini hanyalah tentang apakah aku merasakan cinta, atau tidak.

Segala penekanan atau penegasan terhadap bahwasanya kepercayaan dan cinta bisa dihasilkan lewat berpura-pura mempercayai dan mencintai—dengan alasan : “karena ini sehat, dan akan membawa kedekatan, kejujuran, dan lain sebagainya”—hanya akan menambah kepalsuan dan ketidak-jujuran untuk setiap perilaku yang ada.

Namun demikian, kejujuran, adalah sebuah perilaku (alih-alih respon) dan merupakan sesuatu yang bisa aku pilih. Aku tidak bisa memilih untuk mencintai atau mempercayai, TETAPI aku selalu bisa memilih untuk jujur atau tidak.

Dan ketika aku memilih untuk sungguh-sungguh jujur dengan berkata sesuai dengan apa yang memang aku alami dan rasakan, aku menunjukkan bahwa aku bisa dipercaya.

Hanya perilaku inilah yang mampu memanggil respon kepercayaan. Kepercayaan merupakan responku terhadap seseorang yang aku tahu bisa aku percaya. Meski aku tidak menyukai seseorang, aku bisa mempercayainya apabila dia senantiasa jujur padaku, dan aku menghormati keinginannya untuk jujur.

Tentu saja, kejujuran TIDAK SELALU membawa respon berbentuk cinta, namun ini sangatlah esensial. Ketika aku jujur apa adanya, dan kamu meresponku dengan kehangatan dan kepedulian yang tulus, maka di sini telah ada yang namanya cinta.

Sekali lagi, ketika aku jujur apa adanya, dan kamu meresponku dengan kehangatan dan kepedulian yang tulus, maka DI SINI telah ADA yang namanya CINTA.

giphy
Jika aku berkalkulasi dan memasang perilaku palsu hanya untuk menyenangkan dirimu, kamu mungkin saja mencintai perilaku-ku, tetapi kamu tidak bisa mencintaiku, karena aku telah menyembunyikan keberadaan/eksistensi-ku yang sesungguhnya DI BALIK perilaku artifisial ini. Kendati pun kamu mencintaiku sebagai responmu terhadap perilaku-ku yang ini, aku tidak bisa BENAR-BENAR menerima cintamu.

Karena cinta itu telah teracuni oleh pengetahuanku, bahwa ia ada HANYA untuk image yang telah aku ciptakan, bukan benar-benar untukku. Dengan begitu, aku pun harus senantiasa berjaga, memastikan bahwa aku selalu memelihara image-ku ini sehingga cintamu takkan pergi kemana-mana.

Karena aku telah menutup diriku sendiri dari cintamu dengan cara ini, aku akan selalu merasa kesepian dan tidak dicintai. Oleh karenanya, aku dengan putus asa terus memanipulasi diriku sendiri juga kamu, untuk selalu bisa mendapatkan cinta ini.

Betapa kontrasnya keadaan kita jika aku membuka diriku apa adanya, baik terhadap diriku sendiri maupun terhadap dirimu, dan kamu merespons-ku SEBAGAIMANA AKU DI SAAT ITU (tanpa perlu kamu ditemani oleh penilaianmu, pengalaman masa lalumu, prasangkamu, harapanmu, nilai-nilaimu, moralitasmu, serta dogma dan doktrinmu).

Aku akan bisa menerima segala sesuatu sepenuhnya, serta menyadari betul kepuasan dan kesejatian ketika bersamamu.
Hubungan yang penuh kejujuran ini tidaklah selalu menyenangkan. Tentu saja. Terkadang kita merasa sedih, marah, kecewa, dan hancur karenanya.

Tetapi demi Tuhan, it is always SOLID, REAL, and vitally ALIVE. *

* Diterjemahkan (dan telah sedikit disesuaikan dan dibumbui oleh saya sendiri for (maybe) your own comfort and enjoyment in reading translated stuff) dari John O. Stevens dalam Awareness : Exploring, Experimenting, Experiencing (1971), yang dikutip dari Brad Blanton dalam Radical Honesty (1996 : 56-58)

51nisckhnol

—–oOo—–

Mungkin kita cukup takut untuk mengetahuinya. Atau kita terlalu sibuk untuk meluangkan waktu mencarinya. Atau barangkali justru kita terlampau dungu dan bebal untuk menyadarinya.

Kebenaran itu. Kesejatian itu.

Itulah yang senantiasa kita rindukan segera setelah udara dunia merengkuh penuh kulit kita yang tipis untuk pertama kalinya. Itulah yang senantiasa kita dambakan segera setelah kita mengenal betapa nyaman, aman, dan hangatnya dekapan kasih Ibunda kita untuk pertama kalinya.

Kebenaran kadang merupakan sesuatu buruk rupa. Kebenaran kadang tak punya belas kasihan. Kebenaran kadang menghancurkan segalanya. Menghancurkan persahabatan, mematikan cinta kasih, memutilasi kesetiaan dan kepercayaan.

Tidak. Kebenaran seperti itu, karena manusia yang memberinya atribut demikian. Manusia melekatkan kata-kata sifat seperti itu SETELAH ada kepentingannya yang tak tercapai atau ada perasaannya yang porak-poranda.
Sedangkan kebenaraan tetap berada di sana. Berdiri mantap. Tak tergoyahkan. Bebas nilai, bebas prasangka, bebas definisi. Kebenaran yang apa adanya. Kebenaran yang selama ini sudah ada dalam diri setiap manusia. Menanti untuk diterima, diakui, dan disyukuri keberadaannya.

Why can’t we just accept the truth as it is ? Why can’t we just tell the truth ?

—–oOo—–

“We all lie like hell. It wears us out. It is the major source of all human stress. Lying kills people.. Evidence from the past doesn’t prove anything about current experience.. If we humans are to be saved form ourselves, individually as well as collectively, we have to learn more about the art and science of speaking the truth.”—Brad Blanton

“Kunci pertama menuju kebesaran adalah menjadi seorang yang sama dengan pribadi yang terlihat.”—Socrates

“All truths are easy to understand once they are discovered; the point is to discover them.”
—Galileo Galilei

“There are only two mistakes one can make along the road to truth; not going all the way,
and not starting.”—Buddha

“And you will know the truth, and the truth will make you free.”—John (8 : 32)

“Tidakkah manusia itu lucu, Bodhi ? Selama hidup mereka konstan mengeluh dan mengaduh, tapi begitu hidup ingin menarik diri, mereka tidak pernah rela.. Langkahkan kaki, tendangi kerikil, dan temukan Kesejatian itu.”—Dewi Lestari (Dee)

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar-balikkan [kata-kata] atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”—Q.S Annisa : 135

“I love you, and because I love you, I would sooner have you hate me for telling you
the truth than adore me for telling you lies.”—Pietro Ariteno

Mata yang Menipu

Kita tidak bisa mempercayai mata ini sepenuhnya.

What is seen deceives you.

Sedihnya, kita cenderung mengambil kesimpulan yg begitu decisive terhadap emotional state solely based on what is happening before our eyes.

Ditambah dengan kecanduan kita terhadap social media. Lengkap sudah.

Parade kebahagiaan dari orang-orang sekitar. Tentang pertemuan hangat dan intim dengan teman dan keluarga. Tentang anak-anak mereka yg menggemaskan. Tentang perjalanan mereka ke tempat-tempat yg mengagumkan ke pelosok dunia. Tentang prestasi dan pencapaian mereka yg berkilauan.

internet-says

Kita melihatnya. Dan kadang benak ini tak pelak mengkerdilkan diri masuk ke lubang gelap dingin bersama teman imajiner yg kerjanya hanya berbisik : “Sepertinya hanya engkau-lah satu-satunya yg tidak bahagia.”

Nyatanya kita tidak pernah bisa mengetahui keadaan orang lain yg sebenar-benarnya. Apalagi orang-orang yg lebih sering kita ketahui kehidupannya lewat social media.

People have their own problem, katanya, no matter how shiny they looked before your eyes.

Everyone fought their own battle, katanya.

Kunci

Being consistent and discipline is hard. That is why greatest people alive are always a few among many. Because to do such consistency and discipline so just plain hard.

Ada yang bilang kalo disiplin dan konsistensi itu di dorong oleh yg namanya ‘Purpose’. Bahasa Indonesianya mungkin “Maksud” atau “Tujuan” tapi somehow dua kata ini tidak se-powerful bahasa aslinya.

Yeah, sedemikian powerful sehingga sanggup mendorong seseorang untuk mengabaikan malas, distraksi, dan penghalang-penghalang psikologis lainnya dalam rangka melakukan apa yg harus dirinya lakukan.

Purpose.

Somehow, itu jugalah yg membentengi diri dari perasaan insecure, terutama ketika melihat orang-orang lain yg tampaknya senantiasa berbahagia dan sukses. Betapa manusia itu merupakan makhluk yg sangat cepat mengambil kesimpulan dari sedikit informasi yg dia terima.

Betapa manusia itu senang sekali melakukan ‘deletion’ terhadap kenyataan yg sesungguhnya terjadi.

Kadang memang kenyataan yg tersaji memang tidak utuh. Kadang kenyataan yg tampak sama sekali tidak mendeskripsikan yg sesungguhnya.

Semuanya serba sepotong. Dan potongan ini kita telan bulat-bulat untuk kita jadikan satu-satunya kebeneran di benak kita.

We simply don’t know shit about other people. We will never know, no matter how open they are to us or how a celebrated attention-seeker whore they are on the social media.

Just like our own selves. There is always things we kept to ourselves.

Something dark. Something that we’re so afraid of to be known to others. Something that is mysterious even to ourselves.

gilmer__the_darkness_inside_by_vialir-d6owuhv

I am still looking for a key that unlock the mystery to myself.

Don’t we all ?

I am My Own Worst Enemy

Manusia seumur hidup gak berhenti diuji integritasnya. Setiap hari. Setiap saat. Kalau pun gak ada orang lain yg ngeh, keutuhan pribadi itu tetep diawasi oleh sang hakim yg ada di dalam diri sendiri.

Konsekuensi dari sistem “free will” yg di-install ama Tuhan. Kita sebagai manusia jadi selalu punya pilihan untuk melenceng dari apa yg sudah kita janjikan keluar.

Or is it ?

Jadi inget bukunya “The God’s Debris” yg bilang kalo kebebasan memilih yg dianugerahkan sama manusia itu gak lain gak bukan adalah ilusi semata.

50221-_uy440_ss440_

Ilusi yg diciptakan untuk membuat manusia berpikir kalau dia-lah yg sesungguhnya memegang kendali dalam kehidupannya.

Ilusi yg didesain untuk membuat manusia berpikir kalau dirinya-lah yg menentukan nasibnya sendiri.

Salah satu gagasan dari “The God’s Debris” yg paling mengguncang nalar adalah ketika ada pertanyaan :

“Jika Tuhan Maha Mengetahui segalanya, maka apakah Dia mengetahui nasib-Nya sendiri ?”

Pemikiran yg menarik sekaligus mengganggu. Belum baca sampe selesai karena abstraksi buku itu masih sulit untuk dicerna.

Anyhoo, balik lagi ke integritas, itu kayanya jadi isu sentral kebanyakan orang saat ini. Termasuk saya.

Susah jadi manusia itu.

Akhir-akhir ini saya jadi makin paham kenapa Muhammad SAW pernah bilang kalau peperangan terbesar terjadi di dalam diri manusia itu sendiri. Karena peperangan ini berlangsung seumur hidup, dan setiap saat. With a little break. And occured oftenly when you are at least expected it.

I am my own worst enemy.

7d98acf9f5d0efcdc18d5efd7c4071be

[Old-Post] The Last Samurai : Reflecting to the Now, where Devotion is Scarce

Film lain yang memberi impact cukup dalam menurut saya adalah film-nya Tom Cruise, The Last Samurai (2003).

Ada satu kalimat yang sampai detik ini masih terngiang-ngiang di benak yaitu :

They are an intriguing people (mengacu ke orang-orang di desa Samurai), from the moment they wake.. They devoted themselves to the perfection of whatever they pursue. I have never seen such discipline.”

Devotion. Toward perfection.

Kata-kata itu begitu menancap dalam di benak ini.

Apa rasanya memiliki rasa pengabdian tak tergoyahkan akan sesuatu hal ?

Bahasa sekarangnya mungkin adalah komitmen dan disiplin.

Its a hard thing to do. Really.

Saya coba menelaah mengapa ini sulit dilakukan dari berbagai sisi.

Yang pertama adalah perbedaan zaman. Zaman sekarang, terlalu banyak distraction. TV, radio, box office movie, video game, social media, youtube. Flood of information. We are getting more than we can grasp and even comprehend. Zaman sekarang adalah zaman di mana fokus semakin sulit dilakukan.

Ngerjain tugas, cari bahan di googling, tiba-tiba perhatian tertarik sama hasil search google yang lain, klik ke sana, ternyata isinya menarik, and gone..

Niatnya break ngerjain tugas dengan cara youtube-ing, niatnya nonton satu video klip, terus liat tabel youtube recommendation, banyak hal-hal yang menarik di sana, klik ke situ, nonton, klik lagi lanjutannya, nonton, one thing led to another, and gone..

Siapa bilang kalau zaman sekarang itu hidup jadi lebih mudah ? No it is not.

Kalau zaman dulu memang basically there is nothing else to do selain melakukan apa yang dilakukan oleh samurai-samurai itu. Zaman sekarang memang lebih serba lebih mudah dan nyaman dalam hal akses informasi, tetapi itu ternyata menimbulkan korosi terhadap fokus dan disiplin diri.

Kayanya belum pernah umat manusia diuji seperti ini di zaman-zaman sebelumnya. Tantangannya makin berat.

Manusia sekarang diuji bukan karena kekurangan resource kaya di zaman dulu, tetapi karena kelebihan resource, terutama informasi.

Manusia sekarang secara konstan diuji terus kapasitas fokus, konsistensi, dan komitmennya.

Zaman sekarang begitu kompleks, rumit, dan.. Berisik.. Sehingga kesederhaan dan hal minimalistik adalah sesuatu yang begitu dirindukan. Setidaknya bagi saya.

Yang berikutnya mungkin adalah efek pendidikan orang tua. Well, bahkan Ibu saya pernah bilang kalau : “Ini salah mamah, mamah dulu terlalu memanjakan kalian.”

Orang tua zaman sekarang dengan segala kemudahan teknologi itu akhirnya jadi cenderung lembek dan terlalu memanjakan anak-anaknya. Dan anak-anak ini, dengan pengetahuan dan akses tanpa batas ke dunia luar mereka, jadi lebih banyak punya referensi tentang apa yang terjadi di luar sana. Akselerasi kecerdasan mereka akan semakin menggila.

Lagi-lagi, belum pernah sebelumnya orang tua diuji oleh pendidikan anaknya sendiri seperti di zaman sekarang. Membesarkan anak di zaman sekarang keliatannya adalah sesuatu yang penuh resiko. Terutama bagi si anak itu.

Si anak bisa menjadi sangat cerdas dan pintar dengan sebegitu instan, sehingga mereka jadi lack of appreciation terhadap proses. Well, ini hanya pandangan saya. Saya sendiri belum pernah membesarkan anak.

Tetapi poin utamanya adalah, zaman sekarang orang-orang sepertinya pingin segala sesuatu serba instan. Dan saya sendiri memiliki kecenderungan seperti itu. Mengerikan.

Makin ke sini, berarti manusia semakin menyimpang dari apa yang sudah digariskan oleh alam. I mean, there is nothing instant in this universe. Alam sudah mengajarkan kita bahwa segala sesuatunya bertumbuh perlahan dengan anggun dan pasti, memenuhi takdirnya sendiri-sendiri, terus bertumbuh hingga akhir. Akhirnya kapan ? Tidak ada yang tahu, but it doesn’t matter, they will keep growing without a scent of prejudice.

Anyway, pokoknya zaman sekarang hidup itu lebih sulit, karena segala sesuatunya semakin mudah.

Paradoks yang membingungkan sekaligus mengagumkan.

[Old-Post] The Wolf of Wall Street : Another Example of Life’s Irony

Abis nonton The Wolf of Wall Street. Amazing story. Amazing performance by Di Caprio and Jonah Hill.

Salah satu dari sedikit film yg menimbulkan impact ke diri sendiri.

Money is indeed a power, sesuai yg digambarkan sama film itu.

Tetapi bukan uang yg menyebabkan kejatuhan.

Melainkan arogansi.

Seperti flu. Tuhan sepertinya sudah menanamkan benih arogansi dalam diri setiap manusia.

Its already there. Tidak senantiasa muncul, kalau tidak ada hal yg memicunya..

Hal-hal seperti.. Prestasi, penghargaan, pengakuan, pencapaian, keberhasilan, kesuksesan, kepemilikan atas sesuatu.. Semua yg didamba oleh kebanyakan orang.

Hingga suatu saat, hal-hal ini jualah yg menjadi alasan dibalik kehancuran mereka.

Oh, how I love when I discovered another life’s irony.

[Old Post-Repost] Mengapa Kita Menyukai Keburukkan Orang Lain

Ini merupakan penggalan tulisan dari guru saya, Kang Gunadi Haristiwan (KG). Simply amazing and will slap your ass hard.

Dalam percakapan sehari-hari antara dua orang yang sudah berteman cukup lama, jika mau di survey lah maka saya yakin sekali bahwa topik tentang membicarakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain akan menempati urutan tiga besar ke atas. Dan sebaliknya saya juga yakin seyakin-yakinnya bahwa topik pembicaraan tentang kebaikan, keteladanan, kebijaksanaan orang lain akan berada di urutan dua puluh besar ke bawah. Sedemikian parahnya perilaku manusia sekarang? Jika anda tidak mempercayainya coba lakukan survey terhadap diri anda sendiri dan orang-orang terdekat disekitar anda. Amati topik pembicaraan mereka atau anda jika bersama dengan orang-orang terdekat atau teman-temannya lah, maka saya yakin anda akan sepakat dengan saya.

Nah pertanyaannya, mengapa kita suka sekali mendengar atau menceritakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain? Ini adalah pertanyaan yang dulu saya ajukan ke diri saya sendiri, dalam usaha saya untuk menemukan jawaban.

Setelah saya amati, ternyata ada semacam rasa senang atau rasa kepuasan tertentu yang yang muncul di dalam diri kita, ketika mendengar hal-hal yang menurunkan kredibilitas orang lain di mata kita.

d6ed2c3fc2475f5def020f6fc6205b6558a2259d3b05c21a2db8e1d2850dbed6

Pertanyaan selanjutnya, mengapa rasa senang atau rasa kepuasan tertentu ini muncul? Cukup pelik saya memikirkan jawabannya, tetapi saya akhirnya menyadari bahwa ini ternyata berhubungan dengan ‘ego’ saya. Ego sebagaimana yang saya sampaikan di tulisan sebelumnya saya defenisikan sebagai hal-hal atau segala sesuatu yang mengarah kepada kepentingan, keuntungan atau kesenangan diri kita sendiri semata saja. Jadi ternyata rasa senang atau rasa kepuasan itu akan muncul, jika saya menemukan ada sesuatu yang membuat orang lain terlihat menjadi semakin buruk atau berkurang kebaikannya di mata saya.

Ekspresi dari rasa senang atau kepuasan ini belum bisa saya uraikan secara gamblang, tetapi jika kita amati dengan teliti maka kita akan menemukannya. Yang pasti ekspresinya ini menghasilkan semacam rasa ketagihan dalam diri kita. ‘Sakau’ kali yah bahasa tepatnya menggunakan istilah jaman sekarang. Amati saja orang-orang disekitar anda yang suka sekali membicarakan keburukan orang lain. Sehari saja dia gak ngomongin kejelekan orang maka tampangnya menjadi menyedihkan lah. Dan ini serius, saya menemukan banyak sekali contoh dalam perjalanan hidup saya selama ini.

Nah, pertanyaan saya berikutnya kepada diri saya adalah, mengapa rasa senang atau kepuasan tersebut membuat saya nyaman dan membuat saya selalu ingin mengulang dan mengulangnya lagi? Mencari jawabannya cukup membuat ego saya terbanting-banting.

Karena ternyata saya merasa nyaman ketika melihat kredibilitas orang lain di mata saya menjadi buruk atau lebih buruk adalah, karena saya tidak bisa ‘sebaik’ mereka.

apply_cold_water_to_burned_area

Saya merasa tidak pernah mampu menjadi sebaik atau lebih baik dari orang tersebut, maka saya akan merasa sangat nyaman ketika akhirnya orang tersebut memiliki cacat, keburukan, aib atau kejelekan yang saya anggap dapat menurunkan kredibilitasnya di dalam diri saya.

Pertama kali saya menyadari ini, yang pasti saya terkejut sendiri. Dalam hati saya berkata, “Berarti selama ini, ketika saya sangat suka mendengar dan mebicarakan keburukan orang lain sebenarnya adalah karena saya sakit jiwa. Hanya orang yang sakit jiwanya saja, yang menyukai dan mengharap keburukan atau aib orang lain agar dirinya merasa nyaman!“.

Selanjutnya dari pemahaman tersebut saya mencoba memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tentang keburukan orang lain ini bagi diri saya. Cerita buruk yang saya terima pastinya akan diperlakukan sebagai informasi oleh memori di otak saya. Terlepas benar atau salah, informasi itu tetap disimpan di memori otak saya. Informasi ini suatu saat akan di pakai otak saya sebagai salah satu referensi untuk merespons sesuatu bagi diri saya.

Saya membayangkan bagaimana persepsi saya akan seseorang bisa berubah drastis jika informasi buruk ini terus-menerus dimasukkan ke memori otak saya. Mending jika informasi tersebut benar, jika salah maka saya sudah melakukan fitnah secara tidak langsung dengan berprasangka buruk pada orang lain. Yang teringat oleh saya saat membayangkan itu, adalah cerita para Nabi saat mereka awal-awal menyebarkan ajarannya. Cerita tentang keburukan para Nabi menyebar dan disebarkan oleh ribuan orang, mayoritas orang mempercayai cerita buruk tersebut bahkan semua yang belum pernah bertemu dengan Nabi pun membenarkannya. Apa yang terjadi ketika mereka bertemu langsung dengan Nabi? Anda semua sudah tahu ceritanya lah. Nah, saya tidak mau terjebak menjadi konyol seperti itu. Karena dampak cerita keburukan orang lain akan menyelewengkan persepsi saya nantinya.

Nah banyak lagi penelusuran dan pemikiran yang saya lakukan, hingga akhirnya membuat saya semakin yakin untuk memutuskan menghindari pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain. Dampaknya terlalu hebat merusak otak dan akal saya yang merupakan satu-satunya benda berharga di dalam diri saya. Hina sekali rasanya jika saya harus mengorbankan otak dan akal saya, hanya untuk sekedar kenikmatan atau perasaan nyaman yang saya peroleh dengan membicarakan keburukan orang lain.

Taken from :
http://lemurianfx.com/stop-curhat/

[Old Post] Surga si Penjudi

Semingguan ini saya baca buku terbaru-nya Tony Robbins berjudul “Money Master the Game”. Buku setebal 600-an halaman yg sangat mengesankan. Di bagian akhir chapter buku tersebut, Tony mengutip sebuah kisah dalam serial “Twilight Zone”, yg terus terang membuat kepala saya meledak.

For your information, kisah ini hampir tidak ada hubungannya dengan inti buku-nya Tony.

Berikut kisahnya (saya terjemahkan bebas dari tulisan aslinya Tony yg berbahasa Inggris) :

Tersebutlah seorang laki-laki yg gemar berjudi. Suatu ketika lelaki ini meninggal dunia, dan kemudian “terbangun” menemukan seseorang berpakaian jas putih lengkap seperti pelayan sedang berdiri di sampingnya. Si pelayan memperkenalkan dirinya sebagai malaikat yg akan menjadi pemandu dirinya.

Dengan dikelilingi oleh cahaya yg berbinar-binar, si pelayan ini membawa sang penjudi ke sebuah kasino yg sangat megah dan lux.. Yang mana ini merupakan gambaran ideal bagi si penjudi akan “surga”.

Si pelayan kemudian mengantar si penjudi menuju kamar penthouse super mewah di dalam kasino tersebut, di mana dirinya melihat sendiri jajaran pakaian dan sepatu-sepatu mahal yg si@@ap dia kenakan. Dia memilih mengenakan salah satu jas dan sepatu yg rupanya sangat pas melekat di tubuhnya. Si penjudi kemudian membuka salah satu laci yg ada di ruangan dan menemukan bergepok-gepok uang kertas dollar yg siap dipakai untuk berjudi.

Dengan kesenangan yg begitu membuncah, si penjudi pun keluar dari penthouse menuju arena perjudian. Sepanjang perjalanannya, semua orang yg dia temui tersenyum dan menyapa hangat dirinya. Mereka semua mengenal dirinya. Sungguh membahagiakan.

Ketika dirinya sampai di meja blackjack, semua orang di sana menyapa dan tampak sangat senang akan kehadirannya. Belum lagi ketika dia kedatangan 4 wanita cantik yg langsung duduk dipangkuan dan menggelayuti lengan-lengan si penjudi.

Ketika mulai bermain, dirinya langsung mendapatkan angka 21 ! Ratusan chip judi bernilai puluhan dollar tumpah ruah ke dalam kantung dan tasnya seiring dengan kemenangannya yg tak terputus di meja poker, roulette, wheel of fortune, dan mesin slot.

Si penjudi kala itu makan dan minum semua yg dia inginkan segera. Menikmati kemanjaan yg tiada tara dari para wanita cantik yg mengelilinginya, serta mengakhiri hari itu dengan tertidur pulas bahagia.. Dengan masih dikelilingi oleh wanita-wanita menakjubkan tadi.

Bulan demi bulan pun berlalu, dan si penjudi tidak pernah sehari pun mengalami kekalahan. Semua yg dia inginkan selalu terpenuhi, semua nafsu keduniawian dia selalu terpuaskan tanpa tertunda sedetik pun.

Hingga suatu hari.. “Blackjack !” seru sang Dealer. Ratusan chip kembali mengisi penuh tas si penjudi. “Full house ! Anda menang lagi, pak !” seru sang Dealer di meja poker.

“Iya saya paham ! Saya menang lagi ! Saya menang terus ! Saya tidak pernah kalah ! Ya Tuhan, saya muak dengan semua ini !” seru si penjudi.

Si penjudi pun beralih ke si pelayan yg dia temui pertama kali dan meminta untuk bertemu dengan kepala malaikat di sana. Serta merta sang pimpinan malaikat datang menemuinya dengan senyum lebar bercahaya, si penjudi langsung melepaskan kefrustasiannya :

“Saya bosan sekali dengan semua ini, wahai pimpinan malaikat ! Saya bisa gila kalau ini dilanjutkan. Pasti ada kesalahan. Saya bukan orang baik-baik. Saya tidak pantas berada di surga !”

Bola mata si penjudi sama sekali tidak berbohong ketika dirinya menyaksikan sendiri bagaimana raut wajah si pimpinan malaikat yg tadinya penuh senyuman bercahaya, tetiba berubah mewujud seringai bengis yg mengerikan seiring dirinya berucap :

“Oh, apa yg membuatmu berpikir kalau engkau sedang berada di surga ?”

Mind-Blown
Mind-Blown

Leading Transformation by Andrew Dyer, Grant Freeland, Steve Gunby, and Cynthia DeTar (Boston Consulting Group, 2011)

Berikut adalah terjemahan bebas saya untuk artikel dari BCG tentang memimpin proses transformasi perusahaan. Enjoy 🙂


MEMIMPIN TRANSFORMASI

Wawancara dengan Para Pemimpin Perusahaan di Dunia

 

Banyak CEO yang baru ditunjuk diharuskan mentransformasi perusahaannya selama dirinya menjabat. BCG baru-baru ini mewawancari 11 CEO perusahaan di berbagai belahan dunia yang terbukti sukses mentransformasi perusahaan. CEO-CEO ini memimpin perusahaan-perusahaan di AS, Eropa, Asia, dan Australia yang bergerak di berbagai industri mulai dari manufaktur, keuangan, bisnis online, consumer goods, retail, hingga bidang non-profit.

“Hal pertama yang harus disadari adalah tidak ada formula ajaib untuk transformasi ini. Kalau ada, kita pasti tidak perlu lagi membicarakannya di sini,” kata Archie Norman, nonexecutive chairman-nya ITV.

Meski formula ajaib ini tidak ada, CEO-CEO yang diwawancari ini menggunakan alat kepemimpinan yang sama. Semua CEO yang diwawancara mendiskusikan tiga elemen inti dalam transformasi :

  1. Meraih kemenangan jangka menengah. Hampir semua CEO yang diwawancara mengubah model bisnis perusahaan mereka untuk meningkatkan kinerjanya lebih baik. Para pemimpin ini juga menetapkan (sekaligus berhasil mencapainya) sasaran perusahaan yang sangat ambisius untuk satu hingga tiga tahun ke depan.
  2. Mendanai proses transformasi. Meski sudah memiliki sasaran yang ambisius dengan waktu pencapaian yang ketat, mengubah model bisnis itu perlu waktu. Semua pemimpin yang diwawancara berhasil menciptakan keberhasilan-keberhasilan jangka pendek (quick wins) untuk membangun kredibilitas program mereka, dalam rangka menghadapi tekanan-tekanan jangka-pendek sekaligus berinvestasi untuk berberlangsungan program jangka panjang mereka. Semua pemimpin—meskipun sedang tidak dihadapi oleh krisis—perlu menemukan dan mengembangkan modal politis yang mereka butuhkan untuk transformasi jangka panjang perusahaan.
  3. Membangun tim, organisasi, dan budaya yang tepat. Semua CEO memiliki sudut pandang yang sama terkait hal ini. Semua visi dan agenda perubahan, sebaik apapun akan gagal jika orang-orang di dalamnya tidak memiliki mindset dan komitmen bersama. Selain itu, untuk mendorong dan mempertahankan perubahan, diperlukan talenta dan budaya perusahaan yang tepat.

Meraih Kemenangan Jangka Menengah

Tujuan akhir dari transformasi adalah untuk menciptakan masa depan yang menggugah dan menggairahkan—serta untuk menciptakan nilai perusahaan yang lebih besar. Transformasi yang sukses memerlukan pemikiran ulang fundamental terhadap organisasi dan strateginya, termasuk pergeseran terkait arah perusahaan. Transformasi tidak akan berhasil di lingkungan business-as-usual. Transformasi harus dibangun di atas keberanian dan ketangguhan.

Transformasi tidak diciptakan melalui satu upaya yang efektif, tetapi harus berkali-kali. Banyak dari CEO yang diwawancara mengungkapkan bahwa mereka sudah mengambil berbagai langkah yang berani dan tegas untuk menempatkan perusahaan mereka di atas pijakan yang lebih kuat. Langkah-langkah tersebut seperti ekspansi geografis, pengembangan produk baru, hingga inisiatif-inisiatif untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Tidak ada seorang CEO-pun yang berjudi dengan program transformasinya. Semua pemimpin mengambil langkah ini melalui manajemen resiko yang sangat baik.

Contohnya di Hilton Worldwide. CEO Chirstopher J. Nasseta mencanangkan ekspansi Hilton secara global dengan memfokuskan dirinya ke pasar-pasar yang masih berkembang (developing market). Hal yang serupa juga dilakukan oleh CEO Kraft Food, Irene Rosenfeld pada tahun 2006 yang menyadari perlunya berbisnis di pasar yang masih berkembang. Irene menghabiskan 27 miliar dollar AS untuk mengakuisisi LU dan Cadbury, dan berhasil meningkatkan keberadaan merk Kraft di India dan Cina.

Louis Vachon, CEO National Bank Financial Group menggeser fokus perusahaannya dari pengendalian biaya menjadi pertumbuhan perusahaan—di masa gejolak krisis keuangan dunia. “Merupakan suatu pekerjaan yang besar ketika ingin memindahkan perusahaan yang berfokus ke optimasi, efisiensi, dan pengelolaan biaya menjadi perusahaan yang berfokus pada pertumbuhan, produk baru, pasar baru, dan pelanggan baru,” kata Louis. “Jika Anda memakai strategi optimasi, maka Anda akan terfokus meminimalisir biaya di cabang-cabang Anda. Kalau Anda pindah ke strategi untuk pertumbuhan, Anda akan pastikan supaya Anda memiliki lebih banyak orang di cabang-cabang Anda. Kini, kami sudah merekrut 300 orang di seluruh cabang yang ada.”

David Brennan, CEO AstraZeneca sudah mempersiapkan perusahaannya menghadapi penurunan pendapatan yang besar disebabkan oleh habisnya masa paten obat-obat yang selama ini menyumbang porsi terbesar bagi pendapatan AstraZeneca. David sudah bersiap meskipun kejadian ini baru akan terjadi di beberapa tahun mendatang. “Anda tidak bisa baru mencanangkan untuk berubah di hari pas patennya sudah habis,” katanya.

Tetapi transformasi bukan hanya mengenai langkah baru yang berani atau arah baru. Banyak juga transformasi yang berfokus untuk membentengi strategi tradisional perusahaan yang secara fundamental sangat penting. Seperti yang dilkukan oleh Rosenfeld di Kraft. Rosenfeld mengatakan bahwa selama ini perusahaannya sangat berfokus pada pengendalian biaya sedemikian hingga mereka tidak bisa melihat peluang yang ada. Dirinya kala itu berhasil memperbaiki arah Kraft dengan memimipin akuisisi LU dan Cadbury sekaligus memperkuat merk Kraft yang sudah ada seperti Oreo, Jell-O, Maxwell House, dan Philadelphia cream cheese.

“Sangat jelas bahwa masalah kami bukan ada di kategori produk. Tetapi konsentrasi kami di kategori-kategori tersebut,” kata Rosenfeld. “Pelanggan kami mengkonsumsi keju, daging, dan mereka juga meminum kopi. Masalahnya mereka tidak mengkonsumi produk kami di kategori keju, daging, dan kopi. Jadi ide besarnya adalah apa yang harus kami lakukan untuk bertumbuh di kategori tadi.”

Semua transformasi memerlukan visi yang mampu menghimpun orang-orang. Dengan banyaknya program dan inisiatif perubahan, para karyawan membutuhkan suatu image atau kalimat yang mewakili keseluruhan aktivitas transformasi dengan jelas dan koheren. “Saya mulai dengan sebuah slogan, “One Client, One Bank,” kata Vachon. “Meskipun banyak sekali yang tengah terjadi kala itu, orang-orang kami mampu untuk tetap berfokus pada transformasi. Mereka menyadarkan harapan mereka dengan sungguh-sungguh pada masa depan perusahaan, sehingga semangat mereka tidak lantas turun ataupun terpengaruh dengan semua pemberitaan negatif tentang industri keuangan waktu itu.”

Di Kraft, Rosenfeld meluncurkan program transformasinya dengan slogan “Let’s Get Growing”. Dirinya menjelaskan, “Slogan saya ini merupakan seruan untuk segera bertindak sekaligus sebagai pengingat bahwa perusahaan ini sudah babak belur kehilangan kepercayaan dirinya.”

Ketika Brian Gallagher mengambil alih kursi CEO United Way of America di tahun 2002, fokus utama LSM ini ketika itu terbelah menjadi dua yakni penggalangan dana (fundraising) dan program-program yang berimbas kepada pengembangan komunitas (community impact). Salah satu sasaran Brian ketika memimpin adalah menggembleng seluruh organisasinya dengan slogan “Mission and Purpose”.

“Kala itu kami sangatlah terpecah-belah menjadi dua kubu, namun saya punya firasat bahwa sesungguhnya semua orang di sini ingin kembali ke komunitas dan perubahan sosial,” kata Gallagher. “Jadi, hal pertama yang kami lakukan adalah sama-sama bersepakat menuju misi utama itu. Dan rupanya kami bisa melakukannya dengan cepat.”

Komunikasi merupakan alat untuk memastikan agar karyawan berfokus pada hal seharusnya. Di Hilton Worldwide, Nasseta ingin 135.000 karyawannya berkonsentrasi pada program peningkatan budaya, kinerja, merk, dan ekspansi global. “Kapan saja saya bicara tentang empat hal ini, saya ibarat sedang menyanyikannya dari puncak gunung—saya membicarakannya kapan saja di mana saja, kepada siapa pun. Hal ini saya lakukan supaya orang-orang menyadari betul bahwa kita ingin menyalurkan energi dan perhatian kita kepada empat hal ini dibandingkan hal yang lain.. Hal lain yang mungkin sama baiknya tetapi tidak akan menolong perusahaan ini dalam jangka panjang,” ungkap Nassetta.

Hal senada juga diungkapkan oleh Brennan yang menyebutkan bahwa salah satu peranan utama seorang CEO adalah untuk menyediakan saluran komunikasi dan pembicaraan yang terus menerus terkait topik-topik kunci yang menjadi spirit utama dari transformasi perusahaan. “Ketika suatu saat kita pembicaraan kita tidak nyambung dengan topik diskusi atau tidak ada di daftar prioritas transformasi, kita sebagai CEO harus mengangkat tangan dan berkata, ‘Itu mungkin penting, tetapi kita sudah sepakat bahwa kita hanya akan berfokus pada tiga atau empat hal ini. Ayo kita fokuskan waktu dan energi kita untuk hal-hal tadi.’ Jadi, produktivitas research and development (riset dan pengembangan), kesempurnaan komersial, dan operasi yang menunjung tinggi etika bisnis, itu adalah hal yang tidak bisa Anda delegasikan.”

Mendanai Proses Transformasi

Proses transformasi biasanya memakan waktu bertahun-tahun, tetapi para pemimpin transformasi tidak otomatis memiliki waktu yang lenggang selama bertahun-tahun ini. Mereka dituntut untuk segera mendemonstrasikan hasilnya sesegera mungkin. Tuntutan ini datang biasanya dari pemilik perusahaan, pemegang saham, bursa saham, termasuk karyawan mereka yang kesemuanya menginginkan hasil segera yang tangible. Banyak juga diantara para pemimpin transformasi ini yang harus mengatur sumber daya yang mereka miliki untuk mendanai pergeseran strategis yang dibutuhkan dalam rangka kesuksesan transformasi perusahaan mereka.

Dalam wawancara, banyak pemimpin yang mengatakan bahwa mereka harus bekerja dengan dua kecepatan yang sama. Mereka harus terus menangani krisis-krisis jangka pendek sebagai hasil dari program mereka, di mana di saat yang bersamaan mereka juga harus membangun fondasi yang kuat untuk masa depan perusahaan mereka. Salah satu tantangan terbesar dari transformasi adalah mengelola kedua hal ini secara bersamaan karena keduanya memiliki kontribusi yang sama terhadap kesuksesan transformasi.

“Anda harus membuat perubahan jangka-pendek yang nyata, agar perbaikkan itu terasa segera,” kata Ian McLeod, CEO Coles, jaringan supermarket Australia yang kini tengah berada di masa transformasi lima-tahunan. Sukses jangka pendek ini membangun kepercayaan-diri karyawan sambil menunjukkan bahwa mereka bisa berbuat lebih baik lagi di masa mendatang.

Ketika terjadi krisis finansial global, Chanda Kochhar, CEO dari ICICI Bank mengubah orientasi bank terbesar kedua di India ini yang semula berfokus pada pertumbuhan dan ekspansi, menjadi pengurangan resiko dan biaya. Dirinya banyak menghabiskan banyak waktu berbicara langsung dengan karyawannya terkait kebutuhan jangka-pendek bank mereka serta sasaran-sasaran jangka menengahnya.

“Berbicara tentang strategi kami secara langsung dan apa adanya benar-benar membantu,” kata Kochhar. “Apa yang kami bicarakan adalah sambil menjalani periode ini di satu hingga dua tahun mendatang, kita melakukan semua ini untuk menjadi lebih efisien. Tujuannya, dua tahun kemudian kita akan mulai bertumbuh dengan nilai ROE (return on equity) dan ROA (return on assets) yang akan lebih tinggi. Saya pikir orang akan mulai melihat hal ini sebagai sasaran jangka menengah ketimbang menjadi gambaran satu tahunan. Hal ini terbukti membuat semangat karyawan lebih stabil.”

Delayering atau dengan kata lain, menghilangkan lapisan hierarki yang tidak perlu di struktur organisasi menjadi salah satu tools paling favorit untuk jangka-pendek bagi para pemimpin ini. Delayering berfungsi untuk menghemat dan menciptakan lebih banyak kejelasan (clarity). Melalui upaya delayering dan program restrukturisasi lainnya, Martin Daum, CEO Daimler Trucks North America mampu menghasilkan tambahan cashflow senilai 1 miliar dollar AS setelah perusahaannya mengalami penurunan 50% di market volume ketika masa resesi. “Organisasi yang besar itu tumbuhnya secara organik,” tutur Daum. “Secara rutin mempertanyakan posisi kita merupakan latihan yang bagus.”

Di tahun 2007, ketika Nassetta mengambil alih kepemimpinan di Hilton Worldwide (Hilton Worldwide bertumbuh besar dengan banyak melakukan akuisisi), dirinya berhasil menghilangkan lapisan hierarki di struktur manajemen Hilton beserta inefisiensi-inefisiensi yang telah ada selama bertahun-tahun. “Sebelumnya, kami memiliki hierarki yang berlapis-lapis di berbagai fungsi yang ada. Ini berarti pengambilan keputusan yang lebih lama dan tentu ini sangat menghambat,” kata Nassetta menjelaskan. “Struktur biaya kami membengkak dan ini harus ditangani. Tentu akan banyak manfaat kalau kami bisa lebih efektif.” Nasseta juga menambahkan, “Kami memanfaatkan efisiensi dan penghematan yang ada untuk mengalokasikannya untuk pengembangan sumber daya yang kita miliki di seluruh dunia, termasuk untuk mengembangkan sumber daya teknis layanan, dan untuk mengembangkan tenaga penjual kami agar kami mampu memiliki daya saing yang lebih baik.”

Pendekatan lain untuk melakukan pendanaan terhadap perjalanan transformasi perusahaan adalah dengan mengevaluasi ulang sumber pendanaan, evaluasi ulang strategi harga, dan alokasi penggunaan aset perusahaan. Apapun pendakatan yang diambil, para pemimpin harus memiliki cara untuk terus memonitor progress transformasi terutama jika transformasi-nya melibatkan restrukturisasi yang kompleks dengan banyak sekali program. “Anda memerlukan semacam alat IT untuk menolong Anda memonitor ukuran dan pencapaian sasaran yang berbeda-beda untuk kemudian mengambil kesimpulan dan langkah-langkah lanjutan secara komprehensif,” kata Daum.

Langkah awal transformasi sudah terbukti merupakan langkah yang sulit bagi beberapa perusahaan—seperti misalnya, pemecatan masal, penutupan kantor atau pabrik, dan langkah divestasi. Komunkasi efektif menolong para karyawan mengatasi rasa sakit jangka pendek yang disebabkan oleh pengalaman ini dan bersama-sama menuju sasaran utama transformasi.

“Saya ingin orang-orang ikut dengan sukarela akan upaya transformasi ini. Saya ingin orang-orang menyadari betapa pentingnya langkah ini untuk kesuksesan perusahaan. Saya ingin mereka mengatakan, “Ya ini benar sekali. Kami ingin perusahaan sukses. Kami ingin mendukung upaya ini sepenuhnya meskipun ini akan sulit,” kata Norman.

Membangun Tim, Organisasi, dan Budaya yang Tepat

Titik kulminasi transformasi adalah eksplorasi dari orang-orang didalamnya, termasuk eksplorasi organisasi dan budayanya. Transformasi memerlukan fokus, komitmen, dan keterlibatan seluruh elemen perusahaan. Rencana sebaik apapun pasti gagal ketika tidak dibarengi dengan keterlibatan orang-orang di dalamnya.

Norman, yang sudah terlibat di berbagai upaya transformasi sejak saat dirinya di Asda mengungkapkan, “Dibalik kegagalan finansial ada kegagalan organisasi.” Hal ini menunjukkan betapa krusialnya memprioritaskan karyawan, organisasi, dan budaya perusahaan dalam setiap upaya transformasi.

Di antara 11 pemimpin yang diwawancara, Jasmine Whitbread adalah salah satu yang mengalami langsung tantangan terbesar dari perubahan organisasinya. Pada tahun 2010, dirinya ditunjuk menjadi CEO internasional pertama di Save the Children yang membawahi 29 organisasi—yang mana para pemimpin dari ke-29 organisasi itu tidak melapor langsung ke Jasmine. Jasmine berupaya untuk menciptakan organisasi yang memiliki kekuatan dalam hal skala (29 organisasi di seluruh dunia) tetapi juga memprioritaskan pentingnya kolaborasi di antara ke-29 organisasi ini.

“Bahkan kalau orang-orang itu melapor kepada Anda, Anda tetap harus meraih dukungan orang-orang itu,” kata Jasmine. “Pastikan Anda memiliki tim inti transformasi. Tidak perlu terlalu banyak. Tim inti ini terdiri dari orang-orang kunci yang akan melakukan perjalanan transformasi dengan Anda. Pastikan Anda mengembangkan orang-orang ini.”

Banyak pemimpin berpendapat bahwa mereka harus pertama mengubah pucuk atas organisasi dalam rangka menciptakan kesatuan tujuan transformasi. Hal ini setidaknya disampaikan di AstraZeneca, Coles, Hilton Worldwide, Kraft Foods, National Bank Financial Group, dan United Way. “Sangat jelas siapa-siapa saja yang paham dan tidak,” kata Rosenfeld. “Kuncinya apakah para pemimpin itu sudah satu perahu dengan kita. Pengalaman saya mengatakan, jika mereka tidak cepat-cepat satu perahu dengan kita, biasanya mereka tidak akan pernah satu perahu pada akhirnya.”

Umumnya, setiap upaya perubahan akan diikuti oleh akuntabilitas yang kian besar, terutama di jajaran pemimpin senior perusahaan. “Ketika saya mengambil pekerjaan ini, salah satu yang terus saya lakukan adalah mendorong akuntabilitas dan tanggung-jawab secara merata ke jajaran di bawah saya,” kata Brennan. “Saya memiliki orang-orang yang bergaji sangat besar yang kerap mendatangi saya agar saya mengambil keputusan untuk mereka. Ketika keputusan bisa diambil oleh diri mereka sendiri di level mereka, saya akan katakan demikian.”

Para pimpinan perusahaan ini setuju bahwa merubah mindset pemimpinan senior adalah salah satu kunci penting apabila transformasi perusahaan ingin sukses. Mereka juga percaya kalau mindset organisasi mereka juga harus dirubah. Karena perubahan tidak bisa berhenti di pucuk saja. Perubahan harus meresap hingga ke level paling bawah di seluruh organisasi. Dalam wawancara yang sudah dilakukan, para pemimpin ini sering berpergian hingga ke jajaran frontline perusahaan, mengerahkan segala upaya mereka untuk melibatkan hati dan pikiran karyawan mereka sembari terus memonitor perubahan budaya dan semangat para karyawan.

Daum berhasil menciptakan mindset yang tepat untuk kesuksesan transformasi perusahaan dengan cara melibatkan seluruh karyawannya. “Semua orang akan selalu ter-inform akan progress transformasi yang berlangsung,” kata Daum. “Semua orang dipastikan mengetahui dan memahami bagiannya dalam proses transformasi yang berlangsung. Semua orang dipastikan terlibat dalam beberapa program inisiatif transformasi yang sudah kami rancang. Karyawan kami mengetahui bahwa setiap dari mereka adalah bagian penting untuk kesuksesan transformasi secara keseluruhan. Mereka sangat paham jika salah satu dari mereka gagal, perusahaan bisa saja tidak berhasil bertransformasi dengan sukses.”

Di Coles, McLeod tidak pernah lupa memberi penghargaan bagi karyawannya atas setiap pencapaian yang mereka telah lakukan. “Dalam suasana transformasi yang cenderung berintensitas tinggi, kita terlalu terfokus pada perbaikan-perbaikan sehingga kita suka lupa memberi penghargaan pada mereka-mereka yang sudah bekerja keras menghasilkan perbaikan-perbaikan itu. Penghargaan dan pengakuan akan keberhasilan karyawan adalah penting,” katanya.

Salah satu perusahaan internet terbesar di Jepang, Rakuten, telah berada di masa transformasi sejak pendiriannya pada tahun 1997. Rakuten sudah melebarkan usahanya dari e-commerce ke bidang-bidang lain seperti keuangan, travel, content, sekaligus menjadi pemilik bagi beberapa klub olahraga di dunia—mulai dari di Jepang, Cina, hingga ke AS dan Eropa.

CEO Rakuten Hiroshi Mikitani mengatakan bahwa pengembangan filosofi bisnis perusahaan-lah yang menolong Rakuten terus mengalami sinergi dan kesejajaran (alignment) ketika mereka ekspansi ke bisnis dan pasar yang baru. “Kami mengambil komponen inti dari praktek manajemen kami—yaitu, budaya perusahaan, konsep brand Rakuten, dan praktek bisnis Rakuten—untuk kami gabungkan menjadi filosofi bisnis perusahaan,” kata Mikitani.

“Kami mengatakan kepada para manajer kami untuk berpegang teguh pada kerangka dasar dan fondasi inti dari praktek bisnis perusahaan kami,” Selama para manajer Rakuten mematuhi dasar-dasar atau inti praktek di Rakuten, Mikitani memberi mereka kebebasan penuh untuk menjalankan fungsinya masing-masing.

Para CEO harus secara aktif memonitor keterikatan karyawan (employee engagement) sepanjang waktu—terutama di masa transformasi. “Di Asda, saya bisa mengetahui bagaimana keadaan para sales kami melalui survey sikap dan semangat kerja karyawan. Jika saya melihat ada sikap yang tidak baik, turnover yang tinggi, dan absen kerja yang tinggi, maka saya bisa tahu kalau saya sedang ada masalah dengan penjualan,” kata Norman. “Motivasi karyawan adalah inputnya, penjualan dan kinerja keuangan adalah output-nya.”

Kesimpulannya, transformasi yang sukses berasal dari fokus yang tak terputus terhadap tiga elemen inti transformasi di atas. Seorang CEO yang berfokus untuk menciptakan kemenangan-kemenangan jangka menengah, menyediakan dana atau modal untuk bertransformasi, serta berfokus untuk membangun tim, organisasi, dan budaya yang tepat akan sukses dalam menjalankan agenda transformasinya sekaligus berhasil menciptakan warisan kepemimpinan yang bertahan lama.