Leading Transformation by Andrew Dyer, Grant Freeland, Steve Gunby, and Cynthia DeTar (Boston Consulting Group, 2011)

Berikut adalah terjemahan bebas saya untuk artikel dari BCG tentang memimpin proses transformasi perusahaan. Enjoy 🙂


MEMIMPIN TRANSFORMASI

Wawancara dengan Para Pemimpin Perusahaan di Dunia

 

Banyak CEO yang baru ditunjuk diharuskan mentransformasi perusahaannya selama dirinya menjabat. BCG baru-baru ini mewawancari 11 CEO perusahaan di berbagai belahan dunia yang terbukti sukses mentransformasi perusahaan. CEO-CEO ini memimpin perusahaan-perusahaan di AS, Eropa, Asia, dan Australia yang bergerak di berbagai industri mulai dari manufaktur, keuangan, bisnis online, consumer goods, retail, hingga bidang non-profit.

“Hal pertama yang harus disadari adalah tidak ada formula ajaib untuk transformasi ini. Kalau ada, kita pasti tidak perlu lagi membicarakannya di sini,” kata Archie Norman, nonexecutive chairman-nya ITV.

Meski formula ajaib ini tidak ada, CEO-CEO yang diwawancari ini menggunakan alat kepemimpinan yang sama. Semua CEO yang diwawancara mendiskusikan tiga elemen inti dalam transformasi :

  1. Meraih kemenangan jangka menengah. Hampir semua CEO yang diwawancara mengubah model bisnis perusahaan mereka untuk meningkatkan kinerjanya lebih baik. Para pemimpin ini juga menetapkan (sekaligus berhasil mencapainya) sasaran perusahaan yang sangat ambisius untuk satu hingga tiga tahun ke depan.
  2. Mendanai proses transformasi. Meski sudah memiliki sasaran yang ambisius dengan waktu pencapaian yang ketat, mengubah model bisnis itu perlu waktu. Semua pemimpin yang diwawancara berhasil menciptakan keberhasilan-keberhasilan jangka pendek (quick wins) untuk membangun kredibilitas program mereka, dalam rangka menghadapi tekanan-tekanan jangka-pendek sekaligus berinvestasi untuk berberlangsungan program jangka panjang mereka. Semua pemimpin—meskipun sedang tidak dihadapi oleh krisis—perlu menemukan dan mengembangkan modal politis yang mereka butuhkan untuk transformasi jangka panjang perusahaan.
  3. Membangun tim, organisasi, dan budaya yang tepat. Semua CEO memiliki sudut pandang yang sama terkait hal ini. Semua visi dan agenda perubahan, sebaik apapun akan gagal jika orang-orang di dalamnya tidak memiliki mindset dan komitmen bersama. Selain itu, untuk mendorong dan mempertahankan perubahan, diperlukan talenta dan budaya perusahaan yang tepat.

Meraih Kemenangan Jangka Menengah

Tujuan akhir dari transformasi adalah untuk menciptakan masa depan yang menggugah dan menggairahkan—serta untuk menciptakan nilai perusahaan yang lebih besar. Transformasi yang sukses memerlukan pemikiran ulang fundamental terhadap organisasi dan strateginya, termasuk pergeseran terkait arah perusahaan. Transformasi tidak akan berhasil di lingkungan business-as-usual. Transformasi harus dibangun di atas keberanian dan ketangguhan.

Transformasi tidak diciptakan melalui satu upaya yang efektif, tetapi harus berkali-kali. Banyak dari CEO yang diwawancara mengungkapkan bahwa mereka sudah mengambil berbagai langkah yang berani dan tegas untuk menempatkan perusahaan mereka di atas pijakan yang lebih kuat. Langkah-langkah tersebut seperti ekspansi geografis, pengembangan produk baru, hingga inisiatif-inisiatif untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Tidak ada seorang CEO-pun yang berjudi dengan program transformasinya. Semua pemimpin mengambil langkah ini melalui manajemen resiko yang sangat baik.

Contohnya di Hilton Worldwide. CEO Chirstopher J. Nasseta mencanangkan ekspansi Hilton secara global dengan memfokuskan dirinya ke pasar-pasar yang masih berkembang (developing market). Hal yang serupa juga dilakukan oleh CEO Kraft Food, Irene Rosenfeld pada tahun 2006 yang menyadari perlunya berbisnis di pasar yang masih berkembang. Irene menghabiskan 27 miliar dollar AS untuk mengakuisisi LU dan Cadbury, dan berhasil meningkatkan keberadaan merk Kraft di India dan Cina.

Louis Vachon, CEO National Bank Financial Group menggeser fokus perusahaannya dari pengendalian biaya menjadi pertumbuhan perusahaan—di masa gejolak krisis keuangan dunia. “Merupakan suatu pekerjaan yang besar ketika ingin memindahkan perusahaan yang berfokus ke optimasi, efisiensi, dan pengelolaan biaya menjadi perusahaan yang berfokus pada pertumbuhan, produk baru, pasar baru, dan pelanggan baru,” kata Louis. “Jika Anda memakai strategi optimasi, maka Anda akan terfokus meminimalisir biaya di cabang-cabang Anda. Kalau Anda pindah ke strategi untuk pertumbuhan, Anda akan pastikan supaya Anda memiliki lebih banyak orang di cabang-cabang Anda. Kini, kami sudah merekrut 300 orang di seluruh cabang yang ada.”

David Brennan, CEO AstraZeneca sudah mempersiapkan perusahaannya menghadapi penurunan pendapatan yang besar disebabkan oleh habisnya masa paten obat-obat yang selama ini menyumbang porsi terbesar bagi pendapatan AstraZeneca. David sudah bersiap meskipun kejadian ini baru akan terjadi di beberapa tahun mendatang. “Anda tidak bisa baru mencanangkan untuk berubah di hari pas patennya sudah habis,” katanya.

Tetapi transformasi bukan hanya mengenai langkah baru yang berani atau arah baru. Banyak juga transformasi yang berfokus untuk membentengi strategi tradisional perusahaan yang secara fundamental sangat penting. Seperti yang dilkukan oleh Rosenfeld di Kraft. Rosenfeld mengatakan bahwa selama ini perusahaannya sangat berfokus pada pengendalian biaya sedemikian hingga mereka tidak bisa melihat peluang yang ada. Dirinya kala itu berhasil memperbaiki arah Kraft dengan memimipin akuisisi LU dan Cadbury sekaligus memperkuat merk Kraft yang sudah ada seperti Oreo, Jell-O, Maxwell House, dan Philadelphia cream cheese.

“Sangat jelas bahwa masalah kami bukan ada di kategori produk. Tetapi konsentrasi kami di kategori-kategori tersebut,” kata Rosenfeld. “Pelanggan kami mengkonsumsi keju, daging, dan mereka juga meminum kopi. Masalahnya mereka tidak mengkonsumi produk kami di kategori keju, daging, dan kopi. Jadi ide besarnya adalah apa yang harus kami lakukan untuk bertumbuh di kategori tadi.”

Semua transformasi memerlukan visi yang mampu menghimpun orang-orang. Dengan banyaknya program dan inisiatif perubahan, para karyawan membutuhkan suatu image atau kalimat yang mewakili keseluruhan aktivitas transformasi dengan jelas dan koheren. “Saya mulai dengan sebuah slogan, “One Client, One Bank,” kata Vachon. “Meskipun banyak sekali yang tengah terjadi kala itu, orang-orang kami mampu untuk tetap berfokus pada transformasi. Mereka menyadarkan harapan mereka dengan sungguh-sungguh pada masa depan perusahaan, sehingga semangat mereka tidak lantas turun ataupun terpengaruh dengan semua pemberitaan negatif tentang industri keuangan waktu itu.”

Di Kraft, Rosenfeld meluncurkan program transformasinya dengan slogan “Let’s Get Growing”. Dirinya menjelaskan, “Slogan saya ini merupakan seruan untuk segera bertindak sekaligus sebagai pengingat bahwa perusahaan ini sudah babak belur kehilangan kepercayaan dirinya.”

Ketika Brian Gallagher mengambil alih kursi CEO United Way of America di tahun 2002, fokus utama LSM ini ketika itu terbelah menjadi dua yakni penggalangan dana (fundraising) dan program-program yang berimbas kepada pengembangan komunitas (community impact). Salah satu sasaran Brian ketika memimpin adalah menggembleng seluruh organisasinya dengan slogan “Mission and Purpose”.

“Kala itu kami sangatlah terpecah-belah menjadi dua kubu, namun saya punya firasat bahwa sesungguhnya semua orang di sini ingin kembali ke komunitas dan perubahan sosial,” kata Gallagher. “Jadi, hal pertama yang kami lakukan adalah sama-sama bersepakat menuju misi utama itu. Dan rupanya kami bisa melakukannya dengan cepat.”

Komunikasi merupakan alat untuk memastikan agar karyawan berfokus pada hal seharusnya. Di Hilton Worldwide, Nasseta ingin 135.000 karyawannya berkonsentrasi pada program peningkatan budaya, kinerja, merk, dan ekspansi global. “Kapan saja saya bicara tentang empat hal ini, saya ibarat sedang menyanyikannya dari puncak gunung—saya membicarakannya kapan saja di mana saja, kepada siapa pun. Hal ini saya lakukan supaya orang-orang menyadari betul bahwa kita ingin menyalurkan energi dan perhatian kita kepada empat hal ini dibandingkan hal yang lain.. Hal lain yang mungkin sama baiknya tetapi tidak akan menolong perusahaan ini dalam jangka panjang,” ungkap Nassetta.

Hal senada juga diungkapkan oleh Brennan yang menyebutkan bahwa salah satu peranan utama seorang CEO adalah untuk menyediakan saluran komunikasi dan pembicaraan yang terus menerus terkait topik-topik kunci yang menjadi spirit utama dari transformasi perusahaan. “Ketika suatu saat kita pembicaraan kita tidak nyambung dengan topik diskusi atau tidak ada di daftar prioritas transformasi, kita sebagai CEO harus mengangkat tangan dan berkata, ‘Itu mungkin penting, tetapi kita sudah sepakat bahwa kita hanya akan berfokus pada tiga atau empat hal ini. Ayo kita fokuskan waktu dan energi kita untuk hal-hal tadi.’ Jadi, produktivitas research and development (riset dan pengembangan), kesempurnaan komersial, dan operasi yang menunjung tinggi etika bisnis, itu adalah hal yang tidak bisa Anda delegasikan.”

Mendanai Proses Transformasi

Proses transformasi biasanya memakan waktu bertahun-tahun, tetapi para pemimpin transformasi tidak otomatis memiliki waktu yang lenggang selama bertahun-tahun ini. Mereka dituntut untuk segera mendemonstrasikan hasilnya sesegera mungkin. Tuntutan ini datang biasanya dari pemilik perusahaan, pemegang saham, bursa saham, termasuk karyawan mereka yang kesemuanya menginginkan hasil segera yang tangible. Banyak juga diantara para pemimpin transformasi ini yang harus mengatur sumber daya yang mereka miliki untuk mendanai pergeseran strategis yang dibutuhkan dalam rangka kesuksesan transformasi perusahaan mereka.

Dalam wawancara, banyak pemimpin yang mengatakan bahwa mereka harus bekerja dengan dua kecepatan yang sama. Mereka harus terus menangani krisis-krisis jangka pendek sebagai hasil dari program mereka, di mana di saat yang bersamaan mereka juga harus membangun fondasi yang kuat untuk masa depan perusahaan mereka. Salah satu tantangan terbesar dari transformasi adalah mengelola kedua hal ini secara bersamaan karena keduanya memiliki kontribusi yang sama terhadap kesuksesan transformasi.

“Anda harus membuat perubahan jangka-pendek yang nyata, agar perbaikkan itu terasa segera,” kata Ian McLeod, CEO Coles, jaringan supermarket Australia yang kini tengah berada di masa transformasi lima-tahunan. Sukses jangka pendek ini membangun kepercayaan-diri karyawan sambil menunjukkan bahwa mereka bisa berbuat lebih baik lagi di masa mendatang.

Ketika terjadi krisis finansial global, Chanda Kochhar, CEO dari ICICI Bank mengubah orientasi bank terbesar kedua di India ini yang semula berfokus pada pertumbuhan dan ekspansi, menjadi pengurangan resiko dan biaya. Dirinya banyak menghabiskan banyak waktu berbicara langsung dengan karyawannya terkait kebutuhan jangka-pendek bank mereka serta sasaran-sasaran jangka menengahnya.

“Berbicara tentang strategi kami secara langsung dan apa adanya benar-benar membantu,” kata Kochhar. “Apa yang kami bicarakan adalah sambil menjalani periode ini di satu hingga dua tahun mendatang, kita melakukan semua ini untuk menjadi lebih efisien. Tujuannya, dua tahun kemudian kita akan mulai bertumbuh dengan nilai ROE (return on equity) dan ROA (return on assets) yang akan lebih tinggi. Saya pikir orang akan mulai melihat hal ini sebagai sasaran jangka menengah ketimbang menjadi gambaran satu tahunan. Hal ini terbukti membuat semangat karyawan lebih stabil.”

Delayering atau dengan kata lain, menghilangkan lapisan hierarki yang tidak perlu di struktur organisasi menjadi salah satu tools paling favorit untuk jangka-pendek bagi para pemimpin ini. Delayering berfungsi untuk menghemat dan menciptakan lebih banyak kejelasan (clarity). Melalui upaya delayering dan program restrukturisasi lainnya, Martin Daum, CEO Daimler Trucks North America mampu menghasilkan tambahan cashflow senilai 1 miliar dollar AS setelah perusahaannya mengalami penurunan 50% di market volume ketika masa resesi. “Organisasi yang besar itu tumbuhnya secara organik,” tutur Daum. “Secara rutin mempertanyakan posisi kita merupakan latihan yang bagus.”

Di tahun 2007, ketika Nassetta mengambil alih kepemimpinan di Hilton Worldwide (Hilton Worldwide bertumbuh besar dengan banyak melakukan akuisisi), dirinya berhasil menghilangkan lapisan hierarki di struktur manajemen Hilton beserta inefisiensi-inefisiensi yang telah ada selama bertahun-tahun. “Sebelumnya, kami memiliki hierarki yang berlapis-lapis di berbagai fungsi yang ada. Ini berarti pengambilan keputusan yang lebih lama dan tentu ini sangat menghambat,” kata Nassetta menjelaskan. “Struktur biaya kami membengkak dan ini harus ditangani. Tentu akan banyak manfaat kalau kami bisa lebih efektif.” Nasseta juga menambahkan, “Kami memanfaatkan efisiensi dan penghematan yang ada untuk mengalokasikannya untuk pengembangan sumber daya yang kita miliki di seluruh dunia, termasuk untuk mengembangkan sumber daya teknis layanan, dan untuk mengembangkan tenaga penjual kami agar kami mampu memiliki daya saing yang lebih baik.”

Pendekatan lain untuk melakukan pendanaan terhadap perjalanan transformasi perusahaan adalah dengan mengevaluasi ulang sumber pendanaan, evaluasi ulang strategi harga, dan alokasi penggunaan aset perusahaan. Apapun pendakatan yang diambil, para pemimpin harus memiliki cara untuk terus memonitor progress transformasi terutama jika transformasi-nya melibatkan restrukturisasi yang kompleks dengan banyak sekali program. “Anda memerlukan semacam alat IT untuk menolong Anda memonitor ukuran dan pencapaian sasaran yang berbeda-beda untuk kemudian mengambil kesimpulan dan langkah-langkah lanjutan secara komprehensif,” kata Daum.

Langkah awal transformasi sudah terbukti merupakan langkah yang sulit bagi beberapa perusahaan—seperti misalnya, pemecatan masal, penutupan kantor atau pabrik, dan langkah divestasi. Komunkasi efektif menolong para karyawan mengatasi rasa sakit jangka pendek yang disebabkan oleh pengalaman ini dan bersama-sama menuju sasaran utama transformasi.

“Saya ingin orang-orang ikut dengan sukarela akan upaya transformasi ini. Saya ingin orang-orang menyadari betapa pentingnya langkah ini untuk kesuksesan perusahaan. Saya ingin mereka mengatakan, “Ya ini benar sekali. Kami ingin perusahaan sukses. Kami ingin mendukung upaya ini sepenuhnya meskipun ini akan sulit,” kata Norman.

Membangun Tim, Organisasi, dan Budaya yang Tepat

Titik kulminasi transformasi adalah eksplorasi dari orang-orang didalamnya, termasuk eksplorasi organisasi dan budayanya. Transformasi memerlukan fokus, komitmen, dan keterlibatan seluruh elemen perusahaan. Rencana sebaik apapun pasti gagal ketika tidak dibarengi dengan keterlibatan orang-orang di dalamnya.

Norman, yang sudah terlibat di berbagai upaya transformasi sejak saat dirinya di Asda mengungkapkan, “Dibalik kegagalan finansial ada kegagalan organisasi.” Hal ini menunjukkan betapa krusialnya memprioritaskan karyawan, organisasi, dan budaya perusahaan dalam setiap upaya transformasi.

Di antara 11 pemimpin yang diwawancara, Jasmine Whitbread adalah salah satu yang mengalami langsung tantangan terbesar dari perubahan organisasinya. Pada tahun 2010, dirinya ditunjuk menjadi CEO internasional pertama di Save the Children yang membawahi 29 organisasi—yang mana para pemimpin dari ke-29 organisasi itu tidak melapor langsung ke Jasmine. Jasmine berupaya untuk menciptakan organisasi yang memiliki kekuatan dalam hal skala (29 organisasi di seluruh dunia) tetapi juga memprioritaskan pentingnya kolaborasi di antara ke-29 organisasi ini.

“Bahkan kalau orang-orang itu melapor kepada Anda, Anda tetap harus meraih dukungan orang-orang itu,” kata Jasmine. “Pastikan Anda memiliki tim inti transformasi. Tidak perlu terlalu banyak. Tim inti ini terdiri dari orang-orang kunci yang akan melakukan perjalanan transformasi dengan Anda. Pastikan Anda mengembangkan orang-orang ini.”

Banyak pemimpin berpendapat bahwa mereka harus pertama mengubah pucuk atas organisasi dalam rangka menciptakan kesatuan tujuan transformasi. Hal ini setidaknya disampaikan di AstraZeneca, Coles, Hilton Worldwide, Kraft Foods, National Bank Financial Group, dan United Way. “Sangat jelas siapa-siapa saja yang paham dan tidak,” kata Rosenfeld. “Kuncinya apakah para pemimpin itu sudah satu perahu dengan kita. Pengalaman saya mengatakan, jika mereka tidak cepat-cepat satu perahu dengan kita, biasanya mereka tidak akan pernah satu perahu pada akhirnya.”

Umumnya, setiap upaya perubahan akan diikuti oleh akuntabilitas yang kian besar, terutama di jajaran pemimpin senior perusahaan. “Ketika saya mengambil pekerjaan ini, salah satu yang terus saya lakukan adalah mendorong akuntabilitas dan tanggung-jawab secara merata ke jajaran di bawah saya,” kata Brennan. “Saya memiliki orang-orang yang bergaji sangat besar yang kerap mendatangi saya agar saya mengambil keputusan untuk mereka. Ketika keputusan bisa diambil oleh diri mereka sendiri di level mereka, saya akan katakan demikian.”

Para pimpinan perusahaan ini setuju bahwa merubah mindset pemimpinan senior adalah salah satu kunci penting apabila transformasi perusahaan ingin sukses. Mereka juga percaya kalau mindset organisasi mereka juga harus dirubah. Karena perubahan tidak bisa berhenti di pucuk saja. Perubahan harus meresap hingga ke level paling bawah di seluruh organisasi. Dalam wawancara yang sudah dilakukan, para pemimpin ini sering berpergian hingga ke jajaran frontline perusahaan, mengerahkan segala upaya mereka untuk melibatkan hati dan pikiran karyawan mereka sembari terus memonitor perubahan budaya dan semangat para karyawan.

Daum berhasil menciptakan mindset yang tepat untuk kesuksesan transformasi perusahaan dengan cara melibatkan seluruh karyawannya. “Semua orang akan selalu ter-inform akan progress transformasi yang berlangsung,” kata Daum. “Semua orang dipastikan mengetahui dan memahami bagiannya dalam proses transformasi yang berlangsung. Semua orang dipastikan terlibat dalam beberapa program inisiatif transformasi yang sudah kami rancang. Karyawan kami mengetahui bahwa setiap dari mereka adalah bagian penting untuk kesuksesan transformasi secara keseluruhan. Mereka sangat paham jika salah satu dari mereka gagal, perusahaan bisa saja tidak berhasil bertransformasi dengan sukses.”

Di Coles, McLeod tidak pernah lupa memberi penghargaan bagi karyawannya atas setiap pencapaian yang mereka telah lakukan. “Dalam suasana transformasi yang cenderung berintensitas tinggi, kita terlalu terfokus pada perbaikan-perbaikan sehingga kita suka lupa memberi penghargaan pada mereka-mereka yang sudah bekerja keras menghasilkan perbaikan-perbaikan itu. Penghargaan dan pengakuan akan keberhasilan karyawan adalah penting,” katanya.

Salah satu perusahaan internet terbesar di Jepang, Rakuten, telah berada di masa transformasi sejak pendiriannya pada tahun 1997. Rakuten sudah melebarkan usahanya dari e-commerce ke bidang-bidang lain seperti keuangan, travel, content, sekaligus menjadi pemilik bagi beberapa klub olahraga di dunia—mulai dari di Jepang, Cina, hingga ke AS dan Eropa.

CEO Rakuten Hiroshi Mikitani mengatakan bahwa pengembangan filosofi bisnis perusahaan-lah yang menolong Rakuten terus mengalami sinergi dan kesejajaran (alignment) ketika mereka ekspansi ke bisnis dan pasar yang baru. “Kami mengambil komponen inti dari praktek manajemen kami—yaitu, budaya perusahaan, konsep brand Rakuten, dan praktek bisnis Rakuten—untuk kami gabungkan menjadi filosofi bisnis perusahaan,” kata Mikitani.

“Kami mengatakan kepada para manajer kami untuk berpegang teguh pada kerangka dasar dan fondasi inti dari praktek bisnis perusahaan kami,” Selama para manajer Rakuten mematuhi dasar-dasar atau inti praktek di Rakuten, Mikitani memberi mereka kebebasan penuh untuk menjalankan fungsinya masing-masing.

Para CEO harus secara aktif memonitor keterikatan karyawan (employee engagement) sepanjang waktu—terutama di masa transformasi. “Di Asda, saya bisa mengetahui bagaimana keadaan para sales kami melalui survey sikap dan semangat kerja karyawan. Jika saya melihat ada sikap yang tidak baik, turnover yang tinggi, dan absen kerja yang tinggi, maka saya bisa tahu kalau saya sedang ada masalah dengan penjualan,” kata Norman. “Motivasi karyawan adalah inputnya, penjualan dan kinerja keuangan adalah output-nya.”

Kesimpulannya, transformasi yang sukses berasal dari fokus yang tak terputus terhadap tiga elemen inti transformasi di atas. Seorang CEO yang berfokus untuk menciptakan kemenangan-kemenangan jangka menengah, menyediakan dana atau modal untuk bertransformasi, serta berfokus untuk membangun tim, organisasi, dan budaya yang tepat akan sukses dalam menjalankan agenda transformasinya sekaligus berhasil menciptakan warisan kepemimpinan yang bertahan lama.

Leading Change : Why Transformational Effort Fails by John Kotter (2007)

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Harvard Business Review pada tahun 2007. Saya menterjemahkannya secara bebas. Enjoy 🙂

MEMIMPIN PERUBAHAN

Mengapa Upaya Transformasi Gagal

 

“Para pemimpin yang sukses mentransformasi bisnisnya melakukan 8 hal dengan benar (dan mereka melakukannya dengan urutan yang benar juga).”

Rangkuman Singkat

Transformasi perusahaan seringnya hanya menghasilkan hasil yang anget-anget tai ayam, dan lebih banyak lagi yang gagal total.

Menurut Kotter, hal ini disebabkan karena para pemimpin perusahaan gak sadar kalo transformasi itu sebuah proses bukan event. Transformasi menurut Kotter itu berkembang melewati tahapan-tahapan yang dibangun satu sama lain. Transformasi membutuhkan waktu bertahun-tahun. Seringnya, para pemimpin perusahaan ini ditekan untuk menghasilkan hasil secepat-cepatnya sehingga banyak tahapan ini yang dilongkap.

Dengan memahami tahapan-tahapan yang ada termasuk ranjau-ranjau unik dari tahapan itu, kita akan memperbesar kans kita untuk sukses dalam bertransformasi.

Prakteknya..

Tahapan Action Ranjau
Membangun rasa urgensi -Melihat kondisi pasar dan kompetisi yang sesungguhnya untuk menemukan potensi krisis dan peluang yang mungkin belum tergali

-Yakinkan 75% manajer Anda bahwa status quo lebih berbahaya daripada yang belum diketahui (the unknown)

-Meremehkan sulitnya mengeluarkan orang-orang dari comfort zone

-Lumpuh karena takut akan resiko perubahan

Membentuk tim kuat (kayak PMO misalnya?) -Bentuk kelompok dengan komitmen dan kekuatan yang cukup untuk memimpin transformasi

-Dorong mereka untuk bekerja sebagai tim di luar hierarki organisasi yang sudah ada

-Belum ada pengalaman sebelumnya bekerja sebagai tim di hierarki bagian atas organisasi

-Menurutnkan otorisasi kepemimpinan tim ke bagian HR, quality, atau bagian strategic planning daripada kepada manajemen yang lebih senior

Menciptakan visi -Ciptakan visi sebagai pemandu transformasi

-Kembangkan strategi untuk mencapai visi tersebut

-Menampilkan visi yang terlalu rumit atau terlalu samar-samar yang sulit dikomunikasikan dengan mudah dalam waktu lima menit saja
Mengkomunikasikan visi -Gunakan semua metode yang mungkin untuk mengkomunikasikan visi baru serta strategi untuk mencapainya

-Ajarkan perilaku yang baru melalui contoh perilaku yang dilakukan oleh tim transformasi

-Kurang mengkomunikasikan visi

-Berperilaku yang bertentangan dengan visi

Menggerakkan orang untuk bertindak berdasar visi baru -Ubah sistem dan struktur yang menghalangi terwujudnya visi baru

-Dukung pengambilan resiko, ide-ide, aktivitas, dan tindakan yang nonkonvensional

-Gagal memindahkan orang kuat yang menolak perubahan
Merencanakan dan menetapkan keberhasilan-keberhasilan jangka pendek -Definisikan perbaikan performa yang jelas

-Akui dan beri penghargaan bagi karyawan yang berkontribusi terhadap perbaikan tersebut

-Tidak mendesain milestone keberhasilan jangka pendek

-Gagak mencetak keberhasilan sesegera mungkin (dalam kurun waktu 12-24 bulan pada proses transformasi)

Mengkonsolidasikan perbaikan-perbaikan yang sudah tercipta dan menghasilkan lebih banyak perubahan -Gunakan kredibilitas yang sudah didapat dari kemenangan sebelumnya untuk mengubah sistem, struktur, dan kebijakan yang menghalangi visi baru

-Rekrut, promosikan, dan kembangkan karyawan yang mengimplementasikan visi baru

-Hidupkan kembali proses perubahan dengan proyek baru dan agen perubahan yang baru

-Merayakan kemenangan terlalu awal—dengan perbaikan performa tahap awal

-Membiarkan para resisten meyakinkan karyawan bahwa kita sudah menang perang

Melembagakan pendekatan baru ini -Pertegas hubungan antara perilaku baru dengan kesuksesan perusahaan

-Ciptakan pengembangan kepemimpinan dan rencana suksesi yang konsisten dengan pendekatan baru

-Tidak menciptakan norma sosial dan nilai-nilai baru di dalam perusahaan yang konsisten dengan semangat perubahan

-Mempromosikan orang-orang ke posisi pemimpin yang tidak mempersonifikasi pendekatan baru

Perusahaan yang sukses bertransformasi melewati tahapan yang panjang dan berurutan. Melongkapi tahapan ini tidak pernah menghasilkan hasil yang memuaskan.

Kesalahan dalam setiap tahapan akan menimbulkan efek yang menghancurkan, memperlambat momentum dan menganulir keberhasilan proses yang sudah susah payah diperoleh.

Mungkin karena banyak orang memiliki pengalaman yang sedikit tentang transformasi perusahaan, maka bahkan setiap orang yang paling kapabel pun setidaknya melakukan satu kesalahan besr.

Kesalahan 1 : Tidak Membangun Sense of Urgency

Sense of Urgency

Upaya perubahan yang sukses dimulai dari beberapa individu atau kelompok yang mulai melihat dengan seksama kondisi pasar, situasi kompetisi, tren teknologi yang muncul, dan performa finansial perusahaan. Mereka fokus ke potensi turunnya pendapatan perusahaan, potensi turunnya margin perusahaan selama lima tahunan, atau munculnya pasar-pasar baru yang masih diabaikan oleh banyak orang. Setelah mendapatkan kesimpulan akan semua ini, individu atau kelompok ini akan mencari cara agar mereka dapat mengkomunikasikan temuan mereka secara luas dan dramatis, yang diutamakan kepada potensi krisis maupun peluang yang dihadapi perusahaan. Hal ini adalah langkah awal yang paling penting, karena dimulainya program transformasi memerlukan kerja-sama agresif dari banyak individu.

Terdengar mudah, tetapi faktanya 50% perusahaan yang bertransformasi gagal di tahap awal ini. Alasannya ? Banyak pemimpin perusahaan yang menganggap remeh. Mereka berpikir mudah saja mengeluarkan orang-orangnya dari zona nyaman. Mereka kurang sabar. Di sisi lain, ada juga pemimpin yang ketakutan akan efek dari transformasi ini kepada karyawan-karyawan mereka. Mereka khawatir karyawan senior akan menjadi defensif, motivasi kerja menurun, program transformasi menjadi di luar kendali, hasil bisnis jangka-pendek gagal, harga saham jatuh, dan mereka akan menjadi kambing hitam atas krisis yang terjadi ini.

Ketakutan ini disebabkan oleh terlalu banyaknya manajer dan masih sedikitnya pemimpin sejati. Mandat manajemen umumnya adalah meminimalisir resiko dan menjaga agar sistem yang sudah ada terus berjalan. Di satu sisi, perubahan selalu menuntut sistem yang baru, karenanya memerlukan figur pemimpin sejati yang bukan sekadar manajerial.

Fase pertama ini tidak akan berkembang ke fase selanjutnya sampai terdapat cukup banyak pemimpin yang ada di posisi strategis perusahaan.

Jika target transformasi adalah keseluruhan perusahaan, maka key-person-nya adalah CEO.

Performa bisnis yang buruk itu bagaimana dua mata pedang. Sisi baiknya dari performa bisnis yang buruk adalah orang-orang akan lebih cepat sadar bahwa mereka kini tengah diambang kehancuran, tetapi ruang untuk bermanuver lebih kecil karena kurangnya sumber daya. Hal yang sebaliknya juga sama. Ketika performa bisnis sedang bagus-bagusnya, meyakinkan orang untuk berubah akan jauh lebih sulit, kendati sumber daya yang dimiliki lagi banyak sekali untuk bisa berubah.

Proses transformasi yang sukses diawali dari diskusi yang sejujur-jujurnya (biasanya tidak menyenangkan) tentang kompetisi baru, margin yang menyusut, pangsa pasar yang menurun, pendapatan yang datar, atau faktor apapun yang mengindikasikan menurunnya daya saing perusahaan. Banyak pemimpin perusahaan yang meminta pihak eksternal untuk mengkomunikasikan kabar buruk ini, terutama ketika top leader-nya bukanlah change champion. Maka dari itu, pihak eksternal seperti analis, konsultan, dan bahkan pelanggan dapat membantu perusahaan dalam hal ini. Inti dari aktivitas ini adalah untuk “membuat status quo itu lebih berbahaya daripada berlayar ke lautan ketidak-pastian”.

Di beberapa kisah sukses, ada perusahaan yang secara sengaja merekayasa krisis untuk memancing urgensi untuk transformasi ini. Ada seorang CEO yang secara sengaja merekayasa laporan akuntansi perusahaan untuk menunjukkan kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan mereka sampai menimbulkan tekanan hebat dari Wall Street dalam prosesnya.

Ada lagi satu perusahaan yang sengaja mengadakan survey kepuasan pelanggan padahal mereka sudah tau bahwa hasilnya akan buruk, plus, mereka mempublikasikan hasil survey itu ke publik !

Secara sekilas, manuver-manuver di atas terlihat sangat bodoh dan beresiko, tetapi terdapat juga resiko ketika perusahaan bermain terlalu aman : Ketika tingkat urgensi transformasi tidak tinggi, maka proses transformasi tidak akan sukses.

Kapan tingkat urgensi transformasi bisa dikatakan tinggi ? Kotter menyebutkan tinggi, ketika sekitar 75% anggota manajemen perusahaan yakin bahwa business as usual mereka sudah tidak bisa lagi digunakan. Di bawah 75%, maka hanya akan menghasilkan masalah serius di tahapan selanjutnya.

Kesalahan 2 : Tidak Membangun Tim yang Kuat

Transformasi biasanya dimulai dari satu atau dua orang. Transformasi yang sukses tim kepemimpinan yang menjadi ruh transformasi ini semakin terus bertambah dan berkembang. Jika jumlah minimum orang tidak tercapai pada tahapan awal, tidak akan ada hal berarti yang terjadi.

Transformasi yang sukses tidak hanya berpusat pada top manajemen. Transformasi yang berhasil melibatkan CEO, General Managers, ditambah 15 sampai 50 orang lainnya yang duduk bersama mengembangkan komitmen bersama untuk performa perusahaan yang lebih baik melalui transformasi. Berdasarkan pengalaman Kotter, tim ini tidak akan terdiri dari semua senior eksekutif di perusahaan karena biasanya mereka tidak akan begitu mendukung pada awalnya.

Yang jelas, transformasi yang sukses terdiri dari tim yang sangat kuat—dalam hal jabatan, akses informasi, keahlian, kompetensi, reputasi, dan dalam keahlian berhubungan dengan orang lain.

Dalam organisasi yang skalanya kecil maupun besar, tim kuat dan sukses biasanya hanya terdiri dari tiga sampai lima orang di tahun pertama. Di perusahaan yang besar, anggota tim ini harus bertumbuh hingga 20-50 orang sebelum maju ke tahapan selanjutnya. Manajer senior selalu menjadi inti dari tim, tetapi terkadang tim juga bisa terdiri dari anggota Direksi, perwakilan pelanggan, bahkan pimpinan buruh yang berpengaruh.

Karena tim ini bisa terdiri dari anggota yang tidak masuk dalam anggota manajemen senior, maka mereka cenderung bekerja di luar hierarki organisasi yang ada (seperti PMO). Meski akan kagok, tapi ini perlu. Hal ini dilakukan apabila sistem saat ini tidak bekerja, karena yang namanya reformasi memerlukan aktivitas diluar batasan-batasan formal yang ada.

Ada seseorang yang harus mengumpulkan orang-orang untuk tim ini, menolong mereka mengembangkan penilaian bersama terkait permasalahan perusahaan, peluang, serta meciptakan kesaling-percayaan dan komunikasi yang baik. Aktivitas retreat selama 2 atau tiga hari merupakan metode yang cukup populer digunakan.

Perusahaan yang gagal di fase kedua ini biasanya mengabaikan pentingnya keberadaan tim kuat ini. Hal ini disebabkan biasanya karena mereka tidak punya pengalaman team work di level atas. Atau terkadang top leader mengharapkan bagian SDM, kualitas, atau strategic planning alih-alih manajer kunci yang berpengaruh langsung pada transformasi perusahaan.

Kesalahan 3 : Visi yang Kurang Jelas

Tanpa visi yang jelas, upaya transformasi bisa membawa perusahaan ke arah yang salah atau bahkan sama sekali tidak kemana-mana.

Program transformasi yang gagal identik dengan banyak sekali rencana-rencana, direktif, program-program aktivitas tanpa visi. Ada satu perusahaan yang menerbitkan buku setebal empat inci berisi prosedur, tujuan, metode, dan deadline tanpa ada satu pun statement yang menggugah siapapun yang membacanya. Pada kasus lain ada juga perusahaan yang sudah memiliki arah yang cukup baik tetapi masih terlalu rumit atau kabur untuk bisa menjadi sesuatu yang berguna.

Ini aturan untuk mengukur visi itu baik atau tidak :

“Jika Anda tidak bisa mengkomunikasikan visi kepada orang lain dalam waktu lima menit atau kurang dan mendapatkan pemahaman dan ketertarikan, berarti Anda belum selesai dengan fase ini,”

Kesalahan 4 : Kurang Mengkomunikasikan Visi

Terdapat tiga pola komunikasi yang biasanya dilakukan secara umum oleh perusahaan. Setelah memiliki visi transformasi yang baik, mereka lantas mengkomunikasikannya dengan mengadakan sekali meeting masal atau dengan mengirimkan satu pesan kepada seluruh karyawan. Kenyataannya, hanya sedikit orang yang benar-benar paham akan upaya transformasi ini. Pola kedua yang dilakukan adalah ketika pimpinan perusahaan menghabiskan banyak waktu untuk menemui kelompok-kelompok karyawan dan mengkomunikasikan visi baru ini. Nyatanya, tetap saja masih banyak orang yang benar-benar paham. Pola ketiga dilakukan seperti pola kedua tetapi dengan menambahkan internal newsletter secara rutin yang disebar ke seluruh karyawan. Meski komunikasi tentang visi baru ini digaungkan terus secara rutin, namun pada akhirnya akan selalu ada pimpinan-pimpinan perusahaan yang berlaku bertindak bertentangan dengan visi baru sehingga hasil akhirnya adalah sinisme di kalangan karyawan dan pengabaian dari komunikasi rutin itu.

Kuncinya adalah komunikasi yang kredibel, dalam rangka mendorong karyawan untuk mendukung visi baru bahkan rela berkorban untuk keberhasilan transformasi perusahaan.

Fase ke-4 ini akan berat terutama jika downsizing menjadi bagian dari eksekusi visi baru. Untuk itu, menurut Kotter, visi seperti ini akan sukses dilaksanakan apabila komunikasi yang dilakukan melibatkan peluang growth baru dan peluang karir baru di perusahaan, termasuk komitmen manajemen untuk berlaku adil bagi mereka yang terkena pemecatan.

Komunikasi yang baik dalam situasi transformasi adalah ketika para pimpinan perusahaan senantiasa mengkomunikasikannya dalam keseharian mereka bekerja kepada siapapun kapan pun. Misalnya, ketika membahas strategi bisnis, mereka selalu menjadi yang pertama mengingatkan apakah solusi-solusi yang sedang dibahas sesuai dengan visi baru yang sudah ditetapkan. Ketika pimpinan perusahaan bicara tentang performance appraisal, mereka bicara mengenai apakah perilaku-perilaku karyawan dalam bekerja sudah mendukung visi baru atau sebaliknya. Ketika sedang mengevaluasi performa triwulanan setiap fungsi, mereka juga membahas tentang apa saja kontribusi yang sudah diberikan oleh setiap divisi terhadap kesuksesan transformasi perusahaan. Intinya, mereka selalu mengkomunikasikan dan menghubungkan setiap aspek dari perusahaan kepada keberadaan visi baru perusahaan.

Mengkomunikasikan visi ini yang penting prinsipnya adalah : “Gunakan SEMUA saluran dan metode komunikasi yang mungkin terutama saluran komunikasi yang biasanya sering diabaikan oleh karyawan. Rubah isi dan lay-out pesan menjadi semenarik dan semenggugah mungkin.”

Yang terpenting dari seluruh bentuk komunikasi yang dilakukan perusahaan dalam mengkomunikasikan visi baru dan transformasinya adalah : INTEGRITAS. Istilah lainnya adalah “walk the talk”. Kesesuaian antara yang dibicarakan dengan yang dilakukan. Ini adalah bentuk komunikasi yang tanpa sadar senantiasa diproyeksikan keluar dan setiap orang akan selalu menilai kesesuaian kata dan tindakan pemimpin ini tanpa mereka sadar. Sekali saja pimpinan perusahaan mengindikasikan adanya perbedaan dengan apa yang mereka bicarakan dengan apa yang mereka lakukan, maka hal itu akan mengancam keberhasilan proses transformasi.

Kesalahan 5 : Tidak Menghilangkan Halangan Menuju Transformasi

Berkomunikasi terkait proses transformasi berserta visi baru perusahaan tidak pernah cukup. Tim transformasi haruslah mampu mengidentifikasi penghalang-penghalang transformasi sekaligus mengatasinya. Dengan kampanye komunikasi yang baik, karyawan bisa saja sudah sepenuhnya memahami terkait upaya transformasi perusahaan dan kemana mereka akan pergi serta siap untuk mendukung upaya ini, tetapi tantangan selanjutnya adalah menanggulangi keraguan yang ada di kepala setiap karyawan di mana tim transformasi harus mampu meyakinkan mereka bahwa itu semua tidak relevan. Di beberapa kasus, halangan ini nyata.

Halangan-halangan transformasi ini bisa berupa struktur organisasi existing. Jenis pekerjaan yang begitu sempit, membatasi, dan penuh dengan tuntutan bisa menghalangi karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya atau membuatnya kesulitan untuk memikirkan hal lain di luar pekerjaannya. Terkadang halangan juga bisa berupa sistem kompensasi dan performance appraisal yang membuat karyawan cenderung memikirkan keuntungan dirinya sendiri daripada berkorban untuk visi transformasi yang baru. Dan mungkin yang paling buruk adalah para bos-bos pimpinan divisi atau manajer yang pada dasarnya tidak mendukung perubahan ini, sehingga mereka sering membuat tuntutan-tuntutan pada bawahannya yang tidak konsisten dengan upaya transformasi.

Terdapat satu kasus yang cukup menarik. Ada satu perusahaan yang memulai proses transformasinya dengan benar di ke-empat tahap sebelumnya, namun terhambat di tahap ke-5. Hal ini disebabkan karena perusahaan membiarkan personil-personil kunci perusahaan (Direksi, GM, dll) menghambat transformasi itu sendiri. Personil kunci ini mendukung transformasi hanya di bibir saja, tetapi perilaku dan tindakannya tidak berubah, dan dia juga tidak terus mendorong bawahan-bawahannya untuk berubah. Dia tidak memberi reward kepada setiap ide out of the box yang muncul yang mendukung transformasi. Dia membiarkan sistem SDM untuk terus berjalan meskipun faktanya sistem SDM saat ini bertentangan dengan upaya transformasi. Menurut Kotter, motif dari personil kunci yang seperti ini begitu kompleks. Mungkin saja jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tidak benar-benar yakin bahwa perusahaan harus berubah. Mungkin juga dia merasa terancam dengan semua perubahan ini. Atau mungkin saja dia takut dia tidak bisa menghasilkan perubahan dan hasil transformasi yang diharapkan. Apapun alasannya jelas personil kunci ini menjadi penghambat transformasi. Namun jarang ada perusahaan yang pernah mengalami hal ini sebelumnya. Sang CEO khawatir akan kehilangan talenta terbaiknya. Alhasil, manajer di level yang lebih rendah menganggap para pimpinan perusahaan tebang pilih dan tidak sesuai dengan komitmen mereka untuk pembaruan, hingga pada akhirnya usaha transformasi pun menjadi gagal.

Di paruh pertama proses transformasi, jarang ada perusahaan yang langsung memiliki momentum, kekuatan, waktu untuk menyingkirkan semua penghalang transformasi. Tetapi perusahaan harus mau dan mampu mengatasi penghalang yang paling besar. Jika penghalang ini berbentuk orang, maka perusahaan harus mampu memperlakukan orang ini dengan adil dan sejalan dengan semangat visi transformasi perusahaan yang baru. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memberdayakan orang lain dan juga untuk memelihara kredibilitas dari keseluruhan proses transformasi.

Kesalahan 6 : Tidak Merencanakan Target-Target Kemenangan Jangka Pendek (Short-Wins) Secara Sistematis

Transformasi sejati membutuhkan waktu yang panjang. Dan upaya ini selalu beresiko kehilangan momentum jika tidak ada target kemenangan jangka pendek (short wins) untuk dirayakan.

Tanpa adanya short wins, banyak orang yang akan cepat menyerah karena merasa bahwa proses ini terlalu panjang dan rumit. Short wins itu perlu untuk mengingatkan bahwa kita telah mencapai progress-progress penting dari keseluruhan proses transformasi yang panjang.

Transformasi yang sukses selalu mengedepankan performance improvement yang jelas dan terukur, menetapkan tujuan dan target dalam perencanaan tahunan, serta memberikan reward berupa penghargaan—bahkan uang, untuk siapa saja yang mampu mencapai target-target tersebut.

Short win ini penting untuk ditetapkan dengan sistematis, terukur dan jelas, karena ketika semua orang sadar bahwa proses transformasi itu panjang, maka tingkat urgensi transformasi bisa menurun drastis tanpa adanya short win. Komitmen untuk menghasilkan short win bisa membuat tingkat urgensi tetap tinggi dan mendorong timbulnya analitical thinking yang lebih detail yang bisa semakin memperjelas visi.

Kesalahan 7 : Mendeklarasikan Kemenangan Terlalu Cepat

Upaya transformasi akan terdiri dari banyak sekali proyek-proyek yang harus dijalankan perusahaan. Keberhasilan menjalan proyek tidak sama dengan keberhasilan mentransformasi perusahaan secara umum. Jangan terjebak menganggap bahwa kemenangan di satu pertempuran sama dengan kemenangan di peperangan. Transformasi bisa berlangsung 5 sampai 10 tahun, karena transformasi yang menyeluruh juga melibatkan perubahan di budaya kerja dan nilai-nilai perusahaan yang dijalankan sehari-hari. Upaya perubahan ini sangat rentan dengan kembali ke kebiasaan lama.

Ironisnya, kecenderungan untuk merayakan kemenangan terlalu cepat ini terjadi sebagai hasil kombinasi dari para inisiator perubahan dan para penolak perubahan yang pada akhirnya menciptakan perayaan kemenangan prematur. Para inisiator terlena dengan keberhasilan-keberhasilan dalam proses transformasi sehingga momentum ini diambil oleh para penolak perubahan untuk mendeklarasikan bahwa transformasi sudah selesai dan semua karyawan bisa kembali bekerja di tempatnya masing-masing. Ketika karyawan kembali ke kebiasaan lamanya, untuk kembali meminta mereka bertransformasi akan menjadi sangat sulit, apalagi jika ditambah budaya lama yang pelan-pelan kembali mengambil alih.

Solusinya, daripada mendeklarasikan kemenangan terlalu cepat, para pimpinan perusahaan bisa mengambil momentum short win untuk mengatasi halangan-halangan transformasi yang lain yang mengancam kelangsungan proses transformasi. Mereka kini mengatasi problem-problem di sistem dan struktur lain yang tidak konsisten dengan upaya transformasi mereka yang sebelumnya belum ditangani. Mereka sungguh-sungguh memperhatikan siapa saja yang dipromosikan, siapa yang direkrut, dan bagaimana orang-orang mereka dikembangkan. Mereka mengadakan proyek transformasi yang lebih besar daripada proyek sebelumnya.

Kesalahan 8 : Tidak Melekatkan Perubahan Ke Budaya Perusahaan

Akhirnya, perubahan atau transformasi itu berhasil jika mampu mengubah budaya perusahaan atau “the way we do things around here”. Upaya perubahan akan selalu rentan terhadap kegagalan ketika tekanan untuk berubah sudah hilang. Karena itu, transformasi belum bisa dikatakan berhasil sampai betul-betul mendarah-daging menjadi kebiasaan sehari-hari karyawan menjadi norma sosial yang tidak tertulis dan menjadi nilai bersama.

Terdapat dua faktor yang penting untuk melembagakan perubahaan ke dalam budaya perusahaan. Yang pertama, adalah dengan menunjukkan kepada semua orang bahwa pendekatan baru, strategi baru, upaya baru, dan perilaku baru ini ternyata efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Jangan biarkan orang menerka-nerka sendiri hubungan antara transformasi dengan peningkatan kinerja perusahaan. Komunikasikan terus hubungan ini dengan rutin dan konsisten. Caranya bisa dengan terus mendengungkan di setiap rapat bahwa perubahan yang sudah dilakukan berefefek positif terhadap kinerja perusahaan. Atau dengan menulis artikel rutin untuk diakses semua karyawan bahwa transformasi yang selama ini dilakukan berhasil meningkatkan laba perusahaan.

Yang kedua adalah dengan telaten memastikan bahwa generasi kepemimpinan selanjutnya sudah benar-benar menjadi personifikasi akan transformasi. Syarat promosi di setiap level haruslah melibatkan kompetensi dan sikap yang mendukung transformasi. Satu saja suksesi buruk terjadi di level top manajemen maka akan membuat keseluruhan transformasi menjadi gagal total. Suskesi buruk bisa terjadi ketika jajaran direksi tidak menjadi satu kesatuan akan upaya transformasi ini. Dalam hal ini mungkin penentu jajaran direksi selanjutnya harus paham akan upaya transformasi ini.