[Old Post-Repost] Mengapa Kita Menyukai Keburukkan Orang Lain

Ini merupakan penggalan tulisan dari guru saya, Kang Gunadi Haristiwan (KG). Simply amazing and will slap your ass hard.

Dalam percakapan sehari-hari antara dua orang yang sudah berteman cukup lama, jika mau di survey lah maka saya yakin sekali bahwa topik tentang membicarakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain akan menempati urutan tiga besar ke atas. Dan sebaliknya saya juga yakin seyakin-yakinnya bahwa topik pembicaraan tentang kebaikan, keteladanan, kebijaksanaan orang lain akan berada di urutan dua puluh besar ke bawah. Sedemikian parahnya perilaku manusia sekarang? Jika anda tidak mempercayainya coba lakukan survey terhadap diri anda sendiri dan orang-orang terdekat disekitar anda. Amati topik pembicaraan mereka atau anda jika bersama dengan orang-orang terdekat atau teman-temannya lah, maka saya yakin anda akan sepakat dengan saya.

Nah pertanyaannya, mengapa kita suka sekali mendengar atau menceritakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain? Ini adalah pertanyaan yang dulu saya ajukan ke diri saya sendiri, dalam usaha saya untuk menemukan jawaban.

Setelah saya amati, ternyata ada semacam rasa senang atau rasa kepuasan tertentu yang yang muncul di dalam diri kita, ketika mendengar hal-hal yang menurunkan kredibilitas orang lain di mata kita.

d6ed2c3fc2475f5def020f6fc6205b6558a2259d3b05c21a2db8e1d2850dbed6

Pertanyaan selanjutnya, mengapa rasa senang atau rasa kepuasan tertentu ini muncul? Cukup pelik saya memikirkan jawabannya, tetapi saya akhirnya menyadari bahwa ini ternyata berhubungan dengan ‘ego’ saya. Ego sebagaimana yang saya sampaikan di tulisan sebelumnya saya defenisikan sebagai hal-hal atau segala sesuatu yang mengarah kepada kepentingan, keuntungan atau kesenangan diri kita sendiri semata saja. Jadi ternyata rasa senang atau rasa kepuasan itu akan muncul, jika saya menemukan ada sesuatu yang membuat orang lain terlihat menjadi semakin buruk atau berkurang kebaikannya di mata saya.

Ekspresi dari rasa senang atau kepuasan ini belum bisa saya uraikan secara gamblang, tetapi jika kita amati dengan teliti maka kita akan menemukannya. Yang pasti ekspresinya ini menghasilkan semacam rasa ketagihan dalam diri kita. ‘Sakau’ kali yah bahasa tepatnya menggunakan istilah jaman sekarang. Amati saja orang-orang disekitar anda yang suka sekali membicarakan keburukan orang lain. Sehari saja dia gak ngomongin kejelekan orang maka tampangnya menjadi menyedihkan lah. Dan ini serius, saya menemukan banyak sekali contoh dalam perjalanan hidup saya selama ini.

Nah, pertanyaan saya berikutnya kepada diri saya adalah, mengapa rasa senang atau kepuasan tersebut membuat saya nyaman dan membuat saya selalu ingin mengulang dan mengulangnya lagi? Mencari jawabannya cukup membuat ego saya terbanting-banting.

Karena ternyata saya merasa nyaman ketika melihat kredibilitas orang lain di mata saya menjadi buruk atau lebih buruk adalah, karena saya tidak bisa ‘sebaik’ mereka.

apply_cold_water_to_burned_area

Saya merasa tidak pernah mampu menjadi sebaik atau lebih baik dari orang tersebut, maka saya akan merasa sangat nyaman ketika akhirnya orang tersebut memiliki cacat, keburukan, aib atau kejelekan yang saya anggap dapat menurunkan kredibilitasnya di dalam diri saya.

Pertama kali saya menyadari ini, yang pasti saya terkejut sendiri. Dalam hati saya berkata, “Berarti selama ini, ketika saya sangat suka mendengar dan mebicarakan keburukan orang lain sebenarnya adalah karena saya sakit jiwa. Hanya orang yang sakit jiwanya saja, yang menyukai dan mengharap keburukan atau aib orang lain agar dirinya merasa nyaman!“.

Selanjutnya dari pemahaman tersebut saya mencoba memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tentang keburukan orang lain ini bagi diri saya. Cerita buruk yang saya terima pastinya akan diperlakukan sebagai informasi oleh memori di otak saya. Terlepas benar atau salah, informasi itu tetap disimpan di memori otak saya. Informasi ini suatu saat akan di pakai otak saya sebagai salah satu referensi untuk merespons sesuatu bagi diri saya.

Saya membayangkan bagaimana persepsi saya akan seseorang bisa berubah drastis jika informasi buruk ini terus-menerus dimasukkan ke memori otak saya. Mending jika informasi tersebut benar, jika salah maka saya sudah melakukan fitnah secara tidak langsung dengan berprasangka buruk pada orang lain. Yang teringat oleh saya saat membayangkan itu, adalah cerita para Nabi saat mereka awal-awal menyebarkan ajarannya. Cerita tentang keburukan para Nabi menyebar dan disebarkan oleh ribuan orang, mayoritas orang mempercayai cerita buruk tersebut bahkan semua yang belum pernah bertemu dengan Nabi pun membenarkannya. Apa yang terjadi ketika mereka bertemu langsung dengan Nabi? Anda semua sudah tahu ceritanya lah. Nah, saya tidak mau terjebak menjadi konyol seperti itu. Karena dampak cerita keburukan orang lain akan menyelewengkan persepsi saya nantinya.

Nah banyak lagi penelusuran dan pemikiran yang saya lakukan, hingga akhirnya membuat saya semakin yakin untuk memutuskan menghindari pembicaraan tentang keburukan-keburukan orang lain. Dampaknya terlalu hebat merusak otak dan akal saya yang merupakan satu-satunya benda berharga di dalam diri saya. Hina sekali rasanya jika saya harus mengorbankan otak dan akal saya, hanya untuk sekedar kenikmatan atau perasaan nyaman yang saya peroleh dengan membicarakan keburukan orang lain.

Taken from :
http://lemurianfx.com/stop-curhat/