Berikut adalah terjemahan bebas saya yang lain dari Artikel McKinsey tentang “The Science of Organizational Transformation” (2015). Enjoy 🙂
—
Sains Dibalik Transformasi Organisasi
Mendesain proses transformasi itu tidak bisa dengan menduga-duga (guesswork). Hasil survey McKinsey Global memperlihatkan bahwa perusahaan akan sukses bertransformasi jika mereka mendesain proses transformasinya dalam rangka menimbulkan perpindahan mind-set dan perilaku.
Riset McKinsey sebelumnye mengatakan bahwa tahap implementasi dari sebuah proses transformasi adalah yang paling penting. Penemuan mereka terakhir mengatakan pentingnya perusahaan menginvestasikan waktu dan upaya mereka untuk melakukan proses desain implementasi transformasi. Riset McKinsey terkini juga mengemukakan bahwa program transformasi yang paling efektif harus melibatkan 4 elemen ini :
Penetapan dan eksekusi role model
Menumbuhkan pemahaman dan keyakinan akan perlunya transformasi secara terus-menerus
Memperkuat proses transformasi melalui mekanisme yang lebih formal dan mengikat
Pengembangan talent dan kompetensi
Hasil penelitian memperlihatkan jika suatu perusahaan menggunakan ke-empat elemen ini, maka peluang mereka untuk sukses bertransformasi akan semakin besar, dibandingkan jika digunakan sebagian saja.
Bagaimana mendesain proses transformasi juga merupakan hal yang penting juga.
Desain Transformasi yang Efektif Tidak Bisa Dibuat dengan Menduga-Duga
Transformasi yang sukses pada dasarnya adalah ketika perusahaan mampu mengubah mindset dan perilaku karyawannya untuk mendukung transformasi. Berdasarkan penelitian dan pengalaman dari McKinsey ke-4 elemen di atas adalah elemen yang paling mampu mensukseskan perubahan ini. Ke-4 elemen ini juga dikenal dengan istilah “Influence Model”.
Penelitian dari McKinsey memperlihatkan bahwa banyak perusahaan yang lebih banyak menerapkan elemen nomor 2 dan 3. Elemen nomor 1 (role-modelling) adalah yang paling sedikit diterapkan dibanyak perusahaan. Banyak respoden dari penelitian McKinsey ini yang mengaku kesulitan menerapkan ke-4 elemen ini.
Dilaporkan juga bahwa ke-4 elemen ini sama pentingnya. Setiap satu elemen yang digunakan berkontribusi terhadap kesuksesan transformasi secara keseluruhan. Hasil akhir transformasi biasanya didefinisikan ke dalam dua hal :
Perbaikan performa perusahaan (dari sisi profitability misalnya)
Kesiapan perusahaan untuk performa jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable)—Misalnya, perbaikan kompetensi SDM perusahaan atau perubahan positif terhadap budaya perusahaan
Mengubah Mind-Set dan Perilaku melalui Influence Model
Elemen 1 : Role Modelling. Pemimpin perusahaan haruslah menjadi role model utama untuk menunjukkan pada setiap karyawan akan mindset dan perilaku yang diinginkan. Para pemimpin perusahaan harus men-set perilaku sehari-harinya sebagai contoh akan perubahan yang diinginkan. Para pemimpin perusahaan juga dapat meminta para karyawan yang berpengaruh untuk menjadi rolemodel-rolemodel bagi level yang lebih rendah.
Menumbuhkan pemahaman dan keyakinan. Karyawan harus memahami alasan dibalik mengapa perusahaan harus berubah. Jika mereka paham, lebih besar kemungkinan mereka akan mendukung transformasi perusahaan. Alasan ini haruslah berarti dan relevan.
Memperkuat proses transformasi melalui mekanisme yang formal. Mekanisme formal yang dimaksud berbentuk struktur, sistem, dan proses bisnis. Perusahaan dapat memperkuat proses transformasi melalui penetapan struktur dan sistem yang baru, seperti contohnya, menerapkan KPI baru, menerapkan sistem insentif yang mendorong karyawan untuk mengikuti proses transformasi.
Mengembangkan talenta dan kompetensi. Transformasi mungkin membutuhkan karyawan untuk memiliki kompetensi yang baru. Perusahaan harus mampu menganalisa gap kompetensi yang ada dan mengisi gap ini untuk mendukung proses transformasi, karena karyawan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan akan lebih mendukung proses transformasi ini.
Komplementer, Inovatif, dan Berfokus pada Kekuatan (Strength)
Disamping memberlakukan ke-4 elemen di atas, transformasi akan semakin sukses jika masing-masing elemen tersebut melengkapi satu sama lain serta sejajar (align) dengan konteks organisasi yang lebih luas. Ketika ke-4 elemen di atas itu mampu menjadi satu kesatuan yang komprehensif, saling melengkapi, dan relevan dengan konteks organisasi saat ini, maka 76% kemungkinan transformasi akan sukses.
Program transformasi yang selama ini dijalankan juga tidak bisa dijalankan dengan cara yang sama. Perlu ada program dan cara baru. Penelitian McKinsey mengemukakan bahwa ketika perusahaan menggunakan program dan cara transformasi yang sama, maka hanya 31% yang sukses. Ketika perusahaan menggunakan program dan metode transformasi yang baru, maka kemungkinan suksesnya naik menjadi 64%.
Hasil riset McKinsey lain menunjukkan jika program transformasi perusahaan difokuskan pada perbaikan kelemahan, maka hasilnya akan kurang efektif jika ketika perusahaan memfokuskan dirinya memperkuat apa yang sudah jadi kekuatan mereka. Tetapi, jika perusahaan mampu fokus pada perbaikan kelemahan dan perkuatan kekuatan secara bersamaan maka transformasi akan lebih berhasil lagi.
Proses Desain juga Penting
Program transformasi yang sudah didesain di atas kertas tidak selalu mengarah pada transformasi yang sukses. Proses desain program transformasi—terutama terkait bagaimana menentukan prioritas dan siapa saja yang terlibat dalam proses desain ini—juga sangat penting bagi kesuksesan transformasi.
Transformasi akan lebih sukses jika melibatkan orang dari berbagai fungsi di organisasi sejak dari proses desain. Menariknya, para responden riset mengatakan bahwa para pemimpin perusahaan gagal melibatkan orang-orang yang paling berpengaruh dalam proses transformasi (yaitu top-management dan transformation-leadership team). Hanya 35% yang mengatakan bahwa perusahaan mereka melibatkan orang-orang yang paling berpengaruh (orang-orang yang berpengaruh ini adalah mereka yang selalu dicari sesamanya untuk nasihat, saran, ataupun gagasan terkait apa yang terjadi di perusahaan). Ketika key-influencer ini dilibatkan dalam proses desain, maka 68% transformasi akan berhasil.
Alasan lain mengapa begitu penting melibatkan lebih beragam orang di proses transformasi ini karena biasanya para pemimpin perusahaan cenderung melaporkan kesuksesan yang lebih besar terkait usaha transformasi mereka ketimbang orang lain.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Harvard Business Review pada tahun 2007. Saya menterjemahkannya secara bebas. Enjoy 🙂
MEMIMPIN PERUBAHAN
Mengapa Upaya Transformasi Gagal
Â
“Para pemimpin yang sukses mentransformasi bisnisnya melakukan 8 hal dengan benar (dan mereka melakukannya dengan urutan yang benar juga).”
Rangkuman Singkat
Transformasi perusahaan seringnya hanya menghasilkan hasil yang anget-anget tai ayam, dan lebih banyak lagi yang gagal total.
Menurut Kotter, hal ini disebabkan karena para pemimpin perusahaan gak sadar kalo transformasi itu sebuah proses bukan event. Transformasi menurut Kotter itu berkembang melewati tahapan-tahapan yang dibangun satu sama lain. Transformasi membutuhkan waktu bertahun-tahun. Seringnya, para pemimpin perusahaan ini ditekan untuk menghasilkan hasil secepat-cepatnya sehingga banyak tahapan ini yang dilongkap.
Dengan memahami tahapan-tahapan yang ada termasuk ranjau-ranjau unik dari tahapan itu, kita akan memperbesar kans kita untuk sukses dalam bertransformasi.
Prakteknya..
Tahapan
Action
Ranjau
Membangun rasa urgensi
-Melihat kondisi pasar dan kompetisi yang sesungguhnya untuk menemukan potensi krisis dan peluang yang mungkin belum tergali
-Yakinkan 75% manajer Anda bahwa status quo lebih berbahaya daripada yang belum diketahui (the unknown)
-Meremehkan sulitnya mengeluarkan orang-orang dari comfort zone
-Lumpuh karena takut akan resiko perubahan
Membentuk tim kuat (kayak PMO misalnya?)
-Bentuk kelompok dengan komitmen dan kekuatan yang cukup untuk memimpin transformasi
-Dorong mereka untuk bekerja sebagai tim di luar hierarki organisasi yang sudah ada
-Belum ada pengalaman sebelumnya bekerja sebagai tim di hierarki bagian atas organisasi
-Menurutnkan otorisasi kepemimpinan tim ke bagian HR, quality, atau bagian strategic planning daripada kepada manajemen yang lebih senior
Menciptakan visi
-Ciptakan visi sebagai pemandu transformasi
-Kembangkan strategi untuk mencapai visi tersebut
-Menampilkan visi yang terlalu rumit atau terlalu samar-samar yang sulit dikomunikasikan dengan mudah dalam waktu lima menit saja
Mengkomunikasikan visi
-Gunakan semua metode yang mungkin untuk mengkomunikasikan visi baru serta strategi untuk mencapainya
-Ajarkan perilaku yang baru melalui contoh perilaku yang dilakukan oleh tim transformasi
-Kurang mengkomunikasikan visi
-Berperilaku yang bertentangan dengan visi
Menggerakkan orang untuk bertindak berdasar visi baru
-Ubah sistem dan struktur yang menghalangi terwujudnya visi baru
-Dukung pengambilan resiko, ide-ide, aktivitas, dan tindakan yang nonkonvensional
-Gagal memindahkan orang kuat yang menolak perubahan
Merencanakan dan menetapkan keberhasilan-keberhasilan jangka pendek
-Definisikan perbaikan performa yang jelas
-Akui dan beri penghargaan bagi karyawan yang berkontribusi terhadap perbaikan tersebut
-Gagak mencetak keberhasilan sesegera mungkin (dalam kurun waktu 12-24 bulan pada proses transformasi)
Mengkonsolidasikan perbaikan-perbaikan yang sudah tercipta dan menghasilkan lebih banyak perubahan
-Gunakan kredibilitas yang sudah didapat dari kemenangan sebelumnya untuk mengubah sistem, struktur, dan kebijakan yang menghalangi visi baru
-Rekrut, promosikan, dan kembangkan karyawan yang mengimplementasikan visi baru
-Hidupkan kembali proses perubahan dengan proyek baru dan agen perubahan yang baru
-Merayakan kemenangan terlalu awal—dengan perbaikan performa tahap awal
-Membiarkan para resisten meyakinkan karyawan bahwa kita sudah menang perang
Melembagakan pendekatan baru ini
-Pertegas hubungan antara perilaku baru dengan kesuksesan perusahaan
-Ciptakan pengembangan kepemimpinan dan rencana suksesi yang konsisten dengan pendekatan baru
-Tidak menciptakan norma sosial dan nilai-nilai baru di dalam perusahaan yang konsisten dengan semangat perubahan
-Mempromosikan orang-orang ke posisi pemimpin yang tidak mempersonifikasi pendekatan baru
Perusahaan yang sukses bertransformasi melewati tahapan yang panjang dan berurutan. Melongkapi tahapan ini tidak pernah menghasilkan hasil yang memuaskan.
Kesalahan dalam setiap tahapan akan menimbulkan efek yang menghancurkan, memperlambat momentum dan menganulir keberhasilan proses yang sudah susah payah diperoleh.
Mungkin karena banyak orang memiliki pengalaman yang sedikit tentang transformasi perusahaan, maka bahkan setiap orang yang paling kapabel pun setidaknya melakukan satu kesalahan besr.
Kesalahan 1 : Tidak Membangun Sense of Urgency
Sense of Urgency
Upaya perubahan yang sukses dimulai dari beberapa individu atau kelompok yang mulai melihat dengan seksama kondisi pasar, situasi kompetisi, tren teknologi yang muncul, dan performa finansial perusahaan. Mereka fokus ke potensi turunnya pendapatan perusahaan, potensi turunnya margin perusahaan selama lima tahunan, atau munculnya pasar-pasar baru yang masih diabaikan oleh banyak orang. Setelah mendapatkan kesimpulan akan semua ini, individu atau kelompok ini akan mencari cara agar mereka dapat mengkomunikasikan temuan mereka secara luas dan dramatis, yang diutamakan kepada potensi krisis maupun peluang yang dihadapi perusahaan. Hal ini adalah langkah awal yang paling penting, karena dimulainya program transformasi memerlukan kerja-sama agresif dari banyak individu.
Terdengar mudah, tetapi faktanya 50% perusahaan yang bertransformasi gagal di tahap awal ini. Alasannya ? Banyak pemimpin perusahaan yang menganggap remeh. Mereka berpikir mudah saja mengeluarkan orang-orangnya dari zona nyaman. Mereka kurang sabar. Di sisi lain, ada juga pemimpin yang ketakutan akan efek dari transformasi ini kepada karyawan-karyawan mereka. Mereka khawatir karyawan senior akan menjadi defensif, motivasi kerja menurun, program transformasi menjadi di luar kendali, hasil bisnis jangka-pendek gagal, harga saham jatuh, dan mereka akan menjadi kambing hitam atas krisis yang terjadi ini.
Ketakutan ini disebabkan oleh terlalu banyaknya manajer dan masih sedikitnya pemimpin sejati. Mandat manajemen umumnya adalah meminimalisir resiko dan menjaga agar sistem yang sudah ada terus berjalan. Di satu sisi, perubahan selalu menuntut sistem yang baru, karenanya memerlukan figur pemimpin sejati yang bukan sekadar manajerial.
Fase pertama ini tidak akan berkembang ke fase selanjutnya sampai terdapat cukup banyak pemimpin yang ada di posisi strategis perusahaan.
Jika target transformasi adalah keseluruhan perusahaan, maka key-person-nya adalah CEO.
Performa bisnis yang buruk itu bagaimana dua mata pedang. Sisi baiknya dari performa bisnis yang buruk adalah orang-orang akan lebih cepat sadar bahwa mereka kini tengah diambang kehancuran, tetapi ruang untuk bermanuver lebih kecil karena kurangnya sumber daya. Hal yang sebaliknya juga sama. Ketika performa bisnis sedang bagus-bagusnya, meyakinkan orang untuk berubah akan jauh lebih sulit, kendati sumber daya yang dimiliki lagi banyak sekali untuk bisa berubah.
Proses transformasi yang sukses diawali dari diskusi yang sejujur-jujurnya (biasanya tidak menyenangkan) tentang kompetisi baru, margin yang menyusut, pangsa pasar yang menurun, pendapatan yang datar, atau faktor apapun yang mengindikasikan menurunnya daya saing perusahaan. Banyak pemimpin perusahaan yang meminta pihak eksternal untuk mengkomunikasikan kabar buruk ini, terutama ketika top leader-nya bukanlah change champion. Maka dari itu, pihak eksternal seperti analis, konsultan, dan bahkan pelanggan dapat membantu perusahaan dalam hal ini. Inti dari aktivitas ini adalah untuk “membuat status quo itu lebih berbahaya daripada berlayar ke lautan ketidak-pastian”.
Di beberapa kisah sukses, ada perusahaan yang secara sengaja merekayasa krisis untuk memancing urgensi untuk transformasi ini. Ada seorang CEO yang secara sengaja merekayasa laporan akuntansi perusahaan untuk menunjukkan kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan mereka sampai menimbulkan tekanan hebat dari Wall Street dalam prosesnya.
Ada lagi satu perusahaan yang sengaja mengadakan survey kepuasan pelanggan padahal mereka sudah tau bahwa hasilnya akan buruk, plus, mereka mempublikasikan hasil survey itu ke publik !
Secara sekilas, manuver-manuver di atas terlihat sangat bodoh dan beresiko, tetapi terdapat juga resiko ketika perusahaan bermain terlalu aman : Ketika tingkat urgensi transformasi tidak tinggi, maka proses transformasi tidak akan sukses.
Kapan tingkat urgensi transformasi bisa dikatakan tinggi ? Kotter menyebutkan tinggi, ketika sekitar 75% anggota manajemen perusahaan yakin bahwa business as usual mereka sudah tidak bisa lagi digunakan. Di bawah 75%, maka hanya akan menghasilkan masalah serius di tahapan selanjutnya.
Kesalahan 2 : Tidak Membangun Tim yang Kuat
Transformasi biasanya dimulai dari satu atau dua orang. Transformasi yang sukses tim kepemimpinan yang menjadi ruh transformasi ini semakin terus bertambah dan berkembang. Jika jumlah minimum orang tidak tercapai pada tahapan awal, tidak akan ada hal berarti yang terjadi.
Transformasi yang sukses tidak hanya berpusat pada top manajemen. Transformasi yang berhasil melibatkan CEO, General Managers, ditambah 15 sampai 50 orang lainnya yang duduk bersama mengembangkan komitmen bersama untuk performa perusahaan yang lebih baik melalui transformasi. Berdasarkan pengalaman Kotter, tim ini tidak akan terdiri dari semua senior eksekutif di perusahaan karena biasanya mereka tidak akan begitu mendukung pada awalnya.
Yang jelas, transformasi yang sukses terdiri dari tim yang sangat kuat—dalam hal jabatan, akses informasi, keahlian, kompetensi, reputasi, dan dalam keahlian berhubungan dengan orang lain.
Dalam organisasi yang skalanya kecil maupun besar, tim kuat dan sukses biasanya hanya terdiri dari tiga sampai lima orang di tahun pertama. Di perusahaan yang besar, anggota tim ini harus bertumbuh hingga 20-50 orang sebelum maju ke tahapan selanjutnya. Manajer senior selalu menjadi inti dari tim, tetapi terkadang tim juga bisa terdiri dari anggota Direksi, perwakilan pelanggan, bahkan pimpinan buruh yang berpengaruh.
Karena tim ini bisa terdiri dari anggota yang tidak masuk dalam anggota manajemen senior, maka mereka cenderung bekerja di luar hierarki organisasi yang ada (seperti PMO). Meski akan kagok, tapi ini perlu. Hal ini dilakukan apabila sistem saat ini tidak bekerja, karena yang namanya reformasi memerlukan aktivitas diluar batasan-batasan formal yang ada.
Ada seseorang yang harus mengumpulkan orang-orang untuk tim ini, menolong mereka mengembangkan penilaian bersama terkait permasalahan perusahaan, peluang, serta meciptakan kesaling-percayaan dan komunikasi yang baik. Aktivitas retreat selama 2 atau tiga hari merupakan metode yang cukup populer digunakan.
Perusahaan yang gagal di fase kedua ini biasanya mengabaikan pentingnya keberadaan tim kuat ini. Hal ini disebabkan biasanya karena mereka tidak punya pengalaman team work di level atas. Atau terkadang top leader mengharapkan bagian SDM, kualitas, atau strategic planning alih-alih manajer kunci yang berpengaruh langsung pada transformasi perusahaan.
Kesalahan 3 : Visi yang Kurang Jelas
Tanpa visi yang jelas, upaya transformasi bisa membawa perusahaan ke arah yang salah atau bahkan sama sekali tidak kemana-mana.
Program transformasi yang gagal identik dengan banyak sekali rencana-rencana, direktif, program-program aktivitas tanpa visi. Ada satu perusahaan yang menerbitkan buku setebal empat inci berisi prosedur, tujuan, metode, dan deadline tanpa ada satu pun statement yang menggugah siapapun yang membacanya. Pada kasus lain ada juga perusahaan yang sudah memiliki arah yang cukup baik tetapi masih terlalu rumit atau kabur untuk bisa menjadi sesuatu yang berguna.
Ini aturan untuk mengukur visi itu baik atau tidak :
“Jika Anda tidak bisa mengkomunikasikan visi kepada orang lain dalam waktu lima menit atau kurang dan mendapatkan pemahaman dan ketertarikan, berarti Anda belum selesai dengan fase ini,”
Kesalahan 4 : Kurang Mengkomunikasikan Visi
Terdapat tiga pola komunikasi yang biasanya dilakukan secara umum oleh perusahaan. Setelah memiliki visi transformasi yang baik, mereka lantas mengkomunikasikannya dengan mengadakan sekali meeting masal atau dengan mengirimkan satu pesan kepada seluruh karyawan. Kenyataannya, hanya sedikit orang yang benar-benar paham akan upaya transformasi ini. Pola kedua yang dilakukan adalah ketika pimpinan perusahaan menghabiskan banyak waktu untuk menemui kelompok-kelompok karyawan dan mengkomunikasikan visi baru ini. Nyatanya, tetap saja masih banyak orang yang benar-benar paham. Pola ketiga dilakukan seperti pola kedua tetapi dengan menambahkan internal newsletter secara rutin yang disebar ke seluruh karyawan. Meski komunikasi tentang visi baru ini digaungkan terus secara rutin, namun pada akhirnya akan selalu ada pimpinan-pimpinan perusahaan yang berlaku bertindak bertentangan dengan visi baru sehingga hasil akhirnya adalah sinisme di kalangan karyawan dan pengabaian dari komunikasi rutin itu.
Kuncinya adalah komunikasi yang kredibel, dalam rangka mendorong karyawan untuk mendukung visi baru bahkan rela berkorban untuk keberhasilan transformasi perusahaan.
Fase ke-4 ini akan berat terutama jika downsizing menjadi bagian dari eksekusi visi baru. Untuk itu, menurut Kotter, visi seperti ini akan sukses dilaksanakan apabila komunikasi yang dilakukan melibatkan peluang growth baru dan peluang karir baru di perusahaan, termasuk komitmen manajemen untuk berlaku adil bagi mereka yang terkena pemecatan.
Komunikasi yang baik dalam situasi transformasi adalah ketika para pimpinan perusahaan senantiasa mengkomunikasikannya dalam keseharian mereka bekerja kepada siapapun kapan pun. Misalnya, ketika membahas strategi bisnis, mereka selalu menjadi yang pertama mengingatkan apakah solusi-solusi yang sedang dibahas sesuai dengan visi baru yang sudah ditetapkan. Ketika pimpinan perusahaan bicara tentang performance appraisal, mereka bicara mengenai apakah perilaku-perilaku karyawan dalam bekerja sudah mendukung visi baru atau sebaliknya. Ketika sedang mengevaluasi performa triwulanan setiap fungsi, mereka juga membahas tentang apa saja kontribusi yang sudah diberikan oleh setiap divisi terhadap kesuksesan transformasi perusahaan. Intinya, mereka selalu mengkomunikasikan dan menghubungkan setiap aspek dari perusahaan kepada keberadaan visi baru perusahaan.
Mengkomunikasikan visi ini yang penting prinsipnya adalah : “Gunakan SEMUA saluran dan metode komunikasi yang mungkin terutama saluran komunikasi yang biasanya sering diabaikan oleh karyawan. Rubah isi dan lay-out pesan menjadi semenarik dan semenggugah mungkin.”
Yang terpenting dari seluruh bentuk komunikasi yang dilakukan perusahaan dalam mengkomunikasikan visi baru dan transformasinya adalah : INTEGRITAS. Istilah lainnya adalah “walk the talk”. Kesesuaian antara yang dibicarakan dengan yang dilakukan. Ini adalah bentuk komunikasi yang tanpa sadar senantiasa diproyeksikan keluar dan setiap orang akan selalu menilai kesesuaian kata dan tindakan pemimpin ini tanpa mereka sadar. Sekali saja pimpinan perusahaan mengindikasikan adanya perbedaan dengan apa yang mereka bicarakan dengan apa yang mereka lakukan, maka hal itu akan mengancam keberhasilan proses transformasi.
Kesalahan 5 : Tidak Menghilangkan Halangan Menuju Transformasi
Berkomunikasi terkait proses transformasi berserta visi baru perusahaan tidak pernah cukup. Tim transformasi haruslah mampu mengidentifikasi penghalang-penghalang transformasi sekaligus mengatasinya. Dengan kampanye komunikasi yang baik, karyawan bisa saja sudah sepenuhnya memahami terkait upaya transformasi perusahaan dan kemana mereka akan pergi serta siap untuk mendukung upaya ini, tetapi tantangan selanjutnya adalah menanggulangi keraguan yang ada di kepala setiap karyawan di mana tim transformasi harus mampu meyakinkan mereka bahwa itu semua tidak relevan. Di beberapa kasus, halangan ini nyata.
Halangan-halangan transformasi ini bisa berupa struktur organisasi existing. Jenis pekerjaan yang begitu sempit, membatasi, dan penuh dengan tuntutan bisa menghalangi karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya atau membuatnya kesulitan untuk memikirkan hal lain di luar pekerjaannya. Terkadang halangan juga bisa berupa sistem kompensasi dan performance appraisal yang membuat karyawan cenderung memikirkan keuntungan dirinya sendiri daripada berkorban untuk visi transformasi yang baru. Dan mungkin yang paling buruk adalah para bos-bos pimpinan divisi atau manajer yang pada dasarnya tidak mendukung perubahan ini, sehingga mereka sering membuat tuntutan-tuntutan pada bawahannya yang tidak konsisten dengan upaya transformasi.
Terdapat satu kasus yang cukup menarik. Ada satu perusahaan yang memulai proses transformasinya dengan benar di ke-empat tahap sebelumnya, namun terhambat di tahap ke-5. Hal ini disebabkan karena perusahaan membiarkan personil-personil kunci perusahaan (Direksi, GM, dll) menghambat transformasi itu sendiri. Personil kunci ini mendukung transformasi hanya di bibir saja, tetapi perilaku dan tindakannya tidak berubah, dan dia juga tidak terus mendorong bawahan-bawahannya untuk berubah. Dia tidak memberi reward kepada setiap ide out of the box yang muncul yang mendukung transformasi. Dia membiarkan sistem SDM untuk terus berjalan meskipun faktanya sistem SDM saat ini bertentangan dengan upaya transformasi. Menurut Kotter, motif dari personil kunci yang seperti ini begitu kompleks. Mungkin saja jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tidak benar-benar yakin bahwa perusahaan harus berubah. Mungkin juga dia merasa terancam dengan semua perubahan ini. Atau mungkin saja dia takut dia tidak bisa menghasilkan perubahan dan hasil transformasi yang diharapkan. Apapun alasannya jelas personil kunci ini menjadi penghambat transformasi. Namun jarang ada perusahaan yang pernah mengalami hal ini sebelumnya. Sang CEO khawatir akan kehilangan talenta terbaiknya. Alhasil, manajer di level yang lebih rendah menganggap para pimpinan perusahaan tebang pilih dan tidak sesuai dengan komitmen mereka untuk pembaruan, hingga pada akhirnya usaha transformasi pun menjadi gagal.
Di paruh pertama proses transformasi, jarang ada perusahaan yang langsung memiliki momentum, kekuatan, waktu untuk menyingkirkan semua penghalang transformasi. Tetapi perusahaan harus mau dan mampu mengatasi penghalang yang paling besar. Jika penghalang ini berbentuk orang, maka perusahaan harus mampu memperlakukan orang ini dengan adil dan sejalan dengan semangat visi transformasi perusahaan yang baru. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memberdayakan orang lain dan juga untuk memelihara kredibilitas dari keseluruhan proses transformasi.
Kesalahan 6 : Tidak Merencanakan Target-Target Kemenangan Jangka Pendek (Short-Wins) Secara Sistematis
Transformasi sejati membutuhkan waktu yang panjang. Dan upaya ini selalu beresiko kehilangan momentum jika tidak ada target kemenangan jangka pendek (short wins) untuk dirayakan.
Tanpa adanya short wins, banyak orang yang akan cepat menyerah karena merasa bahwa proses ini terlalu panjang dan rumit. Short wins itu perlu untuk mengingatkan bahwa kita telah mencapai progress-progress penting dari keseluruhan proses transformasi yang panjang.
Transformasi yang sukses selalu mengedepankan performance improvement yang jelas dan terukur, menetapkan tujuan dan target dalam perencanaan tahunan, serta memberikan reward berupa penghargaan—bahkan uang, untuk siapa saja yang mampu mencapai target-target tersebut.
Short win ini penting untuk ditetapkan dengan sistematis, terukur dan jelas, karena ketika semua orang sadar bahwa proses transformasi itu panjang, maka tingkat urgensi transformasi bisa menurun drastis tanpa adanya short win. Komitmen untuk menghasilkan short win bisa membuat tingkat urgensi tetap tinggi dan mendorong timbulnya analitical thinking yang lebih detail yang bisa semakin memperjelas visi.
Kesalahan 7 : Mendeklarasikan Kemenangan Terlalu Cepat
Upaya transformasi akan terdiri dari banyak sekali proyek-proyek yang harus dijalankan perusahaan. Keberhasilan menjalan proyek tidak sama dengan keberhasilan mentransformasi perusahaan secara umum. Jangan terjebak menganggap bahwa kemenangan di satu pertempuran sama dengan kemenangan di peperangan. Transformasi bisa berlangsung 5 sampai 10 tahun, karena transformasi yang menyeluruh juga melibatkan perubahan di budaya kerja dan nilai-nilai perusahaan yang dijalankan sehari-hari. Upaya perubahan ini sangat rentan dengan kembali ke kebiasaan lama.
Ironisnya, kecenderungan untuk merayakan kemenangan terlalu cepat ini terjadi sebagai hasil kombinasi dari para inisiator perubahan dan para penolak perubahan yang pada akhirnya menciptakan perayaan kemenangan prematur. Para inisiator terlena dengan keberhasilan-keberhasilan dalam proses transformasi sehingga momentum ini diambil oleh para penolak perubahan untuk mendeklarasikan bahwa transformasi sudah selesai dan semua karyawan bisa kembali bekerja di tempatnya masing-masing. Ketika karyawan kembali ke kebiasaan lamanya, untuk kembali meminta mereka bertransformasi akan menjadi sangat sulit, apalagi jika ditambah budaya lama yang pelan-pelan kembali mengambil alih.
Solusinya, daripada mendeklarasikan kemenangan terlalu cepat, para pimpinan perusahaan bisa mengambil momentum short win untuk mengatasi halangan-halangan transformasi yang lain yang mengancam kelangsungan proses transformasi. Mereka kini mengatasi problem-problem di sistem dan struktur lain yang tidak konsisten dengan upaya transformasi mereka yang sebelumnya belum ditangani. Mereka sungguh-sungguh memperhatikan siapa saja yang dipromosikan, siapa yang direkrut, dan bagaimana orang-orang mereka dikembangkan. Mereka mengadakan proyek transformasi yang lebih besar daripada proyek sebelumnya.
Kesalahan 8 : Tidak Melekatkan Perubahan Ke Budaya Perusahaan
Akhirnya, perubahan atau transformasi itu berhasil jika mampu mengubah budaya perusahaan atau “the way we do things around here”. Upaya perubahan akan selalu rentan terhadap kegagalan ketika tekanan untuk berubah sudah hilang. Karena itu, transformasi belum bisa dikatakan berhasil sampai betul-betul mendarah-daging menjadi kebiasaan sehari-hari karyawan menjadi norma sosial yang tidak tertulis dan menjadi nilai bersama.
Terdapat dua faktor yang penting untuk melembagakan perubahaan ke dalam budaya perusahaan. Yang pertama, adalah dengan menunjukkan kepada semua orang bahwa pendekatan baru, strategi baru, upaya baru, dan perilaku baru ini ternyata efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Jangan biarkan orang menerka-nerka sendiri hubungan antara transformasi dengan peningkatan kinerja perusahaan. Komunikasikan terus hubungan ini dengan rutin dan konsisten. Caranya bisa dengan terus mendengungkan di setiap rapat bahwa perubahan yang sudah dilakukan berefefek positif terhadap kinerja perusahaan. Atau dengan menulis artikel rutin untuk diakses semua karyawan bahwa transformasi yang selama ini dilakukan berhasil meningkatkan laba perusahaan.
Yang kedua adalah dengan telaten memastikan bahwa generasi kepemimpinan selanjutnya sudah benar-benar menjadi personifikasi akan transformasi. Syarat promosi di setiap level haruslah melibatkan kompetensi dan sikap yang mendukung transformasi. Satu saja suksesi buruk terjadi di level top manajemen maka akan membuat keseluruhan transformasi menjadi gagal total. Suskesi buruk bisa terjadi ketika jajaran direksi tidak menjadi satu kesatuan akan upaya transformasi ini. Dalam hal ini mungkin penentu jajaran direksi selanjutnya harus paham akan upaya transformasi ini.