Developing Better Change Leaders by Aaron De Smet, Johanne Lavoie, & Elizabeth Schwartz Hioe (2012)

Berikut adalah terjemahan bebas saya untuk artikel lain dari McKinsey Quarterly pada tahun 2012. Enjoy 🙂


MENGEMBANGKAN PEMIMPIN PERUBAHAN YANG LEBIH BAIK

Setiap perubahan yang dicanangkan oleh perusahaan biasanya dimulai dari atas kemudian diturunkan ke dalam serangkaian program-program pendukung perubahan di setiap lini fungsi organisasi.

Yang sering terjadi biasanya, pimpinan perusahaan mengabaikan kemampuan dan kompetensi para manajer di bawah mereka untuk menyebarkan dan menjalankan program perubahan dari atas untuk mensukseskan upaya perubahan tersebut. Kemampuan dan kompetensi yang mesti dimiliki oleh para manajer di setiap level dan fungsi adalah kemampuan untuk membuat bawahan-bawahan mereka tetap semangat, terinspirasi akan perubahan yang lebih baik, serta untuk terus berkolaborasi melampaui batasan-batasan struktural yang ada di perusahaan.. Atau kemampuan untuk membuat manajer mau menerima program transformasi melalui dialog bukan perintah.

Ada satu perusahaan yang menempatkan program pengembangan kepemimpinan sebagai strategi utama ketika perusahaan ini hendak menerapkan sistem produksi baru ke 200 pabriknya di seluruh dunia. Ketika itu, latar belakang kenapa sistem produksi baru ini diperlukan adalah karena pabrik-pabrik mereka tidak konsisten dan lebih sering memiliki daya saing yang rendah dibandingkan kompetitornya. Suasana kerja di pabrik mereka pun terbilang kurang nyaman, konflik-konflik yang ada kalau tidak dihindari sama sekali dihadapkan dengan cara pasif-agresif. Karyawan di level terbawah pabrik merasa kalau mereka ini seperti roda penggerak (cogs) dan supervisor-supervisor mereka itu bertindak seperti polisi. Hasilnya, karyawan pabrik sama sekali tidak terlekat pada pekerjaan mereka. Mereka juga tidak percaya pada kepemimpinan di atas mereka. Mereka dibayang-bayangi oleh rasa takut membuat kesalahan karena pada dasarnya budaya pabrik mereka adalah keamanan kerja dan menghindari resiko.

Pimpinan perusahaan harus melihat persoalan ini lebih dari sekadar persoalan teknis. Mereka harus mengembangkan kapasitas dan kompetensi pemimpin pabrik supaya persoalan teknis ini bisa berjalan mulus. Dalam rangka menjalankan misi ini, perusahaan menyelenggarakan program pengembangan kepemimpinan yang rutin dan sangat terspesialisasi.

Setelah tiga tahun berjalan, perusahaan memperkirakan bahwa sistem produksi baru telah berhasil meningkatkan operating income mereka sekitar $1.5 miliar per tahun.

Pimpinan perusahaan yakin bahwa perilaku dan tindakan pemimpin sangat krusial untuk kesuksesan upaya perubahan mereka. Mereka juga percaya tanpa adanya program pengembangan kepemimpinan ini, hasil yang diharapkan dari perubahan paling hanya 50%. Lebih jauh lagi, pemimpin perusahaan ini menghitung bahwa mereka mendapatkan return sampai sepuluh kali lipat untuk setiap lusin pemimpin yang mereka latih.

Artikel ini akan membahas mengenai 3 pimpinan perusahaan yang dengan gayanya masing-masing mampu memperbaiki performa perusahaan mereka. Di akhir artikel, akan dibahas beberapa prinsip-prinsip pengembangan kepemimpinan.

Kasus 1 : Membuat Proses Pengadaan Lebih Efisien

Tersebutlah seorang Direktur Pengadaan dan Logistik yang bernama Annie. Dia ditugaskan untuk memperbaiki performa bagian pengadaan dari kuartil tengah menjadi kuartil top tanpa harus ada sumber daya yang digunakan. Annie dan tim-nya menyimpulkan bahwa cara mencapai tujuan ini adalah dengan menciptakan satu sistem pengadaan global ketimbang menggunakan sistem pengadaan di masing-masing daerah atau divisi. Pendekatan ini mereka yakini akan meningkatkan efisiensi, mampu memperbesar akses kepada sumber daya yang lebih murah dan memotong biaya interaksi dengan vendor-vendor di daerah atau divisi.

Cara ini mengharuskan mereka melibatkan semua pemangku kepentingan perusahaan di seluruh negara yang lebih banyak memilih untuk melakukan pengadaan sendiri-sendiri. Beberapa di antara stakeholder ini juga bahkan ada yang tidak saling mempercayai satu sama lain. Salah satu anggota tim Annie menyadari problem besar ini dan berpikir bahwa hal ini juga akan menyulitkan Annie menjalankan misinya. Menurut anggota tim Annie : “Annie itu suka bergerak terlalu cepat dan akhirnya banyak dari timnya yang ketinggalan kereta.” Di sini Annie, harus mengembangkan kemampuan dirinya (dengan cepat) untuk melibatkan rekan-rekan kerjanya ke dalam sebuah perjalanan di mana mundur sudah bukan lagi pilihan.

Annie sadar bahwa dirinya harus melibatkan stakeholder ini tidak hanya secara intelektuil, tetapi juga secara emosional, supaya mereka semua paham bahwa pendekatan sistem baru ini lebih baik untuk perusahaan, meskipun banyak yang berpikir sistem ini akan mengancam otoritas mereka. Annie juga menyadari bahwa dia punya kecenderung kuat untuk mengerjakan semua pekerjaan sendirian untuk memastikan bahwa hal itu bisa dikerjakan dengan cepat dan benar.

Belajar mengatasi kecenderungan ini akan menolong Annie untuk menjelaskan visinya secara lebih terang dan lebih menginspirasi siapapun yang mendengarkannya. Dalam program pengembangan kepemimpinannya, Annie belajar beberapa skill seperti bagaimana caranya menjaga diskusi agar selalu berfokus pada solusi dan bagaimana caranya mengatasi penolakkan melalui kekuatan yang sudah ada.

Hasil dari pengembangan ini pun menjadi semakin baik terhadap adopsi sistem pengadaan baru. Lebih dari 1000 karyawan mau menggunakan sistem baru ini dan efisiensi operasi mulai memberikan kontribusi positifnya. Sistem baru ini juga mendorong interaksi antar-pribadi yang membantu karyawan meretas budaya sulit berkolaborasi yang sudah berlangsung sejak lama.

Sistem pengadaan baru ini juga telah berhasil menghilangkan 50 posisi yang tidak lagi relevan (pekerja yang sebelumnya ada di posisi ini dibantu untuk mendapatkan pekerjaan di bagian lain di perusahaan). Belum lagi, pengalaman ini semakin memperkuat pengalaman Annie sebagai pemimpin.

Kasus 2 : Meningkatkan Produktivitas di Pabrik

Conor merupakan salah seorang manajer pabrik yang diharuskan meningkatkan kapasitas produksi pabriknya menggunakan sistem produksi perusahaan yang baru. Biasanya, untuk inisiatif seperti ini, perusahaan akan menurunkan sekelompok insinyur yang ahli di bidang Six Sigma untuk mengobservasi lini produksi terbawah, mengumpulkan data, dan mempresentasikan solusi-solusi perbaikan kepada perusahaan. Setelah itu, Conor akan menyampaikan kepada bawahan-bawahannya untuk mengaplikasikan sistem baru ini sementara dia akan terus mengawasi hasilnya.

Saat ini, Conor sadar bahwa cara lama tidak akan efektif : Hanya karyawan-karyawan yang benar-benar berada di level operasional yang paling tahu cara mengidentifikasi perbaikan dan efisiensi seperti apa yang diperlukan untuk mencapai target produksi yang diharapkan. Hal ini tidak akan bisa dicapai dengan sukses apabila tidak ada kolaborasi antara Conor dengan manajer-manajer di bawahnya.

Pekerja di level paling bawah ternyata bersikap skeptis. Survey yang dilakukan ketika itu menyimpulkan bahwa para pekerja pabrik melihat Conor dan timnya sebagai seseorang yang berada jauh di atas sana dan tidak bisa dipercaya. Ditambah lagi, perusahaan tidak bisa menggunakan kenaikan gaji atau memberlakukan lembur karena sedang ditengah krisis ekonomi global.

Kala itu Conor diikutkan dalam program pelatihan kepemimpinan yang membuatnya berefleksi terhadap situasi saat ini termasuk menemukan solusi tepat menghadapi semuanya.

Setelah pelatihan, Conor mulai sering keluar dari kantornya untuk menemui langsung para pekerja pabrik dalam rangka berbicara tentang pekerjaan mereka sehari-hari, tentang alur kerja mereka, bagaimana mesin-mesin mereka bekerja, dan bagaimana mereka menangani persoalan-persoalan teknis yang muncul. Sebelum dialog ini, para pekerja menyimpan informasi ini sendiri. Dan Conor mempertegas kepeduliannya dengan mengundang para pekerja yang memiliki informasi dan pengetahuan ini ke dalam rapat-rapat Conor dengan para pimpinannya, untuk kemudian bersama-sama mencari solusi bersama untuk setiap permasalahan yang ada.

Conor menjelaskan : “Ketika saya berbagi apa yang saya ketahui dan saya rasakan, saya menyadari bahwa orang lain pun akan otomatis melakukan hal yang sama. Saya baru tahu bahwa selama ini pabrik saya sudah memiliki teknologi yang efisien dan baik untuk mencapai target produksi yang diharapkan. Transparansi antar pribadi dan keterbukaan memang yang menjadi pendobraknya.”

Ketika suasana bekerja pun otomatis semakin membaik, para pekerja pabrik kini tidak ragu-ragu lagi untuk menyampaikan masalah-masalah yang mereka hadapi lengkap dengan usulan spesifik untuk solusi perbaikannya. Hal ini membuat pabrik Conor mampu meningkatkan kapasitas produksinya dari 87% menjadi 93% di hari ini.

Kasus 3 : Menutup Sebuah Pabrik

Pierre adalah seorang manajer pabrik di Perancis yang tengah menghadapi masa-masa paling sulit ketika krisis global lalu. Pabriknya sudah dapat dipastikan harus tutup karena banyak dari pelanggan pabrik itu yang bankrut. Namun demikian, perusahaan ini memerlukan pengetahuan dari para pekerjanya untuk mentransfer pengetahuan mereka ke operasi pabrik baru di negara lain. Di samping itu, mereka masih memiliki order produksi senilai 20 juta Euro yang masih layak dikerjakan sebelum pabriknya tutup.

Di sisi lain, ketegangan juga menyelimuti dunia buruh Perancis. Perusahaan lain yang menutup pabriknya membuat para buruh pabrik mengadakan demonstrasi besar-besaran yang tak jarang berujung kepada tindak kekerasan. Hal ini juga yang membuat banyak perusahaan yang sudah tahu bahwa mereka harus tutup tapi lebih memilih untuk menutup-nutupinya dari para buruh mereka, dan benar-benar menutup pabrik mereka di menit-menit terakhir.

Pierre pun diikutikan dalam program pengembangan kepemimpinan di mana dirinya fokus untuk topik-topik bagaimana caranya menyampaikan kabar tidak enak ini kepada buruh-buruh pabriknya, dengan resiko kerusuhan dan kekerasan yang sudah terbukti terjadi di pabrik lain.

Di akhir pelatihan, Pierre memutuskan untuk menggunakan pendekatan keterbukaan dan kejujuran. Pierre mengumumkan kepada seluruh buruh pabriknya bahwa pabrik mereka akan tutup 9 bulan dari sekarang. Pierre juga mengumumkan dengan tulus dan apa adanya tentang kekhawatiran dan ketakutan dia. Keterbukaan dan otentisitas Pierre rupanya berhasil menyentuh pikiran dan perasaan para buruh pabrik. Pierre mengaku bahwa dalam proses penutupan pabriknya, dia menghabiskan 60% dari waktunya sehari-hari untuk menangani urusan-urusan pribadi dengan buruhnya. Urusan-urusan pribadi seperti membantu para buruh pabriknya mendapatkan pekerjaan baru sambil melakukan pendukungan dan mentoring secara personal kepada tiap-tiap buruhnya.

Komitmen akan kejujuran ini berhasil. 9 bulan kemudian, pabrik Pierre berhasil memenuhi order terakhirnya. Pabrik Pierre menjadi satu-satunya pabrik yang bisa tutup tanpa ada demonstrasi dan kekerasan.

Pelajaran yang bisa Diambil

  1. Ikatkan Erat-Erat Training dengan Sasaran Bisnis. Pelatihan kepemimpinan menjadi tidak jelas jika tidak dihubungkan dan diaplikasikan kepada masalah-masalah yang relevan dihadapi oleh orang-orang di tempat kerja. Contoh dari kasus Pierre, di mana perusahaannya berfokus untuk mengajari dan melatih Pierre bagaimana caranya untuk menjadi berani jujur kepada seluruh buruh pabriknya ketika menghadapi penutupan pabrik yang tidak bisa dihindarkan.
  1. Fokuskan Pelatihan untuk Membangun Kekuatan. Perusahaan harus memilih untuk melatih para pemimpin atau manajer perusahaan yang memang memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan transformasi. Pelatihan itu sendiri bisa berisi tentang pengembangan diri. Seperti bagaimana caranya mengubah mind-set orang lain, mengubah diskusi yang panas dan sulit menjadi kesempatan belajar, serta memperkuat skill membina hubungan antar-pribadi dan optimisme manajerial untuk meningkatkan komitmen akan perubahan.
  1. Pastikan Bahwa Orang-Orang Yang Dilatih ini Didukung Sepenuhnya oleh Top Management. Para peserta pelatihan ini harus diberikan akses penuh kepada pimpinan yang meminta mereka mengikuti pelatihan. Pimpinan mereka ini juga haruslah yang mampu memberikan mereka kenyataan pahit karena hal ini bisa menginspirasi para peserta untuk mengubah cara mereka memimpin timnya.
  1. Ciptakan Jaringan yang Menghubungkan para Pemimpin Perubahan Ini. Upaya transformasi menjadi goyah ketika sukses yang diraih hanya berada di dalam sekat-sekat organisasi tertentu. Untuk mengatasi hal ini, pimpinan perusahaan mengadakan program pengembangan kepemimpinan secara global dan massal untuk menciptakan pemimpin-pemimpin baru yang memiliki bahasa yang sama dan mampu berkolaborasi melampaui batas-batas geografis dan organisasionalnya.

Di kasus Annie, ketika Annie kesulitan mengaplikasikan sistem barunya di Asia, manajer pabrik Brasil yang Annie kenal ketika sama-sama mengikuti pelatihan tidak ragu sedikit pun untuk terbang ke Asia dan menolong pimpinan pabrik Asia mengatasi persoalan-persoalannya. Ditambah lagi, perusahaan mengizinkan kolaborasi seperti ini (meskipun si pimpinan pabrik Brasil ini tidak ada kepentingan apa-apa di Asia), yang mana hal ini semakin memperkuat pesan ke seluruh organisasi bahwa memang perubahan seperti ini betul-betul harus terjadi.

Strategi lain yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk grup kecil berisi pemimpin-pemimpin perusahaan dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan perspektif bisnis yang bermacam-macam untuk diikutkan dalam program pelatihan yang sama. Hal ini memungkinkan terciptanya ke-saling-percayaan antara anggota tim dan membuat mereka bisa menjadi coach bagi satu sama lain.

The Science of Organizational Transformation by McKinsey & Company (2015)

Berikut adalah terjemahan bebas saya yang lain dari Artikel McKinsey tentang “The Science of Organizational Transformation” (2015). Enjoy 🙂

Sains Dibalik Transformasi Organisasi

Mendesain proses transformasi itu tidak bisa dengan menduga-duga (guesswork). Hasil survey McKinsey Global memperlihatkan bahwa perusahaan akan sukses bertransformasi jika mereka mendesain proses transformasinya dalam rangka menimbulkan perpindahan mind-set dan perilaku.

Riset McKinsey sebelumnye mengatakan bahwa tahap implementasi dari sebuah proses transformasi adalah yang paling penting. Penemuan mereka terakhir mengatakan pentingnya perusahaan menginvestasikan waktu dan upaya mereka untuk melakukan proses desain implementasi transformasi. Riset McKinsey terkini juga mengemukakan bahwa program transformasi yang paling efektif harus melibatkan 4 elemen ini :

  1. Penetapan dan eksekusi role model
  2. Menumbuhkan pemahaman dan keyakinan akan perlunya transformasi secara terus-menerus
  3. Memperkuat proses transformasi melalui mekanisme yang lebih formal dan mengikat
  4. Pengembangan talent dan kompetensi

Hasil penelitian memperlihatkan jika suatu perusahaan menggunakan ke-empat elemen ini, maka peluang mereka untuk sukses bertransformasi akan semakin besar, dibandingkan jika digunakan sebagian saja.

Bagaimana mendesain proses transformasi juga merupakan hal yang penting juga.


Desain Transformasi yang Efektif Tidak Bisa Dibuat dengan Menduga-Duga

Transformasi yang sukses pada dasarnya adalah ketika perusahaan mampu mengubah mindset dan perilaku karyawannya untuk mendukung transformasi. Berdasarkan penelitian dan pengalaman dari McKinsey ke-4 elemen di atas adalah elemen yang paling mampu mensukseskan perubahan ini. Ke-4 elemen ini juga dikenal dengan istilah “Influence Model”.

Penelitian dari McKinsey memperlihatkan bahwa banyak perusahaan yang lebih banyak menerapkan elemen nomor 2 dan 3. Elemen nomor 1 (role-modelling) adalah yang paling sedikit diterapkan dibanyak perusahaan. Banyak respoden dari penelitian McKinsey ini yang mengaku kesulitan menerapkan ke-4 elemen ini.

Dilaporkan juga bahwa ke-4 elemen ini sama pentingnya. Setiap satu elemen yang digunakan berkontribusi terhadap kesuksesan transformasi secara keseluruhan. Hasil akhir transformasi biasanya didefinisikan ke dalam dua hal :

  1. Perbaikan performa perusahaan (dari sisi profitability misalnya)
  2. Kesiapan perusahaan untuk performa jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable)—Misalnya, perbaikan kompetensi SDM perusahaan atau perubahan positif terhadap budaya perusahaan

Mengubah Mind-Set dan Perilaku melalui Influence Model

  1. Elemen 1 : Role Modelling. Pemimpin perusahaan haruslah menjadi role model utama untuk menunjukkan pada setiap karyawan akan mindset dan perilaku yang diinginkan. Para pemimpin perusahaan harus men-set perilaku sehari-harinya sebagai contoh akan perubahan yang diinginkan. Para pemimpin perusahaan juga dapat meminta para karyawan yang berpengaruh untuk menjadi rolemodel-rolemodel bagi level yang lebih rendah.
  2. Menumbuhkan pemahaman dan keyakinan. Karyawan harus memahami alasan dibalik mengapa perusahaan harus berubah. Jika mereka paham, lebih besar kemungkinan mereka akan mendukung transformasi perusahaan. Alasan ini haruslah berarti dan relevan.
  3. Memperkuat proses transformasi melalui mekanisme yang formal. Mekanisme formal yang dimaksud berbentuk struktur, sistem, dan proses bisnis. Perusahaan dapat memperkuat proses transformasi melalui penetapan struktur dan sistem yang baru, seperti contohnya, menerapkan KPI baru, menerapkan sistem insentif yang mendorong karyawan untuk mengikuti proses transformasi.
  4. Mengembangkan talenta dan kompetensi. Transformasi mungkin membutuhkan karyawan untuk memiliki kompetensi yang baru. Perusahaan harus mampu menganalisa gap kompetensi yang ada dan mengisi gap ini untuk mendukung proses transformasi, karena karyawan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan akan lebih mendukung proses transformasi ini.

The more action that a Transformation employed


Komplementer, Inovatif, dan Berfokus pada Kekuatan (Strength)

Disamping memberlakukan ke-4 elemen di atas, transformasi akan semakin sukses jika masing-masing elemen tersebut melengkapi satu sama lain serta sejajar (align) dengan konteks organisasi yang lebih luas. Ketika ke-4 elemen di atas itu mampu menjadi satu kesatuan yang komprehensif, saling melengkapi, dan relevan dengan konteks organisasi saat ini, maka 76% kemungkinan transformasi akan sukses.

Program transformasi yang selama ini dijalankan juga tidak bisa dijalankan dengan cara yang sama. Perlu ada program dan cara baru. Penelitian McKinsey mengemukakan bahwa ketika perusahaan menggunakan program dan cara transformasi yang sama, maka hanya 31% yang sukses. Ketika perusahaan menggunakan program dan metode transformasi yang baru, maka kemungkinan suksesnya naik menjadi 64%.

Hasil riset McKinsey lain menunjukkan jika program transformasi perusahaan difokuskan pada perbaikan kelemahan, maka hasilnya akan kurang efektif jika ketika perusahaan memfokuskan dirinya memperkuat apa yang sudah jadi kekuatan mereka. Tetapi, jika perusahaan mampu fokus pada perbaikan kelemahan dan perkuatan kekuatan secara bersamaan maka transformasi akan lebih berhasil lagi.

Transformation focus on weakness


Proses Desain juga Penting

Program transformasi yang sudah didesain di atas kertas tidak selalu mengarah pada transformasi yang sukses. Proses desain program transformasi—terutama terkait bagaimana menentukan prioritas dan siapa saja yang terlibat dalam proses desain ini—juga sangat penting bagi kesuksesan transformasi.

Transformasi akan lebih sukses jika melibatkan orang dari berbagai fungsi di organisasi sejak dari proses desain. Menariknya, para responden riset mengatakan bahwa para pemimpin perusahaan gagal melibatkan orang-orang yang paling berpengaruh dalam proses transformasi (yaitu top-management dan transformation-leadership team). Hanya 35% yang mengatakan bahwa perusahaan mereka melibatkan orang-orang yang paling berpengaruh (orang-orang yang berpengaruh ini adalah mereka yang selalu dicari sesamanya untuk nasihat, saran, ataupun gagasan terkait apa yang terjadi di perusahaan). Ketika key-influencer ini dilibatkan dalam proses desain, maka 68% transformasi akan berhasil.

Alasan lain mengapa begitu penting melibatkan lebih beragam orang di proses transformasi ini karena biasanya para pemimpin perusahaan cenderung melaporkan kesuksesan yang lebih besar terkait usaha transformasi mereka ketimbang orang lain.

Leaders and Bullish to Transformation

How To Separate Learning Myths from Reality by Artin Atabaki, Stacey Dietsch, & Julia Sperling (2015)

Artikel ini diambil dari McKinsey Quarterly yang terbit pada bulan Juli 2015. Ini merupakan terjemahan bebas saya. Enjoy 🙂

Bagaimana Memisahkan Mitos Belajar dengan Kenyataan yang Sesungguhnya

Pengetahuan umum yang selama ini kita ketahui selama ini terkait perkembangan otak manusia dalam hubungannya dengan proses belajar ternyata banyak yang salah. Misalnya, kapasita belajar otak ketika masa kanak-kanak cenderung lebih baik dan lebih powerful ketimbang masa dewasa yang sudah cenderung stagnan. Atau misalnya lagi, setengah dari otak kita itu tidak aktif di waktu-waktu tertentu atau ketika sedang mengerjakan pekerjaan tertentu. Atau misalnya lagi, kita hanya bisa belajar efektif jika sesuai dengan gaya belajar kita masing-masing. Ternyata semua itu banyak yang salah ketika metode analisa kerja otak manusia di zaman modern ini semakin canggih dan maju. Artikel ini akan membahas mitos-mitos yang selama ini kita ketahui tentang otak dan belajar manusia yang ternyata salah kaprah, berkat kemajuan teknologi saat ini. Hal ini penting mengingat ada hubungan yang cukup erat antara miskonsepsi tentang cara kerja otak ini dengan program-program pelatihan di perusahaan.

Mitos 1 : Masa Perkembangan Otak Paling Efektif ada di Masa Kanak-Kanak

Kita udah sering denger kalo masa-masa paling penting dari pembelajaran manusia itu pas lagi anak-anak khan ya. Hal itu disebabkan karena otak betul-betul berkembang di masa-masa itu. Setelah periode keemasan otak ini berakhir, kita juga tahu bahwa perkembangan manusia jadi gak begitu se-wah ketika masa kanak-kanak. Rupanya, penelitian terbaru membantah asumsi itu.

Penelitian terbaru tentang saraf otak menyebutkan kalo terdapat fenomena yang namanya neuroplasticity (atau kekenyalan/keliattan saraf). Intinya penelitian ini menemukan kalau pengalaman-pengalaman yang dialami oleh manusia seumur hidupnya mampu mengubah struktur fisik otak beserta bagaimana otak itu mengorganisir fungsi-fungsinya. Luar biasa ya ?

Nah, tingkat kekenyalan otak ini menurut para peneliti akan semakin meningkat ketika berhubungan langsung dengan “kesadaran” (mindfulness) manusia. Mindfullness ini maksudnya adalah ketika kita secara betul betul sadar sedang melakukan sesuatu. Misalnya adalah istilah mindful eating, atau makan dengan betul-betul sadar sedang makan, rasanya kita rasakan, bau makanannya kita cium, teksturnya, semuanya kita sadari betul.. Alih-alih kita makan sambil ngobrol sehingga semua itu tidak kita sadari. Nah, otak akan semakin kenyal dan berkembang dengan baik ketika kita mempraktekkan teknik-teknik meditasi sederhana seperti konsentrasi pernafasan. Menurut hasil penelitian, berkonsentrasi kepada proses bernafas kita meningkatkan kapasitas otak kita untuk belajar, mengontrol emosi, dan juga membuat otak lebih merasakan kasih sayang. Peneliti dari Harvard menemukan ketika kita secara rutin mempraktekkan teknik bernafas meditatif ini selama 8 minggu, maka hal itu akan membuat struktur fisik otak berubah secara signifikan dan bisa dibaca oleh MRI.

Perusahaan-perusahaan besar cukup sering mempraktekkan hal ini untuk meningkatkan produktivitas karyawannya berbarengan dengan menurunkan kadar stres karyawannya. Perusahaan seperti General Mills di bidang pangan, bahkan perusahaan digital sebeken Facebook dan Google senantiasa memberikan kesempatan ruang dan waktu bagi setiap karyawannya untuk mempraktekkan teknik meditasi ini, yang mana mendapatkan sambutan hangat dari para karyawannya. Hal ini telah beberapa kali terbukti mampu meningkatkan performa kerja setiap karyawan yang melakukannya.

Contoh lebih detail datang dari perusahaan asuransi kesehatan yang bernama Aetna. Aetna mengadakan kelas yoga dan meditasi gratis untuk semua karyawannya. Dilaporkan kemudian, karyawan yang rutin mengikuti kelas ini berkurang kadar stress-nya hingga 28% dan produktivitas mereka meningkat menjadi 62 menit per minggu—yang apabila diterjemahkan ke dalam nominal, produktivitas ini berharga senilai $3000 per karyawan per tahun. CEO Aetna, Mark Bertolini tercengang dengan tingkat ketertarikan karyawannya mengikuti kelas gratis ini. Hingga hari ini lebih dari seperempat karyawan Aetna yang jumlahnya 50,000 itu secara rutin mengikuti minimal satu kelas yoga dan meditasi. Pemimpin seperti Bertolini ini sadar betul pentingnya menyediakan fasilitas bagi karyawan untuk membantu mereka lebih fokus dan mindful untuk meningkatkan lingkungan kerja yang lebih kondusif dalam rangka peningkatkan performa kerja.

Mitos 2 : Idle-Brain Theory

Maksud dari idle-brain theory adalah yang mengatakan bahwa ada satu atau beberapa bagian otak yang tidak bekerja ketika kita sedang beraktivitas. Riset yang dilakukan di UK dan di Belanda mengungkapkan hampir 50% guru percaya bahwa teori ini memang sudah terbukti benar secara sains. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa apapun yang sedang dilakukan oleh seseorang, seluruh bagian dan fungsi otak bekerja. Dan tergantung dari akvitiasnya, beberapa bagian otak bekerja lebih aktif ketimbang bagian lainnya.

Intinya, seseorang selalu bisa belajar sesuatu yang baru bukan dengan cara mengakses bagian yang jarang digunakan pada otak, tetapi dengan cara membuat koneksi baru dan memperkuat koneksi antar neuron yang ada di otak.

Pemahaman ini terutama menjadi sangat relevan ketika situasi-situasi pembelajaran otak tengah berlangsung (seperti ketika seseorang mengikuti training, kuliah, seminar, atau apapun). Kita semua mungkin pernah mengalaminya. Di tengah-tengah sesi pelatihan atau kelas-kelas, kita kerap terpancing untuk mengecek hp kita untuk email, sms, atau text apapun atau melakukan apapun yang menjauhkan fokus kita kepada materi pelatihan. Masalahnya di sini adalah multi-tasking membuat otak bagian memori bekerja sangat keras, karena otak bagian penyimpanan memori ini bekerja dua pekerjaan sekaligus. Hal ini menyebabkan sulitnya otak menerima informasi pelatihan yang baru karena terganggu dengan aktivitas lain. Pendeknya, multi-tasking dan belajar tidak bisa dikerjakan sama-sama kalau mau efektif.

Beberapa perusahaan telah membangun lingkungan tempat belajar yang sebegitu mendukung pembelajaran dengan sama sekali mengeliminasi distraksi. Di McKinsey juga diterapkan satu area training di mana setiap peserta yang masuk diharuskan menyimpan gadget komunikasinya di loker masing-masing agar proses pembelajaran dapat berlangsung maksimal.

Mitos 3 : Gaya Belajar dan Dikotomi Otak Kiri dan Kanan

Sudah lumrah bagi kita untuk memahami bahwa ada sebagian orang yang dominan otak kiri (analitis) dan dominan otak kanan (kreatif). Penelitian terbaru telah membuktikan bahwa dikotomi ini sama sekali salah. Kedua bagian otak ini dalam aktivitas apapun senantiasa berhubungan dan bekerja berbarengan. Mereka tidak bekerja secara terisolir bergantung pada kegiatan apa yang tengah dilakukan (apakah pekerjaan analitis atau pekerjaan kreatif). Penelitian terbaru menolak anggapan bahwa setiap orang memiliki gaya belajar dan preferensinya sendiri-sendiri. Penelitian terbaru ini lebih menyarankan supaya pembelajaran berlangsung lebih efektif, maka semua indera manusia agar lebih banyak dilibatkan (audiovisual, indera peraba, indera penciuman, dll).

Satu perusahaan yang menerapkan konsep pembelajaran yang melibatkan hampir seluruh indera adalah KFC. KFC mengembangkan modul pelatihan customer service bagi karyawannya dalam bentuk video game. Video-game ini menempatkan karyawan berperan sebagai kasir dan penerima order dari pelanggan termasuk berreaksi terhadap reaksi-reaksi pelanggan yang sudah diset sebelumnya (kayak Dinner Dash ?). Setelah sesi bermain video-game ini selesai, karyawan akan menerima feed-back dari performa-nya di video game dan menerima coaching untuk semakin memperkuat pengalaman pembelajarannya.