Developing Better Change Leaders by Aaron De Smet, Johanne Lavoie, & Elizabeth Schwartz Hioe (2012)

Berikut adalah terjemahan bebas saya untuk artikel lain dari McKinsey Quarterly pada tahun 2012. Enjoy 🙂


MENGEMBANGKAN PEMIMPIN PERUBAHAN YANG LEBIH BAIK

Setiap perubahan yang dicanangkan oleh perusahaan biasanya dimulai dari atas kemudian diturunkan ke dalam serangkaian program-program pendukung perubahan di setiap lini fungsi organisasi.

Yang sering terjadi biasanya, pimpinan perusahaan mengabaikan kemampuan dan kompetensi para manajer di bawah mereka untuk menyebarkan dan menjalankan program perubahan dari atas untuk mensukseskan upaya perubahan tersebut. Kemampuan dan kompetensi yang mesti dimiliki oleh para manajer di setiap level dan fungsi adalah kemampuan untuk membuat bawahan-bawahan mereka tetap semangat, terinspirasi akan perubahan yang lebih baik, serta untuk terus berkolaborasi melampaui batasan-batasan struktural yang ada di perusahaan.. Atau kemampuan untuk membuat manajer mau menerima program transformasi melalui dialog bukan perintah.

Ada satu perusahaan yang menempatkan program pengembangan kepemimpinan sebagai strategi utama ketika perusahaan ini hendak menerapkan sistem produksi baru ke 200 pabriknya di seluruh dunia. Ketika itu, latar belakang kenapa sistem produksi baru ini diperlukan adalah karena pabrik-pabrik mereka tidak konsisten dan lebih sering memiliki daya saing yang rendah dibandingkan kompetitornya. Suasana kerja di pabrik mereka pun terbilang kurang nyaman, konflik-konflik yang ada kalau tidak dihindari sama sekali dihadapkan dengan cara pasif-agresif. Karyawan di level terbawah pabrik merasa kalau mereka ini seperti roda penggerak (cogs) dan supervisor-supervisor mereka itu bertindak seperti polisi. Hasilnya, karyawan pabrik sama sekali tidak terlekat pada pekerjaan mereka. Mereka juga tidak percaya pada kepemimpinan di atas mereka. Mereka dibayang-bayangi oleh rasa takut membuat kesalahan karena pada dasarnya budaya pabrik mereka adalah keamanan kerja dan menghindari resiko.

Pimpinan perusahaan harus melihat persoalan ini lebih dari sekadar persoalan teknis. Mereka harus mengembangkan kapasitas dan kompetensi pemimpin pabrik supaya persoalan teknis ini bisa berjalan mulus. Dalam rangka menjalankan misi ini, perusahaan menyelenggarakan program pengembangan kepemimpinan yang rutin dan sangat terspesialisasi.

Setelah tiga tahun berjalan, perusahaan memperkirakan bahwa sistem produksi baru telah berhasil meningkatkan operating income mereka sekitar $1.5 miliar per tahun.

Pimpinan perusahaan yakin bahwa perilaku dan tindakan pemimpin sangat krusial untuk kesuksesan upaya perubahan mereka. Mereka juga percaya tanpa adanya program pengembangan kepemimpinan ini, hasil yang diharapkan dari perubahan paling hanya 50%. Lebih jauh lagi, pemimpin perusahaan ini menghitung bahwa mereka mendapatkan return sampai sepuluh kali lipat untuk setiap lusin pemimpin yang mereka latih.

Artikel ini akan membahas mengenai 3 pimpinan perusahaan yang dengan gayanya masing-masing mampu memperbaiki performa perusahaan mereka. Di akhir artikel, akan dibahas beberapa prinsip-prinsip pengembangan kepemimpinan.

Kasus 1 : Membuat Proses Pengadaan Lebih Efisien

Tersebutlah seorang Direktur Pengadaan dan Logistik yang bernama Annie. Dia ditugaskan untuk memperbaiki performa bagian pengadaan dari kuartil tengah menjadi kuartil top tanpa harus ada sumber daya yang digunakan. Annie dan tim-nya menyimpulkan bahwa cara mencapai tujuan ini adalah dengan menciptakan satu sistem pengadaan global ketimbang menggunakan sistem pengadaan di masing-masing daerah atau divisi. Pendekatan ini mereka yakini akan meningkatkan efisiensi, mampu memperbesar akses kepada sumber daya yang lebih murah dan memotong biaya interaksi dengan vendor-vendor di daerah atau divisi.

Cara ini mengharuskan mereka melibatkan semua pemangku kepentingan perusahaan di seluruh negara yang lebih banyak memilih untuk melakukan pengadaan sendiri-sendiri. Beberapa di antara stakeholder ini juga bahkan ada yang tidak saling mempercayai satu sama lain. Salah satu anggota tim Annie menyadari problem besar ini dan berpikir bahwa hal ini juga akan menyulitkan Annie menjalankan misinya. Menurut anggota tim Annie : “Annie itu suka bergerak terlalu cepat dan akhirnya banyak dari timnya yang ketinggalan kereta.” Di sini Annie, harus mengembangkan kemampuan dirinya (dengan cepat) untuk melibatkan rekan-rekan kerjanya ke dalam sebuah perjalanan di mana mundur sudah bukan lagi pilihan.

Annie sadar bahwa dirinya harus melibatkan stakeholder ini tidak hanya secara intelektuil, tetapi juga secara emosional, supaya mereka semua paham bahwa pendekatan sistem baru ini lebih baik untuk perusahaan, meskipun banyak yang berpikir sistem ini akan mengancam otoritas mereka. Annie juga menyadari bahwa dia punya kecenderung kuat untuk mengerjakan semua pekerjaan sendirian untuk memastikan bahwa hal itu bisa dikerjakan dengan cepat dan benar.

Belajar mengatasi kecenderungan ini akan menolong Annie untuk menjelaskan visinya secara lebih terang dan lebih menginspirasi siapapun yang mendengarkannya. Dalam program pengembangan kepemimpinannya, Annie belajar beberapa skill seperti bagaimana caranya menjaga diskusi agar selalu berfokus pada solusi dan bagaimana caranya mengatasi penolakkan melalui kekuatan yang sudah ada.

Hasil dari pengembangan ini pun menjadi semakin baik terhadap adopsi sistem pengadaan baru. Lebih dari 1000 karyawan mau menggunakan sistem baru ini dan efisiensi operasi mulai memberikan kontribusi positifnya. Sistem baru ini juga mendorong interaksi antar-pribadi yang membantu karyawan meretas budaya sulit berkolaborasi yang sudah berlangsung sejak lama.

Sistem pengadaan baru ini juga telah berhasil menghilangkan 50 posisi yang tidak lagi relevan (pekerja yang sebelumnya ada di posisi ini dibantu untuk mendapatkan pekerjaan di bagian lain di perusahaan). Belum lagi, pengalaman ini semakin memperkuat pengalaman Annie sebagai pemimpin.

Kasus 2 : Meningkatkan Produktivitas di Pabrik

Conor merupakan salah seorang manajer pabrik yang diharuskan meningkatkan kapasitas produksi pabriknya menggunakan sistem produksi perusahaan yang baru. Biasanya, untuk inisiatif seperti ini, perusahaan akan menurunkan sekelompok insinyur yang ahli di bidang Six Sigma untuk mengobservasi lini produksi terbawah, mengumpulkan data, dan mempresentasikan solusi-solusi perbaikan kepada perusahaan. Setelah itu, Conor akan menyampaikan kepada bawahan-bawahannya untuk mengaplikasikan sistem baru ini sementara dia akan terus mengawasi hasilnya.

Saat ini, Conor sadar bahwa cara lama tidak akan efektif : Hanya karyawan-karyawan yang benar-benar berada di level operasional yang paling tahu cara mengidentifikasi perbaikan dan efisiensi seperti apa yang diperlukan untuk mencapai target produksi yang diharapkan. Hal ini tidak akan bisa dicapai dengan sukses apabila tidak ada kolaborasi antara Conor dengan manajer-manajer di bawahnya.

Pekerja di level paling bawah ternyata bersikap skeptis. Survey yang dilakukan ketika itu menyimpulkan bahwa para pekerja pabrik melihat Conor dan timnya sebagai seseorang yang berada jauh di atas sana dan tidak bisa dipercaya. Ditambah lagi, perusahaan tidak bisa menggunakan kenaikan gaji atau memberlakukan lembur karena sedang ditengah krisis ekonomi global.

Kala itu Conor diikutkan dalam program pelatihan kepemimpinan yang membuatnya berefleksi terhadap situasi saat ini termasuk menemukan solusi tepat menghadapi semuanya.

Setelah pelatihan, Conor mulai sering keluar dari kantornya untuk menemui langsung para pekerja pabrik dalam rangka berbicara tentang pekerjaan mereka sehari-hari, tentang alur kerja mereka, bagaimana mesin-mesin mereka bekerja, dan bagaimana mereka menangani persoalan-persoalan teknis yang muncul. Sebelum dialog ini, para pekerja menyimpan informasi ini sendiri. Dan Conor mempertegas kepeduliannya dengan mengundang para pekerja yang memiliki informasi dan pengetahuan ini ke dalam rapat-rapat Conor dengan para pimpinannya, untuk kemudian bersama-sama mencari solusi bersama untuk setiap permasalahan yang ada.

Conor menjelaskan : “Ketika saya berbagi apa yang saya ketahui dan saya rasakan, saya menyadari bahwa orang lain pun akan otomatis melakukan hal yang sama. Saya baru tahu bahwa selama ini pabrik saya sudah memiliki teknologi yang efisien dan baik untuk mencapai target produksi yang diharapkan. Transparansi antar pribadi dan keterbukaan memang yang menjadi pendobraknya.”

Ketika suasana bekerja pun otomatis semakin membaik, para pekerja pabrik kini tidak ragu-ragu lagi untuk menyampaikan masalah-masalah yang mereka hadapi lengkap dengan usulan spesifik untuk solusi perbaikannya. Hal ini membuat pabrik Conor mampu meningkatkan kapasitas produksinya dari 87% menjadi 93% di hari ini.

Kasus 3 : Menutup Sebuah Pabrik

Pierre adalah seorang manajer pabrik di Perancis yang tengah menghadapi masa-masa paling sulit ketika krisis global lalu. Pabriknya sudah dapat dipastikan harus tutup karena banyak dari pelanggan pabrik itu yang bankrut. Namun demikian, perusahaan ini memerlukan pengetahuan dari para pekerjanya untuk mentransfer pengetahuan mereka ke operasi pabrik baru di negara lain. Di samping itu, mereka masih memiliki order produksi senilai 20 juta Euro yang masih layak dikerjakan sebelum pabriknya tutup.

Di sisi lain, ketegangan juga menyelimuti dunia buruh Perancis. Perusahaan lain yang menutup pabriknya membuat para buruh pabrik mengadakan demonstrasi besar-besaran yang tak jarang berujung kepada tindak kekerasan. Hal ini juga yang membuat banyak perusahaan yang sudah tahu bahwa mereka harus tutup tapi lebih memilih untuk menutup-nutupinya dari para buruh mereka, dan benar-benar menutup pabrik mereka di menit-menit terakhir.

Pierre pun diikutikan dalam program pengembangan kepemimpinan di mana dirinya fokus untuk topik-topik bagaimana caranya menyampaikan kabar tidak enak ini kepada buruh-buruh pabriknya, dengan resiko kerusuhan dan kekerasan yang sudah terbukti terjadi di pabrik lain.

Di akhir pelatihan, Pierre memutuskan untuk menggunakan pendekatan keterbukaan dan kejujuran. Pierre mengumumkan kepada seluruh buruh pabriknya bahwa pabrik mereka akan tutup 9 bulan dari sekarang. Pierre juga mengumumkan dengan tulus dan apa adanya tentang kekhawatiran dan ketakutan dia. Keterbukaan dan otentisitas Pierre rupanya berhasil menyentuh pikiran dan perasaan para buruh pabrik. Pierre mengaku bahwa dalam proses penutupan pabriknya, dia menghabiskan 60% dari waktunya sehari-hari untuk menangani urusan-urusan pribadi dengan buruhnya. Urusan-urusan pribadi seperti membantu para buruh pabriknya mendapatkan pekerjaan baru sambil melakukan pendukungan dan mentoring secara personal kepada tiap-tiap buruhnya.

Komitmen akan kejujuran ini berhasil. 9 bulan kemudian, pabrik Pierre berhasil memenuhi order terakhirnya. Pabrik Pierre menjadi satu-satunya pabrik yang bisa tutup tanpa ada demonstrasi dan kekerasan.

Pelajaran yang bisa Diambil

  1. Ikatkan Erat-Erat Training dengan Sasaran Bisnis. Pelatihan kepemimpinan menjadi tidak jelas jika tidak dihubungkan dan diaplikasikan kepada masalah-masalah yang relevan dihadapi oleh orang-orang di tempat kerja. Contoh dari kasus Pierre, di mana perusahaannya berfokus untuk mengajari dan melatih Pierre bagaimana caranya untuk menjadi berani jujur kepada seluruh buruh pabriknya ketika menghadapi penutupan pabrik yang tidak bisa dihindarkan.
  1. Fokuskan Pelatihan untuk Membangun Kekuatan. Perusahaan harus memilih untuk melatih para pemimpin atau manajer perusahaan yang memang memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan transformasi. Pelatihan itu sendiri bisa berisi tentang pengembangan diri. Seperti bagaimana caranya mengubah mind-set orang lain, mengubah diskusi yang panas dan sulit menjadi kesempatan belajar, serta memperkuat skill membina hubungan antar-pribadi dan optimisme manajerial untuk meningkatkan komitmen akan perubahan.
  1. Pastikan Bahwa Orang-Orang Yang Dilatih ini Didukung Sepenuhnya oleh Top Management. Para peserta pelatihan ini harus diberikan akses penuh kepada pimpinan yang meminta mereka mengikuti pelatihan. Pimpinan mereka ini juga haruslah yang mampu memberikan mereka kenyataan pahit karena hal ini bisa menginspirasi para peserta untuk mengubah cara mereka memimpin timnya.
  1. Ciptakan Jaringan yang Menghubungkan para Pemimpin Perubahan Ini. Upaya transformasi menjadi goyah ketika sukses yang diraih hanya berada di dalam sekat-sekat organisasi tertentu. Untuk mengatasi hal ini, pimpinan perusahaan mengadakan program pengembangan kepemimpinan secara global dan massal untuk menciptakan pemimpin-pemimpin baru yang memiliki bahasa yang sama dan mampu berkolaborasi melampaui batas-batas geografis dan organisasionalnya.

Di kasus Annie, ketika Annie kesulitan mengaplikasikan sistem barunya di Asia, manajer pabrik Brasil yang Annie kenal ketika sama-sama mengikuti pelatihan tidak ragu sedikit pun untuk terbang ke Asia dan menolong pimpinan pabrik Asia mengatasi persoalan-persoalannya. Ditambah lagi, perusahaan mengizinkan kolaborasi seperti ini (meskipun si pimpinan pabrik Brasil ini tidak ada kepentingan apa-apa di Asia), yang mana hal ini semakin memperkuat pesan ke seluruh organisasi bahwa memang perubahan seperti ini betul-betul harus terjadi.

Strategi lain yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk grup kecil berisi pemimpin-pemimpin perusahaan dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan perspektif bisnis yang bermacam-macam untuk diikutkan dalam program pelatihan yang sama. Hal ini memungkinkan terciptanya ke-saling-percayaan antara anggota tim dan membuat mereka bisa menjadi coach bagi satu sama lain.