Talent is Overrated

Bulan Mei lalu saya dikirimi file pdf berjudul “Talent is Overrated”. File pdf ini berisi petikkan gagasan inti dari penulis Geoff Colvin di bukunya yg berjudul sama.

Kalau sekilas baca judulnya, buku ini sepertinya termasuk yg menganggap bahwa definisi talenta adalah bakat/bawaan lahir. Saya sendiri belum pernah membaca buku ini, namun kiriman file pdf tadi membuat saya sedikit paham tentang gagasan inti dari buku itu.

Berdasarkan petikan-petikan gagasan di file pdf yang saya terima dan baca itu, percaya atau tidak, buku Geoff Colvin ini semakin memvalidasi gagasan tentang talenta di buku “First, Break All The Rule” karya Marcus Buckingham & Curt Coffman yang sekilas sudah saya tulis di sini.

File pdf itu menyatakan bahwa buku “Talent is Overrated” membandingkan peranan bakat sejak lahir versus kerja keras dan latihan sadar (deliberate practice) dalam kaitannya dengan kinerja yang ekselen. Tertulis begini: “Yang tidak disadari adalah bakat yamg seolah jatuh dari langit itu ternyata pada mulanya juga buah dari kerja keras (dan deliberate practice) yang dilakukan sejak usia dini.”

Ada kata kunci krusial di situ: dilakukan sejak usia dini.

Katanya, bakat atau talenta merupakan proses yang dibentuk secara sengaja sejak usia dini, bukan datang dari sononya. Misalnya, komposer klasik legendaris Mozart ternyata sudah berlatih main piano sejak usia 3 tahun. Warren Buffet belajar investasi saham sejak kelas 4 SD. Bill Gates belajar mati-matian tentang programming sejak SMP.

Untuk semakin mempertegas fakta di atas, buku ini menceritakan eksperimen yang menarik. Ada peneliti yang ingin membuktikan bahwa bakat bisa dibentuk. Dirinya lantas membuat iklan untuk siapapun yang mau menikah dengannya, asalkan rela anak-anaknya kelak akan digembleng menjadi pemain catur sejak usia 3 tahun. Setelah mendapatkan yang mau menikahi peneliti ini, mereka lantas dikaruniai 3 orang anak perempuan. Sesuai dengan rencana, ketiga anak perempuan ini diajari, dilatih, dan ditempa dengan semua hal tentang catur sejak usia mereka 3 tahun. Ditulis di situ, bahwa mereka digembleng habis sejak usia dini untuk mencintai dan bermain catur.

Hasilnya ternyata memukau, ketiga anak perempuan tersebut ketika dewasa semua menjadi juara catur dunia. Mereka adalah Zsuzsanna Polgar, Zsofia Polgar, dan Judit Polgar. Peneliti yang juga Ayah dari ketiga grandmaster ini adalah Laszlo Polgar, yang merupakan psikolog pendidikan sekaligus guru catur kelahiran Hungaria.

The Polgar Sisters: Judit-Zsofia-Zsuzsanna

Eksperimen Laszlo Polgar ini menegaskan gagasan bahwa kejeniusan itu bukan bawaan lahir tetapi sesuatu yang bisa dilatih. Yes, sampai sini kita bisa sama-sama menyimpulkan kalau ada benang merah tentang talenta antara yang ada di buku Geoff Colvin dengan yang ada di buku Marcus Buckingham & Curt Coffman. Keduanya saling melengkapi dalam hal bahwa talenta memang bukan bawaan lahir, bahwa talenta bisa dilatih (seperti yang diyakini oleh Laszlo dan Geoff), namun untuk bisa ke level jenius, talenta tersebut harus dilatih sejak dini (seperti yang diutarakan oleh Marcus & Curt). Di sini benang merahnya di antara keduanya: semua talenta bisa dimiliki oleh seseorang hingga level jenius, asalkan sudah dipelajari dan dilatih terus-menerus sejak dini.

Eksperimen terhadap The Polgar Sisters membenarkan gagasan di buku Marcus & Curt soal jalan tol sinapsis yang indah, bebas hambatan dan lebar di mana hubungan antara sel-sel otak di sinapsis ini berjalan sangat mulus dan kuat. Dalam hal The Polgar Sisters, jalan tol sinapsis bebas hambatan ini terkait semua tentang catur yang memang sejak dini sudah dicekoki demikian oleh orang tuanya.

Make sense ? 🙂

Talenta

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku yang terbit sekitar 22 tahun lalu, berjudul “First, Break All The Rules – What The World’s Greatest Manager Do Differently”. Penulis buku ini mengklaim bahwa tulisannya berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan oleh Gallup terhadap lebih dari 80.000 manajer di setidaknya 400 Perusahaan seluruh dunia. Premis ini membuat saya kian tertarik, dan sejauh yang saya baca, buku ini terus menggugah rasa penasaran saya karena paparannya yang begitu “baru” bagi pengetahuan ini.

Salah satu yang menarik minat saya adalah ketika buku ini membahas tentang pentingnya talent atau talenta seseorang yang menurutnya merupakan faktor prediktif utama bagi keberhasilan seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Buku ini terang-terangan menolak gagasan bahwa semua orang bisa mendapatkan kemampuan/keahlian tertentu asalkan dilatih dengan benar. Buku ini menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki talenta di bidang tertentu (seperti bidang akuntansi misalnya) bisa saja dilatih untuk memiliki kemampuan di sana, namun hasilnya tidak akan pernah bisa se-optimal dengan orang lain yang memang memiliki talenta di situ.

Jadi apa itu talenta? Biasanya kita menyamakan istilah talenta dengan “bakat”. Misalnya, seorang diva, tentu merupakan seseorang dengan bakat menyanyi yang luar biasa. Dengan definisi ini, setidaknya bagi diri saya sendiri, mengasosiasikan “bakat” dengan “bawaan lahir”, atau sesuatu yang memang seolah sudah di-install oleh Tuhan ke dalam diri seseorang ketika dilahirkan. Untuk itu, rasanya masuk akal jika tidak semua orang punya bakat menyanyi, atau memasak, atau menulis, atau bermain sepak bola. Masuk akal juga jika kita berpikir bahwa seseorang bisa saja dilatih menyanyi, memasak, menulis atau bermain sepak bola sehingga dirinya betul-betul piawai melakukannya (ingat dengan teori dari Galdwell tentang apapun bisa dikuasai asalkan melewati 10.000 jam latihan?). Buku ini sekilas berpegang pada “bakat” yang cukup dengan “bawaan lahir”. Namun mereka menjelaskannya dengan sangat baik dari sisi sains, yaitu neuroscience.

Sebelum terlampau menjelaskan tentang talenta menurut buku ini, terdapat 4 baris kalimat yang sering diulang-ulang di buku ini:

People don’t change that much. Don’t waste time trying to put in what was left out. Try to draw out what was left in. That is hard enough.

4 kalimat tersebut kerap diulang di buku ini, seperti menegaskan bahwa setiap orang sudah memiliki talenta-nya sendiri-sendiri, dan mencoba untuk mengembangkan orang tersebut di luar talentanya merupakan hal yang sulit kalau tidak boleh disebut sia-sia.

Buku ini meyakini, berdasarkan hasil wawancara dengan puluhan ribu manajer sukses di dunia, bahwa talenta merupakan saringan mental yang dimiliki oleh seseorang. Saringan mental ini sama uniknya atau sama abadinya dengan sidik jari seseorang. Wow! Kita semua tahu bahwa sidik jari setiap manusia di muka bumi ini adalah unik dan tidak ada yang betul-betul sama. Jika memang demikian, berarti talenta pun sedemikian uniknya, bukan? Meski demikian, buku ini sukses meyakinkan saya bahwa keunikan ini terjadi di tataran otak yang sesungguhnya berkembang jauh pada saat seseorang masih bayi.

Penjelasannya begini. Pada saat baru lahir, otak bayi berisi seratus miliar neurons atau sel otak. Kata para ahli neuroscience waktu itu, jumlah neurons di otak bayi lebih banyak dari jumlah bintang-bintang yang ada di galaksi Milky Way.

Me when I read above statement

Nah, sel otak ini merupakan bahan mentah dari pikiran, namun sel otak bukanlah pikiran itu sendiri. Pikiran bayi dan atau balita ini hidup di antara sel-sel otak ini. Pikiran mereka hidup pada koneksi atau hubungan antara sel-sel otak atau disebut juga dengan synapses (sinapsis). Pembentukkan sinapsis (yang pada gilirannya menghasilkan “pemikiran” atau “pikiran” tertentu) tidaklah instan, dan rasanya buku ini sudah sangat sesuai ketika menggunakan kata “carve” (mengukir) dalam menggambarkan proses sinapsis yang terjadi dalam otak manusia. Menurut buku ini, pada 15 tahun pertama seseorang hidup, di situlah proses pengukiran sinapsis ini sungguh-sungguh terjadi.

Di hari pertama seseorang lahir ke dunia, pikirannya mulai keluar dengan agresif dan kencang. Prosesnya di mulai dari pusat otak, seluruh sel otak yang ada mengirim ribuan sinyal kepada satu sama lain. Sel-sel otak ini mencoba untuk berkomunikasi, menciptakan hubungan. Di tahun ketiga, jumlah sinapsis yang tercipta luar biasa banyaknya.. Berjumlah 15.000 koneksi sinapsis untuk masing-masing 100 miliar sel otak! Namun, koneksi ini terlampau banyak bagi si anak. Dirinya kebanjiran informasi di dalam kepalanya. Untuk itu, selama dan sampai 10 tahun ke depan, otaknya fokus untuk menyuling, menyaring dan mensortir, secara perlahan, semua sinapsis ini. Sinapsis yang kuat tercipta akan terus kuat, sedangkan yang lemah terhubung akan perlahan layu dengan sendirinya. Diambil dari istilah Dr. Harry Chugani, professor neurology di Wayne State University Medical School, proses ini mudah dipahami apabila kita membayangkan lalu lintas jalanan khususnya di jalan bebas hambatan (jalan tol). Kata Dr. Harry: “Jalanan dengan lalu lintas yang banyak dan tinggi akan kian melebar, sedangkan jalanan yang jarang atau tidak pernah dilalui akan rusak dengan sendirinya.”

Meskipun masih banyak ahli yang berdebat tentang mengapa jalanan tertentu tinggi lalu-lintasnya sedangkan jalanan yang lain sepi, banyak dari ahli ini yang sepakat dengan hasil dari proses filterisasi atau pemangkasan mental ini. Kembali ke si anak tadi, ketika usianya memasuki belasan tahun, sinapsis yang dirinya miliki hanya setengah dari ketika dirinya berusia 3 tahun. Otaknya kini sudah memiliki ukiran-ukiran sinapsis yang unik. Otaknya kini memiliki jalan tol sinapsis yang indah, bebas hambatan dan lebar di mana hubungan antara sel-sel otak di sinapsis ini berjalan sangat mulus dan kuat. Namun di sisi lain, otaknya yang sama juga memiliki jalanan sinapsis tandus yang rusak dan penuh lubang tanpa adanya sinyal apapun yang berjalan melintasinya.

Misalnya begini. Jika “empati” berada dalam jalan tol sinapsis di otaknya, dia akan merasa semua emosi yang ada di sekelilingnya seperti miliknya sendiri. Berbeda cerita jika “empati” yang sama malah berada dalam jalanan sinapsis tandus yang rusak dan penuh lubang di dalam otaknya, maka dirinya akan “buta” secara emosional. Dirinya akan kerap mengatakan hal yang tidak seharusnya di katakan dalam banyak situasi (saya jadi ingat karakter Sherlock Holmes dalam serial BBC yang berjudul Sherlock).

Make sense juga ya?

Kebutaan emosional ini bukanlah karena dirinya kejahatan atau kejam, namun sesederhana karena dirinya tidak mampu menangkap serta memproses sinyal emosional yang diterima otaknya.

Nah, buku ini meyakini bahwa sinapsis tersebut adalah filter setiap orang. Sinapsis ini menghasilkan pola-pola berulang yang membuat diri seseorang menjadi unik. Sinapsis ini memerintah mana-mana saja stimuli yang harus direspon dan mana yang harus diabaikan. Sinapsis ini menentukan area-area mana saja seseorang bisa hebat, atau sebaliknya (kembali lagi ke “bakat”). Sinapsis ini mengukir karakter seseorang. Dan menurut neuroscience kala itu, selepas setengah dari masa remaja seseorang, terdapat keterbatasan apabila seseorang ingin menjadi hal-hal di luar dari yang sudah terukir tersebut.

Namun bukan berarti seseorang tidak bisa berubah. Seseorang tetap bisa mempelajari keahlian dan pengetahuan yang baru. Seseorang juga bisa mengubah nilai-nilai dirinya, termasuk dalam hal mengembangkan kesadaran diri yang lebih besar termasuk dalam hal penguasaan diri sendiri. Namun kembali, buku ini percaya bahwa hal-hal tersebut tidak akan pernah mengubah jalanan yang sudah tandus, rusak dan berlubang menjadi jalan tol yang lebar dengan koneksi super kencang. Katanya, seluruh intervensi sadar untuk mengubah jalanan tandus tadi hanya bisa mengubahnya menjadi jalanan yang “cukup layak” untuk digunakan bagi sinyal melintas. Selebihnya tidak bisa.

Kembali ke gagasan sebelumnya bahwa talenta merupakan saringan mental seseorang, maka setiap orang tentunya menjadi unik. Namun demikian, talenta ini bisa dikategorikan, setelah menarik hasil kajian terhadap 150 peranan di dalam dunia kerja yang ditampilkan dalam buku ini. Hal ini kemudian yang menjadi menarik ketika kita mendalaminya lagi menjadi 3 besar kategori dasar talenta yaitu striving talents, thinking talents, and relating talents. Saya akan menulis soal ini di postingan blog ini yang selanjutnya. Until then, take care!

Keeping The Faith, The Discipline

Ketika kita memulai suatu kebiasaan baru dalam rangka membuat diri kita lebih disiplin, tantangannya adalah tetap menjalani apa yang dijanjikan pada diri sendiri, tidak peduli seberapa shitty diri ini tengah merasa, tidak peduli seberapa malas dan zero will-power kondisi kita saat itu.

Dua minggu sudah saya menjalani regime baru yang saya sendiri cukup surprise saya bisa menjalaninya dengan streak sempurna. Saya kira saya bisa menjalani terus, sampai saya memasuki minggu ketiga. Di sini, karena beberapa poin rutinitas regime saya sempat ter-interrupt karena ke Bandung (di mana beberapa di antaranya saya skip sampai dua hari berturut-turut), penyakit lama mulai menghantui.

Suara kecil di belakang kepala yang berbisik, “Sudahlah. Cukup sampai sini.”

Benar kata James Clear, kita boleh bolos dari apa yang sudah kita janjikan, tetapi kita tidak boleh membiarkan diri kita seperti itu terus-menerus. Kita harus kembali stick to our regime. Jika tidak, kata James, kebiasaan bolos itu akan cepat mengambil-alih menjadi kebiasaan baru yang sebetulnya sudah kadung tercetak di kebiasaan kita. Padahal kita sedang berusaha mencetak kebiasaan baru. Ini yang saya ingat-ingat betul.

Betapa mudah sekali jatuh ke perangkap ini. Awalnya cuma satu kali. Lama-lama dua kali, tiga kali, empat kali.. Hingga tanpa sadar, saya sudah melupakannya sama sekali dan kembali ke kebiasaan lama saya. Kebiasaan menyabotase diri sendiri. Sisi yang sangat saya benci dari diri saya sendiri.

Namun kali ini saya tidak boleh kembali ke kebiasaan lama saya itu. Saya sudah membuktikan ke diri saya sendiri bahwa saya bisa mempertahankan streak sampai 14 hari berturut-turut. Di minggu ke-3 mulai terjadi banyak hal-hal di luar program tetapi saya tidak boleh mengendur. Saya sadar bahwa saya sudah sampai sejauh ini, saya harus terus melanjutkannya sampai 30 hari penuh, lalu 60 hari penuh, lalu 90 hari penuh.

Kenapa ? Saya hanya ingin lihat dan penasaran, ada apa di hari ke-90 ketika saya berhasil menyelesaikan semuanya secara penuh. Mungkin tidak akan ada apa-apa, mungkin juga hari ke-90 akan sama saja dengan hari pertama. Namun, jika saya meyakini kisah si tukang batu di tulisan saya ini, maka saya harus terus menjalaninya. Jika hari ke-90 tidak ada apa-apa, saya haris percaya untuk meneruskannya sampai hari ke-120, atau bahkan hari ke-180, atau terus sampai ke hari ke-365. Membaca ulang angka-angka tersebut terasa berat dan sulit, namun saya tidak perlu memikirkannya.

Saya hanya perlu berjalan menunduk, fokus pada langkah kaki saya. Selangkah demi selangkah demi selangkah.

Selebihnya, biar Tuhan yang membawa saya ke tempat-tempat yang Dia inginkan.

Sic Parvis Magna

Pertama kali mendengar istilah ini saat saya main game The Uncharted 4. Artinya “Greatness from a Small Beginning” atau “Kejayaan dimulai dari awal yang sederhana/kecil”. Somehow saya pernah juga mendengar quote yang mirip waktu menonton film Kera Sakti. Saat itu Pendeta Tong Sam Chong yang berkelana ke barat kurang lebih berkata, “Perjalanan ribuan kilometer ke barat diselesaikan pada awalnya lewat langkah pertama.” Small beginning.

Saya jatuh cinta dengan quote Sic Parvis Magna setelah saya mulai mendalami ilmu tentang habit. Khususnya di bagian memulai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang mudah dilakukan, seperti yang saya tulis di postingan ini. Memulai dengan kebiasaan kecil yang mudah dilakukan sungguh merupakan manifestasi dari Sic Parvis Magna. Sesuatu yang kecil, tampak tidak berarti, namun jika dilakukan dengan konsisten secara terus menerus akan menghasilkan sesuatu yang besar. Satu-satunya yang membuat seseorang tidak menyadari hal ini karena ia menginginkan sesuatu yang serba instan.

Nah, ini baru sesuatu.

Sic Parvis Magna memiliki makna lebih dari sekadar permulaan yang kecil untuk sebuah kejayaan yang gilang gemilang. Ada formula khusus yang membuat sesuatu yang sedemikian kecil pada waktunya berubah menjadi sesuatu yang luar biasa.

Formula tersebut adalah konsistensi.

Dengan konsistensi, tercipta sesuatu yang disebut compound effect atau jika diterjemahkan secara bebas berarti efek berlipat ganda.

Video di atas menjelaskan dengan sangat baik mengenai konsistensi. Video tersebut memulai dengan sebuah cerita tentang pemuda bernama Mike (terdapat perbedaan detail dengan apa yang ditulis di sini) Suatu hari dalam perjalanan rutinnya sepulang bekerja, Mike menemui seseorang tengah memukul-mukul batu besar dengan peralatan seadanya. Penasaran, Mike-pun bertanya kepada si tukang batu tersebut apa yang sedang ia lakukan. “Oh, aku sedang berusaha untuk memecahkan batu ini,” jawab si tukang batu enteng. Mike dibuatnya heran. “Bagaimana mungkin dia bisa memecahkan batu ini dengan peralatan seperti itu ?” batin Mike. Namun Mike hanya tersenyum dan mengucapkan semoga berhasil kepada si tukang batu sambil pamit mohon diri.

Hari-hari seterusnya pun seperti itu. Setiap hari Mike disuguhkan pemandangan yang sama. Si tukang batu memukul-mukulkan peralatannya seolah tidak tahu kalau usahany itu sia-sia saja, menurut Mike. 1 minggu berlalu, setiap berpapasan dengan si tukang batu yg sedang bekerja, Mike mengamati batu dipukul dan sama sekali tidak nampak ada retak sedikit pun. 2 minggu.. 1 bulan.. 3 bulan.. Mike tidak tahan lagi. Di bulan ke-5 Mike mutuskan untuk memberitahu si tukang batu naif ini untuk berhenti dan melakukan hal yang lain.

“Bagaimana kalau Anda menyerah saja ?” kata Mike. “Ada hal lebih baik lain yang bisa Anda lakukan,” tambahnya. Si tukang batu hanya menatapnya sekali, tertawa kecil, dan kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa menjawab sepatah kata-pun. Kesal karena tak mendapatkan reaksi apapun, Mike melengos pergi sambil berkata di benaknya, “Mungkin orang ini memang gila!” Namun baru saja Mike melangkah 2-3 langkah pergi, telinganya menangkap bunyi batu yang retak. Mike berbalik dan terkesiap menemukan batu tersebut kini terbelah dua.

“Tapi bagaimana mungkin ?” kata Mike pada si tukang batu. “Apakah Anda menggunakan alat lain atau kini tenaga Anda lebih kuat dari sebelum-sebelumnya ?” cerocos Mike.

“Tidak ada,” jelas si tukang batu dengan tenang. “Alat saya hanya seperti ini sejak saya memulai, dan saya yakin saya tidak bertambah kuat meski sudah melakukan ini dalam waktu yang cukup lama,” tambahnya.

Melihat Mike masih kebingungan, si tukang batu mencoba menjelaskan lebih lanjut sebisanya, “Tidak ada hal berbeda yang saya lakukan sejak pertama saya melakukan ini sampai hari ini. Saya hanya meyakini kalau setiap progress kecil itu nyata adanya, meski tak terlihat dan tidak berarti. Bukan berarti itu tidak ada sama sekali. Kita hanya perlu untuk percaya dan tetap melakukannya.”

Barangkali kita sering mengalami hal ini (untuk yang jarang mengalami, good for you!): Kita membeli gym membership yang cukup mahal itu namun ditengah jalan kita hanya membayar saja tetapi tidak pernah lagi menggunakan fasilitas yang sudah kita bayar. Beberapa di antara kita semangat berolahraga di gym di awal-awal hanya untuk menemukan diri kita setelah beberapa lama berhenti dan mengabaikan semangat itu.

Mengapa ya seperti itu ? Bagaimana jika, setiap jam yang kita habiskan di gym sama dengan menurunkan berat badan kita 2 kg dan memperkuat massa otot tubuh 10%, saat itu juga ? Pastinya semangat kita tidak akan timbul tenggelam khan ? Mengapa ? Karena kita langsung melihat hasil dari upaya kita secara instan. Namun kita semua tahu, bahwa skenario 1 jam olahraga di gym sama dengan 2 kg berat badan turun itu tidak pernah akan terjadi (at least sampai hari ini, cuma Tuhan yang tahu di masa depan akan seperti apa). Kita juga tahu, bahwa menurunkan berat badan dan membentuk perut six pack tidak bisa dicapai dalam hitungan hari. Mungkin itu sebabnya kita sulit konsisten, karena reward dari apa yang kita upayakan tidak serta merta kita lihat hasilnya saat itu juga.

Beberapa dari kita ingin hasil instan.

Dan sayangnya, hukum alam tidak berjalan demikian. Semuanya perlu proses dan seringnya, formula dasar dari proses tersebut adalah kesabaran dan keyakinan.. Atau mungkin kepasrahan. Apapun itu, hukum alam menghendaki mereka yang berproses untuk tetap patuh, disiplin di dalam proses tersebut. Seperti si tukang batu.

Agile

Saya pernah mendengar istilah ini ketika berdiskusi tentang Lean Management bersama kolega di kantor. Namun belakangan, saya kembali menemui istilah ini ketika istilah “Scrum” berseliweran di timeline Youtube saya.

Rasa penasaran mengantarkan saya ke berbagai artikel yang membahas tentang “Scrum Master” seperti di artikel berbahasa Indonesia ini yang berjudul “Scrum Master: bukan manajer proyek ataupun technical leader” oleh Joshua Partogi.

Membaca tulisan Joshua, saya seperti membaca buku-buku psikologi praktis tentang leadership seperti yang pernah ditulis oleh John C. Maxwell, Robin Sharma and the like. Membaca paparannya membuat saya semakin terheran-heran kenapa hal ini mulai mencuat belakangan ini. Hal-hal seperti servant leadership, leader as a coach, dan organizational change menjadi sentral dari tulisannya. Joshua juga mengetengahkan betapa peranan Scrum Master sering disalah-artikan oleh banyak pihak yang alasannya cukup mengguncang nalar saya.

Joshua menulis: “mayoritas orang-orang melihat kalau semua hal dalam dunia ini terstruktur dengan bentuk pola dominant-submissive. Dalam pola ini, selalu ada peran yang dominant bertanggung-jawab untuk memerintah dan selalu ada orang-orang yang submit kepada orang-orang yang dominan, contoh-contoh dari model ini adalah: guru-murid, raja-rakyat, bos-pegawai, dsb.

I was like:

Tulisan Joshua di atas membuat saya tertegun. Barangkali itu sebabnya mengapa suatu tim tidak benar-benar bisa secara autonomous bergerak mencapai tujuannya, tanpa digerakkan oleh pimpinannya. Kita terbiasa berpikir father’s know best. Yang memerintah dan memimpin pasti tahu jalnnya, yang diperintah manut dan bergerak saja jika memang diminta.

Sampai sini, meski saya cukup terusik dengan presentasi dominant-submissive, saya belum benar-benar memahami tentang “Scrum Master”. Pencarian saya untuk memahami Scrum membawa saya menemukan bahwa istilah “Scrum” erat kaitannya dengan “Agile”. Rupanya scrum merupakan bagian dari agile management secara keseluruhan.

Istilah Agile pertama kali muncul dalam “Manifesto for Agile Software Development” di tahun 2001, seperti dibawah ini:

We are uncovering better ways of developing software by doing it and helping others do it. Through this work we have come to value:

Individuals and interactions over processes and tools
Working software over comprehensive documentation
Customer collaboration over contract negotiation
Responding to change over following a plan

That is, while there is value in the items on the right, we value the items on the left more.

Manifesto tersebut dapat langsung dilihat di websitenya langsung di sini.

Pertama kali membaca manifesto ini saya langsung berpikir, “Oh, ini mungkin metode khusus untuk mereka yang lagi mengembangkan software.”

Namun demikian, tulisan dari Steve Denning di forbes.com yg berjudul “What Is Agile“, perlahan mengubah pemikiran saya. Rasa penasaran yang sedemikian besar membuat saya langsung membeli buku Steve Denning berjudul “The Age of Agile”, yang hingga kini masih saya baca. Sungguh saya ingin melihat bagaimana Agile yg sarat dengan technicality dalam software development bisa diterapkan dalam general management. Dan proses making sense konsep dan praktik Agile dalam konteks manajemen umum bukan sesuatu yang mudah bagi saya hingga saat ini!

Project Habits

Konsistensi dan disiplin senantiasa menjadi hal yang mengusik saya. Simply karena saya orang yang sulit konsisten dan disiplin. Sulit bagi saya untuk seperti itu. Rasanya saya tidak bisa untuk tidak menyabotase diri sendiri.

Saya masih mencari kunci itu, sampai akhirnya saya menemukan buku The Power of Habit oleh Charles Duhigg dan Atomic Habits oleh James Clear. Yang kedua telah saya baca habis. Dari sekian banyak tips and trick yg James sampaikan di bukunya, yang paling menarik bagi saya adalah sarannya mengenai memulai dengan hal yang paling mudah.

Contoh, jika saya ingin membiasakan diri berlari pagi, saya tidak disarankan untuk langsung berlari sejauh 1 km atau 5 putaran atau selama 30 menit. Hal tersebut bisa saja dilakukan pada saat hari-hari pertama kebiasaan tersebut dilakukan. Tantangannya adalah konsistensi melakukan hal yang sama setiap hari.

Saya mendengar konsep ini bukan dari James pada awalnya. Saya mengetahuinya dari video youtube dibawah ini.

Yes, tantangan dari konsistensi adalah ketika kita diserang malas, hal tersebut semakin diperparah dengan bayangan bahwa kita harus melakukannya selama 30 menit, 5 putaran, atau 1 km. Setelah itu, biasanya kita bolos atau berhenti sama sekali. Ada yang seperti itu ? Saya seperti itu. Many many many times di sepanjang hidup saya.

Rupanya seperti yg dijelaskan di video di atas serta diperkuat dengan penjelasan James Clear yang mengatakan bahwa salah satu kunci mendirikan kebiasaan baru adalah memulai dengan sangat mudah, sedemikian mudah sehingga ketika kita sedang malas-pun kita tetap bisa melakukannya, saking mudahnya.

Dalam kasus mendirikan kebiasaan berlari setiap pagi, alih-alih mencoba berlari pagi selama 30 menit, 1 km, ataupun 5 putaran, saya bisa memulai dengan sangat mudah yaitu berlari 2-5 menit, 100 meter, ataupun cukup 1 putaran saja.

Orang pada umumnya akan berpikir, “Hey, di mana olahraganya kalau cuma lari 5 menit?”

Ternyata baik menurut James maupun video di atas, yang pertama perlu dijadikan perhatian adalah bukan olahraganya, tapi lebih ke kebiasaannya. Seperti penjelasan di atas, kita bisa saja olahraga hingga berkeringat deras, namun berapa banyak dari kita yang mampu konsisten melakukannya setiap hari ?

Pada kenyataannya, tulisan ini dibuat setiap hari dengan mindset yang sama! Saya mencoba menulis setiap hari setidaknya satu paragraf saja! Dan saya sudah mulai sejak 5 hari yang lalu. Tidak terlalu buruk, bukan?

Black Mirror S3E5 – Men Against Fire

Saya menonton episode ini dengan bergidik, terutama ketika memikirkan konsekuensi atas adanya teknologi dalam peperangan seperti yang digambarkan dalam “Men Against Fire”.

Dalam peperangan, hal utama yang dilakukan biasanya terkait manusia membunuh manusia lainnya. Some of us, normal people, termasuk saya, membunuh orang lain bukanlah perkara semudah membunuh nyamuk yang mengganggu kenyamanan kita ketika tidur.

Dalam beberapa gagasan, “humanity” dan hati nurani menjadi lini pertahanan terakhir sebelum kita memampukan diri kita menghilangkan nyawa orang lain. The thought of it, the fact that I’m writing the word “killing other people” sicken and frighten me. Mungkin kita bisa membunuh ketika orang lain berupaya membunuh kita juga, seperti di film-film. But this is not a goddamned movie. Sementara ini, belum ada suatu era di mana manusia terbiasa membunuh manusia lain. And I hope it stayed that way forever.

Namun bagaimana jika ada teknologi yang mengubah kenyataan yang kita lihat menjadi hal yang sepenuhnya berbeda? Seorang tentara dapat diubah visual yang dirinya lihat melalui matanya, sehingga alih-alih dirinya melihat manusia yang hendak dia bunuh, dia melihat monster/alien/zombie yang memang layak dibunuh.

Itulah premis dari “Men Against Fire”. Supaya para tentara bisa “menjinakkan” hati nuraninya, teknologi mampu mengubah visual yang menjadi target mereka, menjadi sesosok monster yang mengerikan, meski pada kenyataannya, mereka adalah manusia biasa pada umumnya.

Its crazy as f**k. And I can’t even image the ramification of such.

Jika memang banyak yang berpikir bahwa sesungguhnya umat manusia itulah sendiri yang akan menghancurkan dirinya sendiri, maka itu bisa jadi benar setelah menonton hal ini.

Tribalism, short-term thinking, and wishful thinking. Dikombinasikan dengan kapabilitas manusia untuk menjadi lebih cerdas dan lebih advance sehingga kapabel menjadi seperti dewa (godlike) yang mengganggu keseimbangan lingkungan lainnya. Konon itulah yang sudah hardwired into ourbrain yang menjadi sebab mengapa kitalah sebagai manusia yang akan menjadi sumber kehancuran kita sendiri.

Black Mirror S3E4 – San Junipero

Saya memiliki pandangan yang agak mirip antara “San Junipero” dengan “White Christmas”. Semuanya mengenai kesadaran atau awareness, dan lebih dalam lagi, mengenai jiwa manusia.

Tak pelak “San Junipero” membuat saya kembali merenungi tentang bagaimana jika pada suatu masa manusia dapat meng-capture kesadaran atau jiwa manusia dan menyimpannya dalam satu container?

Lagi-lagi saya bertanya saat ini, “apa itu kesadaran?”, “apa itu jiwa?” Bagaimana kita memahami kesadaran itu sendiri? Dari sisi agama at least di agama saya yaitu Islam, ketika manusia mati secara fisik, maka dirinya sebetulnya masih “tersadar” untuk menerima semua pengalaman-pengalaman afterlife seperti mempertanggung-jawabkan tindakannya selama masih hidup di dunia, dan lain sebagainya.

Jika demikian, berarti yang disebut dengan “kesadaran” adalah sesuatu yang tidak terikat dengan fisik atau body seseorang. Kesadaran sepertinya lebih tinggi dan lebih astral daripada batasan-batasan fana yang ada.

Kembali ke pertanyaan saya sebelumnya, bagaimana jika umat manusia mampu meng-capture kesadaran ini dan menyimpannya, atau bahkan mengutilisasinya sesuai kebutuhan? Akankah umat manusia mencapai status immortal? Jika suatu waktu terjadi kepunahan di bumi, kemana perginya kesadaran-kesadaran umat manusia?

God, so many question.

Black Mirror S3E3 – Shut Up & Dance

One of the most unforgettable episodes of Black Mirror. Pahit dan bikin paranoid, karena kisah ini mengenai cyber-security. Yang bisa saja terjadi kepada kita anytime anywhere. Betapa tidak, ketika hal yang paling pribadi dan memalukkan diketahui oleh orang lain (hacker) dan orang ini mengancam akan menyebarkan kejadian ini, bisa dikatakan orang-orang akan melakukan apapun untuk mencegah agar ini tidak disebarkan. Digital blackmailing. Mengerikan sekali.

Most people would do anything to keep their darkest secret remain hidden. Even killing other human if necessary. Shut Up & Dance memperlihatkan hal tersebut.

Saya jadi bertanya-tanya, mengapa banyak dari kita sulit sekali mengakui kesalahan kita? Sepertinya owning a mistake merupakan suatu trait yang cukup jarang diperlihatkan. Wajar memang, ditengah masyarakat yang highly judgmental seperti sekarang ini. Namun demikian, meski masyarkat seperti itu, saya sebetulnya yakin mereka sendiri juga punya dark secret-nya masing-masing, if not then it will be. Sometimes its just a matter of time.

Owning a mistake or owning a failure.

Biasanya, ketika failure terjadi yang terpikir pertama kali adalah hal-hal di luar diri kita, ketimbang hal-hal di dalam diri kita. Jika dipikir-pikir lagi ke belakang, apakah orang tua kita juga mengajarkan kita untuk owning our mistake? Or maybe even, apakah orang tua kita juga menunjukkan caranya owning their own mistake?

When it comes to failure, most people tend to blame. Most other people tend to become self-centered almost immediately. Saya pun termasuk di antara orang-orang tersebut.

Owning a failure or mistake bisa jadi merupakan salah satu kunci kebahagiaan diri, dan jika kita belajar darinya, kita bisa menjadi the better version of ourselves.

Yet its really cool to talk about failure from a point of success or power.” – Cristel Carrisi

Black Mirror S3E2 – Playtest

Episode ini cukup relatable dengan saya, karena saya seorang gamer. Casual though, not a pro. Saya memandang episode ini sarat dengan hiburan plot-twist dengan alur yang berlapis, namun minim insight, tidak seperti episode-episode Black Mirror sebelumnya.

Saya merasa bahwa kemajuan teknologi yang digambarkan pada Playtest dapat menjadi kenyataan in the near future. Sekarang sudah ada teknologi Virtual Reality dan Augmented Reality. Beberapa orang bahkan menggabungkan berbagai teknologi dan menjadikannya suatu game menjadi satu pengalaman yang hampir nyata, bukan lagi antara gamer yang duduk di seberang televisinya dan game yang dia mainkan di dalam televisi tersebut. Bisa cek video di bawah ini bagaimana full imersion diwujudkan.

Video di atas diunggah pada tahun 2014. Sekarang sudah tahun 2019. Kira-kira dalam waktu 5 tahun lagi saja, barangkali hal seperti yang tergambar di Playtest betul-betul akan jadi kenyataan.

What would happen? Ketika manusia mampu menciptakan kenyataannya sendiri di luar kenyataan yang dia sedang alami sekarang.

Atau jangan-jangan, kenyataan yang sekarang kita alami adalah kenyataan yang menjadi bagian dari simulasi sebuah game?

What is real and what is not real?