Talent is Overrated

Bulan Mei lalu saya dikirimi file pdf berjudul “Talent is Overrated”. File pdf ini berisi petikkan gagasan inti dari penulis Geoff Colvin di bukunya yg berjudul sama.

Kalau sekilas baca judulnya, buku ini sepertinya termasuk yg menganggap bahwa definisi talenta adalah bakat/bawaan lahir. Saya sendiri belum pernah membaca buku ini, namun kiriman file pdf tadi membuat saya sedikit paham tentang gagasan inti dari buku itu.

Berdasarkan petikan-petikan gagasan di file pdf yang saya terima dan baca itu, percaya atau tidak, buku Geoff Colvin ini semakin memvalidasi gagasan tentang talenta di buku “First, Break All The Rule” karya Marcus Buckingham & Curt Coffman yang sekilas sudah saya tulis di sini.

File pdf itu menyatakan bahwa buku “Talent is Overrated” membandingkan peranan bakat sejak lahir versus kerja keras dan latihan sadar (deliberate practice) dalam kaitannya dengan kinerja yang ekselen. Tertulis begini: “Yang tidak disadari adalah bakat yamg seolah jatuh dari langit itu ternyata pada mulanya juga buah dari kerja keras (dan deliberate practice) yang dilakukan sejak usia dini.”

Ada kata kunci krusial di situ: dilakukan sejak usia dini.

Katanya, bakat atau talenta merupakan proses yang dibentuk secara sengaja sejak usia dini, bukan datang dari sononya. Misalnya, komposer klasik legendaris Mozart ternyata sudah berlatih main piano sejak usia 3 tahun. Warren Buffet belajar investasi saham sejak kelas 4 SD. Bill Gates belajar mati-matian tentang programming sejak SMP.

Untuk semakin mempertegas fakta di atas, buku ini menceritakan eksperimen yang menarik. Ada peneliti yang ingin membuktikan bahwa bakat bisa dibentuk. Dirinya lantas membuat iklan untuk siapapun yang mau menikah dengannya, asalkan rela anak-anaknya kelak akan digembleng menjadi pemain catur sejak usia 3 tahun. Setelah mendapatkan yang mau menikahi peneliti ini, mereka lantas dikaruniai 3 orang anak perempuan. Sesuai dengan rencana, ketiga anak perempuan ini diajari, dilatih, dan ditempa dengan semua hal tentang catur sejak usia mereka 3 tahun. Ditulis di situ, bahwa mereka digembleng habis sejak usia dini untuk mencintai dan bermain catur.

Hasilnya ternyata memukau, ketiga anak perempuan tersebut ketika dewasa semua menjadi juara catur dunia. Mereka adalah Zsuzsanna Polgar, Zsofia Polgar, dan Judit Polgar. Peneliti yang juga Ayah dari ketiga grandmaster ini adalah Laszlo Polgar, yang merupakan psikolog pendidikan sekaligus guru catur kelahiran Hungaria.

The Polgar Sisters: Judit-Zsofia-Zsuzsanna

Eksperimen Laszlo Polgar ini menegaskan gagasan bahwa kejeniusan itu bukan bawaan lahir tetapi sesuatu yang bisa dilatih. Yes, sampai sini kita bisa sama-sama menyimpulkan kalau ada benang merah tentang talenta antara yang ada di buku Geoff Colvin dengan yang ada di buku Marcus Buckingham & Curt Coffman. Keduanya saling melengkapi dalam hal bahwa talenta memang bukan bawaan lahir, bahwa talenta bisa dilatih (seperti yang diyakini oleh Laszlo dan Geoff), namun untuk bisa ke level jenius, talenta tersebut harus dilatih sejak dini (seperti yang diutarakan oleh Marcus & Curt). Di sini benang merahnya di antara keduanya: semua talenta bisa dimiliki oleh seseorang hingga level jenius, asalkan sudah dipelajari dan dilatih terus-menerus sejak dini.

Eksperimen terhadap The Polgar Sisters membenarkan gagasan di buku Marcus & Curt soal jalan tol sinapsis yang indah, bebas hambatan dan lebar di mana hubungan antara sel-sel otak di sinapsis ini berjalan sangat mulus dan kuat. Dalam hal The Polgar Sisters, jalan tol sinapsis bebas hambatan ini terkait semua tentang catur yang memang sejak dini sudah dicekoki demikian oleh orang tuanya.

Make sense ? 🙂

Talenta

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku yang terbit sekitar 22 tahun lalu, berjudul “First, Break All The Rules – What The World’s Greatest Manager Do Differently”. Penulis buku ini mengklaim bahwa tulisannya berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan oleh Gallup terhadap lebih dari 80.000 manajer di setidaknya 400 Perusahaan seluruh dunia. Premis ini membuat saya kian tertarik, dan sejauh yang saya baca, buku ini terus menggugah rasa penasaran saya karena paparannya yang begitu “baru” bagi pengetahuan ini.

Salah satu yang menarik minat saya adalah ketika buku ini membahas tentang pentingnya talent atau talenta seseorang yang menurutnya merupakan faktor prediktif utama bagi keberhasilan seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Buku ini terang-terangan menolak gagasan bahwa semua orang bisa mendapatkan kemampuan/keahlian tertentu asalkan dilatih dengan benar. Buku ini menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki talenta di bidang tertentu (seperti bidang akuntansi misalnya) bisa saja dilatih untuk memiliki kemampuan di sana, namun hasilnya tidak akan pernah bisa se-optimal dengan orang lain yang memang memiliki talenta di situ.

Jadi apa itu talenta? Biasanya kita menyamakan istilah talenta dengan “bakat”. Misalnya, seorang diva, tentu merupakan seseorang dengan bakat menyanyi yang luar biasa. Dengan definisi ini, setidaknya bagi diri saya sendiri, mengasosiasikan “bakat” dengan “bawaan lahir”, atau sesuatu yang memang seolah sudah di-install oleh Tuhan ke dalam diri seseorang ketika dilahirkan. Untuk itu, rasanya masuk akal jika tidak semua orang punya bakat menyanyi, atau memasak, atau menulis, atau bermain sepak bola. Masuk akal juga jika kita berpikir bahwa seseorang bisa saja dilatih menyanyi, memasak, menulis atau bermain sepak bola sehingga dirinya betul-betul piawai melakukannya (ingat dengan teori dari Galdwell tentang apapun bisa dikuasai asalkan melewati 10.000 jam latihan?). Buku ini sekilas berpegang pada “bakat” yang cukup dengan “bawaan lahir”. Namun mereka menjelaskannya dengan sangat baik dari sisi sains, yaitu neuroscience.

Sebelum terlampau menjelaskan tentang talenta menurut buku ini, terdapat 4 baris kalimat yang sering diulang-ulang di buku ini:

People don’t change that much. Don’t waste time trying to put in what was left out. Try to draw out what was left in. That is hard enough.

4 kalimat tersebut kerap diulang di buku ini, seperti menegaskan bahwa setiap orang sudah memiliki talenta-nya sendiri-sendiri, dan mencoba untuk mengembangkan orang tersebut di luar talentanya merupakan hal yang sulit kalau tidak boleh disebut sia-sia.

Buku ini meyakini, berdasarkan hasil wawancara dengan puluhan ribu manajer sukses di dunia, bahwa talenta merupakan saringan mental yang dimiliki oleh seseorang. Saringan mental ini sama uniknya atau sama abadinya dengan sidik jari seseorang. Wow! Kita semua tahu bahwa sidik jari setiap manusia di muka bumi ini adalah unik dan tidak ada yang betul-betul sama. Jika memang demikian, berarti talenta pun sedemikian uniknya, bukan? Meski demikian, buku ini sukses meyakinkan saya bahwa keunikan ini terjadi di tataran otak yang sesungguhnya berkembang jauh pada saat seseorang masih bayi.

Penjelasannya begini. Pada saat baru lahir, otak bayi berisi seratus miliar neurons atau sel otak. Kata para ahli neuroscience waktu itu, jumlah neurons di otak bayi lebih banyak dari jumlah bintang-bintang yang ada di galaksi Milky Way.

Me when I read above statement

Nah, sel otak ini merupakan bahan mentah dari pikiran, namun sel otak bukanlah pikiran itu sendiri. Pikiran bayi dan atau balita ini hidup di antara sel-sel otak ini. Pikiran mereka hidup pada koneksi atau hubungan antara sel-sel otak atau disebut juga dengan synapses (sinapsis). Pembentukkan sinapsis (yang pada gilirannya menghasilkan “pemikiran” atau “pikiran” tertentu) tidaklah instan, dan rasanya buku ini sudah sangat sesuai ketika menggunakan kata “carve” (mengukir) dalam menggambarkan proses sinapsis yang terjadi dalam otak manusia. Menurut buku ini, pada 15 tahun pertama seseorang hidup, di situlah proses pengukiran sinapsis ini sungguh-sungguh terjadi.

Di hari pertama seseorang lahir ke dunia, pikirannya mulai keluar dengan agresif dan kencang. Prosesnya di mulai dari pusat otak, seluruh sel otak yang ada mengirim ribuan sinyal kepada satu sama lain. Sel-sel otak ini mencoba untuk berkomunikasi, menciptakan hubungan. Di tahun ketiga, jumlah sinapsis yang tercipta luar biasa banyaknya.. Berjumlah 15.000 koneksi sinapsis untuk masing-masing 100 miliar sel otak! Namun, koneksi ini terlampau banyak bagi si anak. Dirinya kebanjiran informasi di dalam kepalanya. Untuk itu, selama dan sampai 10 tahun ke depan, otaknya fokus untuk menyuling, menyaring dan mensortir, secara perlahan, semua sinapsis ini. Sinapsis yang kuat tercipta akan terus kuat, sedangkan yang lemah terhubung akan perlahan layu dengan sendirinya. Diambil dari istilah Dr. Harry Chugani, professor neurology di Wayne State University Medical School, proses ini mudah dipahami apabila kita membayangkan lalu lintas jalanan khususnya di jalan bebas hambatan (jalan tol). Kata Dr. Harry: “Jalanan dengan lalu lintas yang banyak dan tinggi akan kian melebar, sedangkan jalanan yang jarang atau tidak pernah dilalui akan rusak dengan sendirinya.”

Meskipun masih banyak ahli yang berdebat tentang mengapa jalanan tertentu tinggi lalu-lintasnya sedangkan jalanan yang lain sepi, banyak dari ahli ini yang sepakat dengan hasil dari proses filterisasi atau pemangkasan mental ini. Kembali ke si anak tadi, ketika usianya memasuki belasan tahun, sinapsis yang dirinya miliki hanya setengah dari ketika dirinya berusia 3 tahun. Otaknya kini sudah memiliki ukiran-ukiran sinapsis yang unik. Otaknya kini memiliki jalan tol sinapsis yang indah, bebas hambatan dan lebar di mana hubungan antara sel-sel otak di sinapsis ini berjalan sangat mulus dan kuat. Namun di sisi lain, otaknya yang sama juga memiliki jalanan sinapsis tandus yang rusak dan penuh lubang tanpa adanya sinyal apapun yang berjalan melintasinya.

Misalnya begini. Jika “empati” berada dalam jalan tol sinapsis di otaknya, dia akan merasa semua emosi yang ada di sekelilingnya seperti miliknya sendiri. Berbeda cerita jika “empati” yang sama malah berada dalam jalanan sinapsis tandus yang rusak dan penuh lubang di dalam otaknya, maka dirinya akan “buta” secara emosional. Dirinya akan kerap mengatakan hal yang tidak seharusnya di katakan dalam banyak situasi (saya jadi ingat karakter Sherlock Holmes dalam serial BBC yang berjudul Sherlock).

Make sense juga ya?

Kebutaan emosional ini bukanlah karena dirinya kejahatan atau kejam, namun sesederhana karena dirinya tidak mampu menangkap serta memproses sinyal emosional yang diterima otaknya.

Nah, buku ini meyakini bahwa sinapsis tersebut adalah filter setiap orang. Sinapsis ini menghasilkan pola-pola berulang yang membuat diri seseorang menjadi unik. Sinapsis ini memerintah mana-mana saja stimuli yang harus direspon dan mana yang harus diabaikan. Sinapsis ini menentukan area-area mana saja seseorang bisa hebat, atau sebaliknya (kembali lagi ke “bakat”). Sinapsis ini mengukir karakter seseorang. Dan menurut neuroscience kala itu, selepas setengah dari masa remaja seseorang, terdapat keterbatasan apabila seseorang ingin menjadi hal-hal di luar dari yang sudah terukir tersebut.

Namun bukan berarti seseorang tidak bisa berubah. Seseorang tetap bisa mempelajari keahlian dan pengetahuan yang baru. Seseorang juga bisa mengubah nilai-nilai dirinya, termasuk dalam hal mengembangkan kesadaran diri yang lebih besar termasuk dalam hal penguasaan diri sendiri. Namun kembali, buku ini percaya bahwa hal-hal tersebut tidak akan pernah mengubah jalanan yang sudah tandus, rusak dan berlubang menjadi jalan tol yang lebar dengan koneksi super kencang. Katanya, seluruh intervensi sadar untuk mengubah jalanan tandus tadi hanya bisa mengubahnya menjadi jalanan yang “cukup layak” untuk digunakan bagi sinyal melintas. Selebihnya tidak bisa.

Kembali ke gagasan sebelumnya bahwa talenta merupakan saringan mental seseorang, maka setiap orang tentunya menjadi unik. Namun demikian, talenta ini bisa dikategorikan, setelah menarik hasil kajian terhadap 150 peranan di dalam dunia kerja yang ditampilkan dalam buku ini. Hal ini kemudian yang menjadi menarik ketika kita mendalaminya lagi menjadi 3 besar kategori dasar talenta yaitu striving talents, thinking talents, and relating talents. Saya akan menulis soal ini di postingan blog ini yang selanjutnya. Until then, take care!

Agile

Saya pernah mendengar istilah ini ketika berdiskusi tentang Lean Management bersama kolega di kantor. Namun belakangan, saya kembali menemui istilah ini ketika istilah “Scrum” berseliweran di timeline Youtube saya.

Rasa penasaran mengantarkan saya ke berbagai artikel yang membahas tentang “Scrum Master” seperti di artikel berbahasa Indonesia ini yang berjudul “Scrum Master: bukan manajer proyek ataupun technical leader” oleh Joshua Partogi.

Membaca tulisan Joshua, saya seperti membaca buku-buku psikologi praktis tentang leadership seperti yang pernah ditulis oleh John C. Maxwell, Robin Sharma and the like. Membaca paparannya membuat saya semakin terheran-heran kenapa hal ini mulai mencuat belakangan ini. Hal-hal seperti servant leadership, leader as a coach, dan organizational change menjadi sentral dari tulisannya. Joshua juga mengetengahkan betapa peranan Scrum Master sering disalah-artikan oleh banyak pihak yang alasannya cukup mengguncang nalar saya.

Joshua menulis: “mayoritas orang-orang melihat kalau semua hal dalam dunia ini terstruktur dengan bentuk pola dominant-submissive. Dalam pola ini, selalu ada peran yang dominant bertanggung-jawab untuk memerintah dan selalu ada orang-orang yang submit kepada orang-orang yang dominan, contoh-contoh dari model ini adalah: guru-murid, raja-rakyat, bos-pegawai, dsb.

I was like:

Tulisan Joshua di atas membuat saya tertegun. Barangkali itu sebabnya mengapa suatu tim tidak benar-benar bisa secara autonomous bergerak mencapai tujuannya, tanpa digerakkan oleh pimpinannya. Kita terbiasa berpikir father’s know best. Yang memerintah dan memimpin pasti tahu jalnnya, yang diperintah manut dan bergerak saja jika memang diminta.

Sampai sini, meski saya cukup terusik dengan presentasi dominant-submissive, saya belum benar-benar memahami tentang “Scrum Master”. Pencarian saya untuk memahami Scrum membawa saya menemukan bahwa istilah “Scrum” erat kaitannya dengan “Agile”. Rupanya scrum merupakan bagian dari agile management secara keseluruhan.

Istilah Agile pertama kali muncul dalam “Manifesto for Agile Software Development” di tahun 2001, seperti dibawah ini:

We are uncovering better ways of developing software by doing it and helping others do it. Through this work we have come to value:

Individuals and interactions over processes and tools
Working software over comprehensive documentation
Customer collaboration over contract negotiation
Responding to change over following a plan

That is, while there is value in the items on the right, we value the items on the left more.

Manifesto tersebut dapat langsung dilihat di websitenya langsung di sini.

Pertama kali membaca manifesto ini saya langsung berpikir, “Oh, ini mungkin metode khusus untuk mereka yang lagi mengembangkan software.”

Namun demikian, tulisan dari Steve Denning di forbes.com yg berjudul “What Is Agile“, perlahan mengubah pemikiran saya. Rasa penasaran yang sedemikian besar membuat saya langsung membeli buku Steve Denning berjudul “The Age of Agile”, yang hingga kini masih saya baca. Sungguh saya ingin melihat bagaimana Agile yg sarat dengan technicality dalam software development bisa diterapkan dalam general management. Dan proses making sense konsep dan praktik Agile dalam konteks manajemen umum bukan sesuatu yang mudah bagi saya hingga saat ini!

Leading Transformation by Andrew Dyer, Grant Freeland, Steve Gunby, and Cynthia DeTar (Boston Consulting Group, 2011)

Berikut adalah terjemahan bebas saya untuk artikel dari BCG tentang memimpin proses transformasi perusahaan. Enjoy 🙂


MEMIMPIN TRANSFORMASI

Wawancara dengan Para Pemimpin Perusahaan di Dunia

 

Banyak CEO yang baru ditunjuk diharuskan mentransformasi perusahaannya selama dirinya menjabat. BCG baru-baru ini mewawancari 11 CEO perusahaan di berbagai belahan dunia yang terbukti sukses mentransformasi perusahaan. CEO-CEO ini memimpin perusahaan-perusahaan di AS, Eropa, Asia, dan Australia yang bergerak di berbagai industri mulai dari manufaktur, keuangan, bisnis online, consumer goods, retail, hingga bidang non-profit.

“Hal pertama yang harus disadari adalah tidak ada formula ajaib untuk transformasi ini. Kalau ada, kita pasti tidak perlu lagi membicarakannya di sini,” kata Archie Norman, nonexecutive chairman-nya ITV.

Meski formula ajaib ini tidak ada, CEO-CEO yang diwawancari ini menggunakan alat kepemimpinan yang sama. Semua CEO yang diwawancara mendiskusikan tiga elemen inti dalam transformasi :

  1. Meraih kemenangan jangka menengah. Hampir semua CEO yang diwawancara mengubah model bisnis perusahaan mereka untuk meningkatkan kinerjanya lebih baik. Para pemimpin ini juga menetapkan (sekaligus berhasil mencapainya) sasaran perusahaan yang sangat ambisius untuk satu hingga tiga tahun ke depan.
  2. Mendanai proses transformasi. Meski sudah memiliki sasaran yang ambisius dengan waktu pencapaian yang ketat, mengubah model bisnis itu perlu waktu. Semua pemimpin yang diwawancara berhasil menciptakan keberhasilan-keberhasilan jangka pendek (quick wins) untuk membangun kredibilitas program mereka, dalam rangka menghadapi tekanan-tekanan jangka-pendek sekaligus berinvestasi untuk berberlangsungan program jangka panjang mereka. Semua pemimpin—meskipun sedang tidak dihadapi oleh krisis—perlu menemukan dan mengembangkan modal politis yang mereka butuhkan untuk transformasi jangka panjang perusahaan.
  3. Membangun tim, organisasi, dan budaya yang tepat. Semua CEO memiliki sudut pandang yang sama terkait hal ini. Semua visi dan agenda perubahan, sebaik apapun akan gagal jika orang-orang di dalamnya tidak memiliki mindset dan komitmen bersama. Selain itu, untuk mendorong dan mempertahankan perubahan, diperlukan talenta dan budaya perusahaan yang tepat.

Meraih Kemenangan Jangka Menengah

Tujuan akhir dari transformasi adalah untuk menciptakan masa depan yang menggugah dan menggairahkan—serta untuk menciptakan nilai perusahaan yang lebih besar. Transformasi yang sukses memerlukan pemikiran ulang fundamental terhadap organisasi dan strateginya, termasuk pergeseran terkait arah perusahaan. Transformasi tidak akan berhasil di lingkungan business-as-usual. Transformasi harus dibangun di atas keberanian dan ketangguhan.

Transformasi tidak diciptakan melalui satu upaya yang efektif, tetapi harus berkali-kali. Banyak dari CEO yang diwawancara mengungkapkan bahwa mereka sudah mengambil berbagai langkah yang berani dan tegas untuk menempatkan perusahaan mereka di atas pijakan yang lebih kuat. Langkah-langkah tersebut seperti ekspansi geografis, pengembangan produk baru, hingga inisiatif-inisiatif untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Tidak ada seorang CEO-pun yang berjudi dengan program transformasinya. Semua pemimpin mengambil langkah ini melalui manajemen resiko yang sangat baik.

Contohnya di Hilton Worldwide. CEO Chirstopher J. Nasseta mencanangkan ekspansi Hilton secara global dengan memfokuskan dirinya ke pasar-pasar yang masih berkembang (developing market). Hal yang serupa juga dilakukan oleh CEO Kraft Food, Irene Rosenfeld pada tahun 2006 yang menyadari perlunya berbisnis di pasar yang masih berkembang. Irene menghabiskan 27 miliar dollar AS untuk mengakuisisi LU dan Cadbury, dan berhasil meningkatkan keberadaan merk Kraft di India dan Cina.

Louis Vachon, CEO National Bank Financial Group menggeser fokus perusahaannya dari pengendalian biaya menjadi pertumbuhan perusahaan—di masa gejolak krisis keuangan dunia. “Merupakan suatu pekerjaan yang besar ketika ingin memindahkan perusahaan yang berfokus ke optimasi, efisiensi, dan pengelolaan biaya menjadi perusahaan yang berfokus pada pertumbuhan, produk baru, pasar baru, dan pelanggan baru,” kata Louis. “Jika Anda memakai strategi optimasi, maka Anda akan terfokus meminimalisir biaya di cabang-cabang Anda. Kalau Anda pindah ke strategi untuk pertumbuhan, Anda akan pastikan supaya Anda memiliki lebih banyak orang di cabang-cabang Anda. Kini, kami sudah merekrut 300 orang di seluruh cabang yang ada.”

David Brennan, CEO AstraZeneca sudah mempersiapkan perusahaannya menghadapi penurunan pendapatan yang besar disebabkan oleh habisnya masa paten obat-obat yang selama ini menyumbang porsi terbesar bagi pendapatan AstraZeneca. David sudah bersiap meskipun kejadian ini baru akan terjadi di beberapa tahun mendatang. “Anda tidak bisa baru mencanangkan untuk berubah di hari pas patennya sudah habis,” katanya.

Tetapi transformasi bukan hanya mengenai langkah baru yang berani atau arah baru. Banyak juga transformasi yang berfokus untuk membentengi strategi tradisional perusahaan yang secara fundamental sangat penting. Seperti yang dilkukan oleh Rosenfeld di Kraft. Rosenfeld mengatakan bahwa selama ini perusahaannya sangat berfokus pada pengendalian biaya sedemikian hingga mereka tidak bisa melihat peluang yang ada. Dirinya kala itu berhasil memperbaiki arah Kraft dengan memimipin akuisisi LU dan Cadbury sekaligus memperkuat merk Kraft yang sudah ada seperti Oreo, Jell-O, Maxwell House, dan Philadelphia cream cheese.

“Sangat jelas bahwa masalah kami bukan ada di kategori produk. Tetapi konsentrasi kami di kategori-kategori tersebut,” kata Rosenfeld. “Pelanggan kami mengkonsumsi keju, daging, dan mereka juga meminum kopi. Masalahnya mereka tidak mengkonsumi produk kami di kategori keju, daging, dan kopi. Jadi ide besarnya adalah apa yang harus kami lakukan untuk bertumbuh di kategori tadi.”

Semua transformasi memerlukan visi yang mampu menghimpun orang-orang. Dengan banyaknya program dan inisiatif perubahan, para karyawan membutuhkan suatu image atau kalimat yang mewakili keseluruhan aktivitas transformasi dengan jelas dan koheren. “Saya mulai dengan sebuah slogan, “One Client, One Bank,” kata Vachon. “Meskipun banyak sekali yang tengah terjadi kala itu, orang-orang kami mampu untuk tetap berfokus pada transformasi. Mereka menyadarkan harapan mereka dengan sungguh-sungguh pada masa depan perusahaan, sehingga semangat mereka tidak lantas turun ataupun terpengaruh dengan semua pemberitaan negatif tentang industri keuangan waktu itu.”

Di Kraft, Rosenfeld meluncurkan program transformasinya dengan slogan “Let’s Get Growing”. Dirinya menjelaskan, “Slogan saya ini merupakan seruan untuk segera bertindak sekaligus sebagai pengingat bahwa perusahaan ini sudah babak belur kehilangan kepercayaan dirinya.”

Ketika Brian Gallagher mengambil alih kursi CEO United Way of America di tahun 2002, fokus utama LSM ini ketika itu terbelah menjadi dua yakni penggalangan dana (fundraising) dan program-program yang berimbas kepada pengembangan komunitas (community impact). Salah satu sasaran Brian ketika memimpin adalah menggembleng seluruh organisasinya dengan slogan “Mission and Purpose”.

“Kala itu kami sangatlah terpecah-belah menjadi dua kubu, namun saya punya firasat bahwa sesungguhnya semua orang di sini ingin kembali ke komunitas dan perubahan sosial,” kata Gallagher. “Jadi, hal pertama yang kami lakukan adalah sama-sama bersepakat menuju misi utama itu. Dan rupanya kami bisa melakukannya dengan cepat.”

Komunikasi merupakan alat untuk memastikan agar karyawan berfokus pada hal seharusnya. Di Hilton Worldwide, Nasseta ingin 135.000 karyawannya berkonsentrasi pada program peningkatan budaya, kinerja, merk, dan ekspansi global. “Kapan saja saya bicara tentang empat hal ini, saya ibarat sedang menyanyikannya dari puncak gunung—saya membicarakannya kapan saja di mana saja, kepada siapa pun. Hal ini saya lakukan supaya orang-orang menyadari betul bahwa kita ingin menyalurkan energi dan perhatian kita kepada empat hal ini dibandingkan hal yang lain.. Hal lain yang mungkin sama baiknya tetapi tidak akan menolong perusahaan ini dalam jangka panjang,” ungkap Nassetta.

Hal senada juga diungkapkan oleh Brennan yang menyebutkan bahwa salah satu peranan utama seorang CEO adalah untuk menyediakan saluran komunikasi dan pembicaraan yang terus menerus terkait topik-topik kunci yang menjadi spirit utama dari transformasi perusahaan. “Ketika suatu saat kita pembicaraan kita tidak nyambung dengan topik diskusi atau tidak ada di daftar prioritas transformasi, kita sebagai CEO harus mengangkat tangan dan berkata, ‘Itu mungkin penting, tetapi kita sudah sepakat bahwa kita hanya akan berfokus pada tiga atau empat hal ini. Ayo kita fokuskan waktu dan energi kita untuk hal-hal tadi.’ Jadi, produktivitas research and development (riset dan pengembangan), kesempurnaan komersial, dan operasi yang menunjung tinggi etika bisnis, itu adalah hal yang tidak bisa Anda delegasikan.”

Mendanai Proses Transformasi

Proses transformasi biasanya memakan waktu bertahun-tahun, tetapi para pemimpin transformasi tidak otomatis memiliki waktu yang lenggang selama bertahun-tahun ini. Mereka dituntut untuk segera mendemonstrasikan hasilnya sesegera mungkin. Tuntutan ini datang biasanya dari pemilik perusahaan, pemegang saham, bursa saham, termasuk karyawan mereka yang kesemuanya menginginkan hasil segera yang tangible. Banyak juga diantara para pemimpin transformasi ini yang harus mengatur sumber daya yang mereka miliki untuk mendanai pergeseran strategis yang dibutuhkan dalam rangka kesuksesan transformasi perusahaan mereka.

Dalam wawancara, banyak pemimpin yang mengatakan bahwa mereka harus bekerja dengan dua kecepatan yang sama. Mereka harus terus menangani krisis-krisis jangka pendek sebagai hasil dari program mereka, di mana di saat yang bersamaan mereka juga harus membangun fondasi yang kuat untuk masa depan perusahaan mereka. Salah satu tantangan terbesar dari transformasi adalah mengelola kedua hal ini secara bersamaan karena keduanya memiliki kontribusi yang sama terhadap kesuksesan transformasi.

“Anda harus membuat perubahan jangka-pendek yang nyata, agar perbaikkan itu terasa segera,” kata Ian McLeod, CEO Coles, jaringan supermarket Australia yang kini tengah berada di masa transformasi lima-tahunan. Sukses jangka pendek ini membangun kepercayaan-diri karyawan sambil menunjukkan bahwa mereka bisa berbuat lebih baik lagi di masa mendatang.

Ketika terjadi krisis finansial global, Chanda Kochhar, CEO dari ICICI Bank mengubah orientasi bank terbesar kedua di India ini yang semula berfokus pada pertumbuhan dan ekspansi, menjadi pengurangan resiko dan biaya. Dirinya banyak menghabiskan banyak waktu berbicara langsung dengan karyawannya terkait kebutuhan jangka-pendek bank mereka serta sasaran-sasaran jangka menengahnya.

“Berbicara tentang strategi kami secara langsung dan apa adanya benar-benar membantu,” kata Kochhar. “Apa yang kami bicarakan adalah sambil menjalani periode ini di satu hingga dua tahun mendatang, kita melakukan semua ini untuk menjadi lebih efisien. Tujuannya, dua tahun kemudian kita akan mulai bertumbuh dengan nilai ROE (return on equity) dan ROA (return on assets) yang akan lebih tinggi. Saya pikir orang akan mulai melihat hal ini sebagai sasaran jangka menengah ketimbang menjadi gambaran satu tahunan. Hal ini terbukti membuat semangat karyawan lebih stabil.”

Delayering atau dengan kata lain, menghilangkan lapisan hierarki yang tidak perlu di struktur organisasi menjadi salah satu tools paling favorit untuk jangka-pendek bagi para pemimpin ini. Delayering berfungsi untuk menghemat dan menciptakan lebih banyak kejelasan (clarity). Melalui upaya delayering dan program restrukturisasi lainnya, Martin Daum, CEO Daimler Trucks North America mampu menghasilkan tambahan cashflow senilai 1 miliar dollar AS setelah perusahaannya mengalami penurunan 50% di market volume ketika masa resesi. “Organisasi yang besar itu tumbuhnya secara organik,” tutur Daum. “Secara rutin mempertanyakan posisi kita merupakan latihan yang bagus.”

Di tahun 2007, ketika Nassetta mengambil alih kepemimpinan di Hilton Worldwide (Hilton Worldwide bertumbuh besar dengan banyak melakukan akuisisi), dirinya berhasil menghilangkan lapisan hierarki di struktur manajemen Hilton beserta inefisiensi-inefisiensi yang telah ada selama bertahun-tahun. “Sebelumnya, kami memiliki hierarki yang berlapis-lapis di berbagai fungsi yang ada. Ini berarti pengambilan keputusan yang lebih lama dan tentu ini sangat menghambat,” kata Nassetta menjelaskan. “Struktur biaya kami membengkak dan ini harus ditangani. Tentu akan banyak manfaat kalau kami bisa lebih efektif.” Nasseta juga menambahkan, “Kami memanfaatkan efisiensi dan penghematan yang ada untuk mengalokasikannya untuk pengembangan sumber daya yang kita miliki di seluruh dunia, termasuk untuk mengembangkan sumber daya teknis layanan, dan untuk mengembangkan tenaga penjual kami agar kami mampu memiliki daya saing yang lebih baik.”

Pendekatan lain untuk melakukan pendanaan terhadap perjalanan transformasi perusahaan adalah dengan mengevaluasi ulang sumber pendanaan, evaluasi ulang strategi harga, dan alokasi penggunaan aset perusahaan. Apapun pendakatan yang diambil, para pemimpin harus memiliki cara untuk terus memonitor progress transformasi terutama jika transformasi-nya melibatkan restrukturisasi yang kompleks dengan banyak sekali program. “Anda memerlukan semacam alat IT untuk menolong Anda memonitor ukuran dan pencapaian sasaran yang berbeda-beda untuk kemudian mengambil kesimpulan dan langkah-langkah lanjutan secara komprehensif,” kata Daum.

Langkah awal transformasi sudah terbukti merupakan langkah yang sulit bagi beberapa perusahaan—seperti misalnya, pemecatan masal, penutupan kantor atau pabrik, dan langkah divestasi. Komunkasi efektif menolong para karyawan mengatasi rasa sakit jangka pendek yang disebabkan oleh pengalaman ini dan bersama-sama menuju sasaran utama transformasi.

“Saya ingin orang-orang ikut dengan sukarela akan upaya transformasi ini. Saya ingin orang-orang menyadari betapa pentingnya langkah ini untuk kesuksesan perusahaan. Saya ingin mereka mengatakan, “Ya ini benar sekali. Kami ingin perusahaan sukses. Kami ingin mendukung upaya ini sepenuhnya meskipun ini akan sulit,” kata Norman.

Membangun Tim, Organisasi, dan Budaya yang Tepat

Titik kulminasi transformasi adalah eksplorasi dari orang-orang didalamnya, termasuk eksplorasi organisasi dan budayanya. Transformasi memerlukan fokus, komitmen, dan keterlibatan seluruh elemen perusahaan. Rencana sebaik apapun pasti gagal ketika tidak dibarengi dengan keterlibatan orang-orang di dalamnya.

Norman, yang sudah terlibat di berbagai upaya transformasi sejak saat dirinya di Asda mengungkapkan, “Dibalik kegagalan finansial ada kegagalan organisasi.” Hal ini menunjukkan betapa krusialnya memprioritaskan karyawan, organisasi, dan budaya perusahaan dalam setiap upaya transformasi.

Di antara 11 pemimpin yang diwawancara, Jasmine Whitbread adalah salah satu yang mengalami langsung tantangan terbesar dari perubahan organisasinya. Pada tahun 2010, dirinya ditunjuk menjadi CEO internasional pertama di Save the Children yang membawahi 29 organisasi—yang mana para pemimpin dari ke-29 organisasi itu tidak melapor langsung ke Jasmine. Jasmine berupaya untuk menciptakan organisasi yang memiliki kekuatan dalam hal skala (29 organisasi di seluruh dunia) tetapi juga memprioritaskan pentingnya kolaborasi di antara ke-29 organisasi ini.

“Bahkan kalau orang-orang itu melapor kepada Anda, Anda tetap harus meraih dukungan orang-orang itu,” kata Jasmine. “Pastikan Anda memiliki tim inti transformasi. Tidak perlu terlalu banyak. Tim inti ini terdiri dari orang-orang kunci yang akan melakukan perjalanan transformasi dengan Anda. Pastikan Anda mengembangkan orang-orang ini.”

Banyak pemimpin berpendapat bahwa mereka harus pertama mengubah pucuk atas organisasi dalam rangka menciptakan kesatuan tujuan transformasi. Hal ini setidaknya disampaikan di AstraZeneca, Coles, Hilton Worldwide, Kraft Foods, National Bank Financial Group, dan United Way. “Sangat jelas siapa-siapa saja yang paham dan tidak,” kata Rosenfeld. “Kuncinya apakah para pemimpin itu sudah satu perahu dengan kita. Pengalaman saya mengatakan, jika mereka tidak cepat-cepat satu perahu dengan kita, biasanya mereka tidak akan pernah satu perahu pada akhirnya.”

Umumnya, setiap upaya perubahan akan diikuti oleh akuntabilitas yang kian besar, terutama di jajaran pemimpin senior perusahaan. “Ketika saya mengambil pekerjaan ini, salah satu yang terus saya lakukan adalah mendorong akuntabilitas dan tanggung-jawab secara merata ke jajaran di bawah saya,” kata Brennan. “Saya memiliki orang-orang yang bergaji sangat besar yang kerap mendatangi saya agar saya mengambil keputusan untuk mereka. Ketika keputusan bisa diambil oleh diri mereka sendiri di level mereka, saya akan katakan demikian.”

Para pimpinan perusahaan ini setuju bahwa merubah mindset pemimpinan senior adalah salah satu kunci penting apabila transformasi perusahaan ingin sukses. Mereka juga percaya kalau mindset organisasi mereka juga harus dirubah. Karena perubahan tidak bisa berhenti di pucuk saja. Perubahan harus meresap hingga ke level paling bawah di seluruh organisasi. Dalam wawancara yang sudah dilakukan, para pemimpin ini sering berpergian hingga ke jajaran frontline perusahaan, mengerahkan segala upaya mereka untuk melibatkan hati dan pikiran karyawan mereka sembari terus memonitor perubahan budaya dan semangat para karyawan.

Daum berhasil menciptakan mindset yang tepat untuk kesuksesan transformasi perusahaan dengan cara melibatkan seluruh karyawannya. “Semua orang akan selalu ter-inform akan progress transformasi yang berlangsung,” kata Daum. “Semua orang dipastikan mengetahui dan memahami bagiannya dalam proses transformasi yang berlangsung. Semua orang dipastikan terlibat dalam beberapa program inisiatif transformasi yang sudah kami rancang. Karyawan kami mengetahui bahwa setiap dari mereka adalah bagian penting untuk kesuksesan transformasi secara keseluruhan. Mereka sangat paham jika salah satu dari mereka gagal, perusahaan bisa saja tidak berhasil bertransformasi dengan sukses.”

Di Coles, McLeod tidak pernah lupa memberi penghargaan bagi karyawannya atas setiap pencapaian yang mereka telah lakukan. “Dalam suasana transformasi yang cenderung berintensitas tinggi, kita terlalu terfokus pada perbaikan-perbaikan sehingga kita suka lupa memberi penghargaan pada mereka-mereka yang sudah bekerja keras menghasilkan perbaikan-perbaikan itu. Penghargaan dan pengakuan akan keberhasilan karyawan adalah penting,” katanya.

Salah satu perusahaan internet terbesar di Jepang, Rakuten, telah berada di masa transformasi sejak pendiriannya pada tahun 1997. Rakuten sudah melebarkan usahanya dari e-commerce ke bidang-bidang lain seperti keuangan, travel, content, sekaligus menjadi pemilik bagi beberapa klub olahraga di dunia—mulai dari di Jepang, Cina, hingga ke AS dan Eropa.

CEO Rakuten Hiroshi Mikitani mengatakan bahwa pengembangan filosofi bisnis perusahaan-lah yang menolong Rakuten terus mengalami sinergi dan kesejajaran (alignment) ketika mereka ekspansi ke bisnis dan pasar yang baru. “Kami mengambil komponen inti dari praktek manajemen kami—yaitu, budaya perusahaan, konsep brand Rakuten, dan praktek bisnis Rakuten—untuk kami gabungkan menjadi filosofi bisnis perusahaan,” kata Mikitani.

“Kami mengatakan kepada para manajer kami untuk berpegang teguh pada kerangka dasar dan fondasi inti dari praktek bisnis perusahaan kami,” Selama para manajer Rakuten mematuhi dasar-dasar atau inti praktek di Rakuten, Mikitani memberi mereka kebebasan penuh untuk menjalankan fungsinya masing-masing.

Para CEO harus secara aktif memonitor keterikatan karyawan (employee engagement) sepanjang waktu—terutama di masa transformasi. “Di Asda, saya bisa mengetahui bagaimana keadaan para sales kami melalui survey sikap dan semangat kerja karyawan. Jika saya melihat ada sikap yang tidak baik, turnover yang tinggi, dan absen kerja yang tinggi, maka saya bisa tahu kalau saya sedang ada masalah dengan penjualan,” kata Norman. “Motivasi karyawan adalah inputnya, penjualan dan kinerja keuangan adalah output-nya.”

Kesimpulannya, transformasi yang sukses berasal dari fokus yang tak terputus terhadap tiga elemen inti transformasi di atas. Seorang CEO yang berfokus untuk menciptakan kemenangan-kemenangan jangka menengah, menyediakan dana atau modal untuk bertransformasi, serta berfokus untuk membangun tim, organisasi, dan budaya yang tepat akan sukses dalam menjalankan agenda transformasinya sekaligus berhasil menciptakan warisan kepemimpinan yang bertahan lama.

The Medium and The Message : Communicating Effectively During a Major Change Initiative by Joanna Goodman & Catherine Tuss (2006)

Berikut adalah terjemahan bebas saya untuk artikel tentang berkomunikasi di masa perubahan oleh Joanna Goodman & Catherine Tuss (2006). Enjoy 🙂


MEDIA DAN PESANNYA : BERKOMUNIKASI EFEKTIF DI MASA-MASA PERUBAHAN

ABSTRAK

Cara perusahaan berkomunikasi dengan karyawannya di masa-masa transformasi telah terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan transformasi itu, khususnya terhadap komitmen, semangat, dan retensi karyawan. Artikel kali ini akan membahas strategi komunikasi dari dua perusahaan ketika mereka mengalami transformasi beserta bagaimana imbasnya terhadap karyawan mereka. Ditemukan ternyata proses dan isi komunikasi adalah yang paling penting, khususnya adalah timing pesan, cocok-tidaknya strategi komunikasi dengan profil karyawan, penggunaan media atau saluran komunikasi yang tepat, serta fleksibilitas pesan dan upaya untuk meminimalisir ketidak-pastian. Berdasarkan penemuan penulis artikel ini, mereka akan menyampaikan model komunikasi internal yang efektif ketika perusahaan sedang bertransformasi.


Sudah banyak dibuktikan bahwa komunikasi yang efektif dan tepat adalah elemen vital bagi kesuksesan transformasi perusahaan (Lewin, 1951; Goodstein and Warner-Burke, 1991; Kotter, 1996). Komunikasi yang tepat akan sangat menolong karyawan memahami alasan mengapa harus berubah serta apa efek dari perubahan itu bagi diri mereka masing-masing. Pemahaman karyawan seperti ini, menurut para peneliti merupakan syarat pertama apabila transformasi perusahaan ingin sukses (Armenakis dan Harris, 2002; Balogun dan Hope-Hailey, 2003). Komunikasi yang tepat juga dipercaya bisa mengurangi penolakkan, mengurangi ketidak-pastian, meningkatkan komitmen dan keterlibatan karyawan dalam mendukung transformasi (Klein, 1996). Di level organisasi, komunikasi telah terbukti memegang peranan penting bagi para agen perubahan ketika mereka hendak mengubah budaya, struktur, dan norma perusahaan (Deal dan Kennedy, 1982; Lok dan Crawford, 1999; Pinnington dan Edwards, 2000).

Meski komunikasi dianggap sangat krusial untuk proses perubahan, peneliti Harkenss (2000) menemukan bahwa kepuasan karyawan terus menurun setelah menemukan puncaknya (di angka 50%) pada tahun 1987. Untuk, itu menentukan metode dan isi komunikasi yang tepat merupakan hal yang kompleks bagi para agen perubahan.

Metode Komunikasi

Metode komunikasi adalah mengenai timing dan salurannya (media komunikasinya). Menurut Klein (1996) konten dan media komunikasi haruslah fleksibel seiring dengan bergeraknya program-program transformasi. Strategi komunikasi yang statis atau itu-itu saja dinilai tidak efektif.

Terkait saluran atau media komunikasi agen perubahan bisa menggunakan semua saluran yang ada baik secara verbal, tulisan, maupun elektornik (Klein, 1996; Pitt et al., 2001). Menurut Balogun dan Hope-Hailey (2003) media komunikasi harus senantiasa dicocokkan dengan tingkat kepentingan dan kompleksitas pesannya begitu juga agar dicocokkan dengan tahapan transformasi.

Effective Communication

Apapun saluran atau media yang dipilih untuk berkomunikasi, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa komunikasi harus berjalan dua arah. Teori-teori komunikasi sudah jelas menyebutkan bahwa komunikasi yang efektif itu bergantung pada apakah pesan yang diterima sudah sesuai dengan maksud yang mengirimkan pesan tersebut. Untuk memastikan kesesuaian makna diantara pemberi pesan dengan penerima, harus dipastikan bahwa terdapat saluran yang menyediakan fasilitas interaksi dan umpan balik untuk memastikan terjadinya kesesuaian (Klein, 1996; Johnson and Scholes, 2002). Perlu juga diperhatikan bahwa peranan manajer fungsi utama (line managers) dan pemimpin opini (opinion leaders) di perusahaan adalah yang paling krusial dalam rantai komunikasi organisasi.

Selain saluran-saluran yang ada, peneliti juga menyebutkan pentingnya menggunakan jaringan komunikasi informal dalam organisasi. Hal ini bisa dilakukan melalui kelompok-kelompok karyawan atau melalui komunikasi online (Lok dan Crawford, 1999).

Konten Komunikasi

Konten komunikasi adalah isi informasi apa yang disampaikan kepada karyawan sebelum transformasi, ketika masa transformasi, dan juga setelah transformasi perusahaan selesai. Konten komunikasi juga melibatkan informasi apa yang perlu didapat dari karyawan untuk kelancaran proses transformasi.

Kitchen dan Daly (2002) menyebutkan terdapat tiga tipe informasi yang mempengaruhi karyawan secara langsung ketika perusahaannya bertransformasi : (1) apa yang harus (must) diketahui karyawan seperti informasi spesifik terkait pekerjaan mereka masing-masing, (2) apa yang sebaiknya (should) diketahui karyawan terkait perusahaan, dan (3) apa yang bisa (could) diketahui oleh karyawan seperti hal-hal trivial semacam gosip, dll. Selanjutnya, tujuan dari isi atau konten komunikasi adalah :

  1. Menyebar-luaskan (Joffe and Glynn, 2002)
  2. Melibatkan karyawan dengan menerima masukkan dari mereka terkait proses dan isi perubahan perusahaan (Kitchen dan Daly, 2002)
  3. Meminimalisir ketidak-pastian (Klein, 1996)
  4. Mengatasi hambatan perubahan (Carnall, 1997)
  5. Mendapatkan komitmen dari karyawan (Kotter, 1996)
  6. Upaya mengubah status quo (Balogun dan Hope-Hailey, 2003)

Studi Kasus

Terdapat dua perusahaan yang jadi studi kasus kali ini. Mereka adalah PubCo dan OilCo. PubCo memiliki perusahaan sekitar 100 orang yang merupakan organisasi non-profit di sektor publik. PubCo memproduksi laporan harian untuk parlemen. Sejak 1997, PubCo mengalami perubahan setelah mondernisasi parlemen dan metode produksi laporan elektronik. Perubahan ini juga ditambah dengan perubahan di level manajemen atas PubCo serta rotasi setengah staff PubCo ke lokasi yang berbeda-beda. Di masa transformasi ini, PubCo mengalami turnover karyawan yang cukup tinggi sekitar 20 – 25% per tahun. Turnover ini jumlahnya jadi berlipat-ganda di bulan ke-6 setelah terjadi perubahan di top management di tahun 1997. Perubahan yang menjadi fokus studi ini adalah bagaimana PubCo mensosialisasikan jam kerja baru, imbas perubahan terhadap gaji karyawan termasuk kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi gaji mereka, seperti misalnya, hilangnya lembur, yang selama ini menjadi proporsi cukup banyak bagi gaji mereka selama ini.

Perusahaan kedua bernama OilCo, konsultan di bidang eksplorasi minyak. Bisnis OilCo sifatnya berfokus per proyek yang mana karyawan mereka mereka biasa disebar ke kantor atau tempat kerja klien mereka baik itu di lepas pantai maupun di luar negeri. OilCo tengah mencanangkan strategi pertumbuhan perusahaan di mana mereka juga memang telah bertumbuh 50% dari sisi pendapatan pada 3 tahun terakhir ini. Perubahan besar yang dialami OilCo adalah kemungkinan memindahkan kantor pusat OilCo yang tadinya berada di London.

Studi Kasus—Konteks Perubahan

Kedua perusahaan ini merupakan organisasi dengan ceruk pasar khusus yang hanya memiliki karyawan sekitar 100 orang. Kedua perusahaan ini juga dipaksa berubah oleh faktor eksternal. Untuk kasusnya PubCo perubahan besarnya adalah perubahan jam kerja yang sudah diresmikan oleh Perdana Menteri. Untuk OilCo, perubahannya adalah relokasi kantor pusat mereka karena masa sewa kantor sekarang sudah habis.

Atas perubahan ini, kedua perusahaan ini berusaha meminimalisir efek-efek negatif yang mungkin terjadi pada produktivitas, efisiensi, hubungan karyawan, semangat, dan retensi. Keduanya tidak punya niat untuk melakukan downsize.

Studi Kasus—Komunikasi yang Dilakukan Selama Transformasi

Perspektif Manajer

Manajer-manajer baru PubCo sepakat bahwa terdapat kurang komunikasi terkait upaya perubahan ini. Saluran komunikasi internal digunakan untuk menyampaikan kepada karyawan bahwa perubahan sudah tidak mungkin dihentikan lagi. 30% karyawan yang mendapatkan efek secara finansial tidak diberikan kompensasi apa-apa, dan para manajer-pun mengambil sikap “wait and see”. Karena itu, para manajer itu merasa tidak ada apa-apa ketika ada reaksi negatif dari para staff-nya, termasuk terdapat kemungkinan peningkatan turnover di masa transformasi ini. Perubahan ini sudah diumumkan sejak Juli 2002 dan diimplementasi di Januari 2003, tetapi rapat dengan seluruh karyawan terkait perubahan ini baru dilaksanakan pada bulan Oktober 2002. Satu manajer berkomentar, “Melihat reaksi orang-orang untuk berubah setelah perubahan itu dicanangkan, terlihat baik, tetapi itu tidak efektif.”

Para manajer ini setuju bahwa wadah untuk komunikasi dua-arah sangatlah kurang di program transformasi ini. Mereka juga merasa bahwa para karyawan tidak mengeluarkan respon apa-apa di rapat dengan karyawan sebelumnya. “Kalau memang karyawan tidak mau terlibat, ya jangan komplen sama hasilnya,” cetus salah seorang manajer. Manajer-manajer baru ini juga tidak berkesempatan untuk mengadakan masa transisi dari pemberlakuan jam kerja baru ini. Kata mereka, “Perubahannya sudah datang dan kita harus betul-betul berubah. Pendekatan yang mereka lakukan selama masa perubahan ini adalah business as usual, walaupun isi perubahan ini (tidak ada lembur) sama sekali bukanlah business as usual.

Mereka merasa karyawan tidak terinformasi dengan baik, ditambah dengan fakta bahwa tim manajer baru ini tidak diakui secara eksplisit bahwa mereka juga bertindak sebagai saluran komunikasi untuk perubahan ini. Sebagai konsekuensinya, jaringan informal mendominasi.

Di PubCo tidak ada desain strategi komunikasi yang jelas dari atas. Manajer yang lain menyoroti bahwa tim manajemen PubCo tidak memiliki banyak kuasa terhadap perubahan ini. Keputusan datang dari negara (Perdana Menteri) dan manajemen PubCo tidak punya banyak pilihan untuk mengimplementasinya segera. Di samping itu, PubCo juga kurang berpengalaman dalam mengelola perubahan hal ini berimbas pada tidak ada strategi komunikasi perubahan yang jelas. Ketika mereka bertransformasi di tahun 1997, penanganannya sangat buruk.

Manajer di PubCo sadar bahwa perubahan seperti ini akan berdampak pada rekrumen retensi karyawan, namun mereka sepakat bahwa mereka tidak punya banyak ruang untuk mengatasi persoalan ini. Tidak ada bukti bahwa PubCo memberikan imbalan atau memberi penghargaan bagi karyawan yang berkontribusi kepada program perubahan. Terdapat juga concern bahwa staff tidak tidak menyadari bahwa para manajer tidak bisa berbuat apa-apa terkait gaji dan benefit di PubCo paska tuntutan berubah ini. Kata para manajer, “staff merasa kalau kita tidak memberikan mereka informasi yang cukup, sedangkan kita juga tidak cukup memberitahu mereka kalau kita sama tidak tahunya,”

Terjadi hal yang berbeda OilCo. Semua manajer sadar akan adanya sistem komunikasi dan strateginya yang sudah jelas sejak awal untuk menjalankan transformasi mereka. Hal ini menjadi penting karena staff OilCo tersebar di berbagai penjuru dunia. Seorang manajer mengatakan, “manajemen OilCo sadar bahwa semakin banyak mereka menginformasikan karyawannya, semakin besar input yang bisa mereka dapat. Pendekatan komunikasi yang penuh keterbukaan akan mengurangi penyebaran isu-isu yang menyesatkan yang mengakibatkan insekuritas karyawan.” Manajemen OilCo memutuskan untuk menginformasikan karyawan 2 tahun lebih awal.

Mereka memulai dengan mengirimkan memo kepada seluruh karyawan terkait mengapa mereka harus pindah serta implikasik kepindahan kantor ini terhadap berbagai opsi bonus pool serta menanyakan pada mereka preferensinya masing-masing. Mereka meng-hire konsultan eksternal untuk menemukan kebutuhan para manajer dan staff-nya. Salah satu manajer senior berkata “kami ingin melakukan ini semua dengan benar.. Survey dan konsultansi eksternal itu ibarat mengadakan forum terbuka antar kami dan karyawan.”

Media komunikasi utama yang digunakan oleh OilCo adalah pertemuan tatap muka, dikombinasikan dengan email dan surveys, di mana semua ini didesain untuk juga memancing input dan feedback dari karyawan. OilCo juga mendesain sistem pemberian imbalan bagi siapa saja yang saran dan masukkannya bermanfaat untuk profitabilitas, efisiensi perusahaan.. Ditambah, prestasi-prestasi individu pun dirayakan dengan baik.

Perlu diakui bahwa jenis perubahan OilCo lebih ringan dan mudah ketimbang PubCo.

Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa PubCo mengadopsi pendekatan komunikasi yang lebih reaktif, di mana OilCo sudah mengembangkan pendekatan komunikasi yang lebih strategis, mengundang keterlibatan dari seluruh karyawan, termasuk memberikan insentif positif bagi siapapun yang berkontribusi.

Perspektif Karyawan

Mayoritas karyawan PubCo mengetahui tentang rencana perubahan besar ini dari laporan Komite Publik (84%), ketimbang mengetahuinya langsung dari pimpinan mereka. 42%-nya sudah mengetahui dari rapat-rapat dan 36%-nya dari email dan memo. Menariknya, sekitar 39% mengetahuinya dari rekan kerja mereka yang mana menunjukkan eksistensi kuat dari jaringan komunikasi informal antar karyawan.

Di OilCo, 40% karyawan mengetahui tentang perubahan perusahaan dari dari rapat karyawan atau melalui email dan memo (47%). Sekitar 27% mendengar dari rekan kerja mereka.

Dalam hal pengetahuan bahwa perubahan ini akan berefek pada penghasilan mereka, 77% karyawan PubCo tidak mengetahui akan implikasi perubahan perusahaan mereka terhadap gaji mereka, di mana di OilCo hanya 40% saja. Cukup mengejutkan apabila 40% karyawan OilCo tidak mengetahui tentang implikasi perubahan perusahaan mereka terhadap penghasilan mereka, mengingat strategi komunikasi mereka telah dirancang sedemikian-rupa.

Terkait konsultansi kepada karyawan terkait perubahan, hanya 16% dari karyawan PubCo yang mengaku bahwa mereka pernah diminta pendapat terkait perubahan di perusahaan mereka. Di OilCo, angka ini mencapai 60%. Lagi-lagi cukup mengejutkan apabila terdapat 40% karyawan OilCo yang mengaku tidak dimintai pendapat terkait perubahan ini.

Responden juga ditanya apakah mereka ingin dimintai pendapat terkait perubahan di dalam perusahaannya. 90% responden di Pubco dan 67% di OilCo menjawab ya.

Dalam survey juga ditanyakan saluran komunikasi mana yang menjadi preferensi utama mereka bagi perusahaan dalam mengkomunikasikan perubahan ini. 68% responden di PubCo lebih setuju dengan komunikasi tatap muka di dalam setting focused group discussion, sedangkan di OilCo sebanyak 60% yang menjawab hal yang sama. Di OilCo sebanyak 73% lebih prefer saluran tatap muka. Saluran yang paling tidak disukai di OilCo adalah memo, buletin atau papan pengumuman dan newsletter karyawan. Di PubCo yang paling tidak disukai adalah via telepon. Data di penelitian ini pada intinya menyebutkan bahwa media tata muka secara langsung dalam setting kelompok adalah yang paling disukai ketimbang komunikasi antar individu maupun komunikasi tertulis.

Prefered Communication Channels

Terkait timing komunikasi atau pemberitahuan tentang perubahan, 80% di OilCo dan 71% di PubCo mengatakan mereka baru mengetahui tentang perubahan ini setelah kejadian—sangat mengejutkan lagi jika ini terjadi di OilCo. Hanya 23% di PubCo dan 13% di OilCo yang mengaku mendapatkan pemberitahuan secara tepat waktu. Sekitar 32% di PubCo dan 20% di OilCO yang mengatakan bahwa mereka mereka adalah yang paling akhir mengetahui tentang perubahan di perusahaan mereka, tetapi mereka yang paling pertama merasakan akibatnya. Lagi-lagi penemuan ini menjadi penemuan yang diluar dugaan untuk OilCo.

Karyawan di kedua perusahaan ini juga ditanya seberapa setuju atau tidak setuju mereka terkait berbagai statement yang ada di dalam isi komunikasi mereka selama masa transformasi. Hanya 26% di PubCo dan 27% di OilCo yang merasa bahwa manajemen bener-bener mampu menyentuh concern mereka, meskipun OilCo sudah mendesain komunikasi mereka dengan hati-hati. Meski demikian, 40% di OilCo setuju bahwa manajemen sudah menyampaikan pesannya dengan jelas, sedangkan di PubCo hanya 10%. Respon terhadap pernyataan “orang lain lebih paham tentang perubahan ini ketimbang saya” juga cukup mengejutkan, 65% di PubCo dan 80% di OilCo menjawab setuju dan sangat setuju. Hanya 20% di PubCo yang merasa sudah paham bahwa perubahan ini akan mempengaruhi mereka, dibandingkan dengan 39% di OilCo. Hanya 13% di PubCo yang merasa bahwa pesan mengenai perubahan dan efeknya terhadap pekerjaan mereka sudah dikomunikasikan dengan jelas, jika dibandingkan dengan 20% di OilCo. Hanya 13% di PubCo dan 27% di OilCo yang merasa bahwa jumlah komunikasi yang dilakukan manajemen sudah cukup, serta hanya 26% di PubCo dan 27% di OilCo yang setuju bahwa tipe atau jenis saluran komunikasi yang digunakan sudah cukup.

Diskusi dan Kesimpulan

Riset ini telah menyingkap pandangan negatif terkait upaya komunikasi dari manajemen meskipun manajemen perusahaan sudah menggunakan strategi dan manajemen komunikasi yang bermacam-macam.

Umumnya, karyawan di kedua perusahaan merasa bahwa mereka baru terinformasi terkait perubahan di perusahaan mereka setelah, ketimbang sebelum kejadian perubahan. Mereka juga merasa bahwa manajemen tidak langsung menyentuh concern terdalam karyawan. Mereka juga merasa orang lain sepertinya lebih terinformasi dengan baik ketimbang dirinya sendiri. Mereka juga merasa kebanyakan kalo mereka tidak memahami efek dari perubahan perusahaan mereka terhadap pekerjaan mereka.

Penemuan di PubCo tidak begitu mengejutkan, mengingat pada dasarnya manajemen PubCo tidak mengetengahkan satu sistem strategi komunikasi yang jelas untuk mengkomunikasikan perubahan ini. Tetapi menariknya di OilCo, terdapat strategi komunikasi perubahan yang jelas dan didesain dengan baik. Manajemen OilCo sepakat bahwa komunikasi itu sangat penting untuk mendukung perubahan yang mereka alami. OilCo sudah meminta pendapat karyawan-karyawannya terkait perubahan ini sebelum perubahannya betul-betul harus terjadi. OilCo juga sudah mengkomunikasikan terkait perubahan ini 2 tahun sebelum mereka harus pindah kantor. OilCo juga mengadakan sistem reward dan insentif bagi siapapun karyawan yang berkontribusi positif terhadap upaya perubahan mereka. Perencanaan seperti ini jelas memiliki nilai positif bagi : awareness karyawan terkait dampak perubahan bagi pribadi masing-masing, bagaimana karyawan dimintai pendapat terkait upaya perubahan, bagaimana perusahaan mengupdate progress perubahan, dan kejelasan dari pesan yang ada. Meski demikian tetap ada hal-hal negatif yang terjadi seperti yang dijelaskan di atas, yang mana hal ini semakin mengetengahkan pentingnya feedback dan respon segera dari karyawan terkait upaya-upaya komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan. Semestinya OilCo mengembangkan mekanisme evaluasi terhadap strategi komunikasi mereka supaya mereka bisa mengidentifikasi adanya miskomunikasi atau salah strategi sejak awal (Klein, 1996). Hal ini dibuktikan dengan rendahnya tingkat persetujuan karyawan terkait jumlah dan jenis saluran komunikasi yang digunakan oleh OilCo ketika mengkomunikasikan rencana perubahannya, serta fakta bahwa masih banyak dari karyawan OilCo yang mengetahui tentang perubahan ini setelah kejadian perubahannya terjadi.

Change Communication Wheel

Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh manajer supaya bisa berkomunikasi efektif selama masa perubahan di perusahaan ?

Di gambar 3 di atas terdapat change communication wheel yang merupakan perpaduan dari apa yang didapat selama riset dengan apa yang ada di literatur.

Roda di atas terbagi ke dalam 4 kuadran : pesan (message), media (media), saluran (channel), dan pendekatan (approach). Ini adalah empat aspek dari komunikasi di mana para manajer perubahan harus terus membuat keputusan-keputusan aktif pendekatan mana saja yang paling cocok dengan situasi-situasi tertentu. Pendekatan terbaik bergantung pada hal di luar bagai di atas yaitu konteks organisasi (organizational context), karakteristik perubahan (change programme characteristic), tujuan komunikasi (purpose of communication) dan respon dari karyawan (employee response).

Adanya konteks organisasional (organizational context) merefleksikan sebuah fakta bahwa apa yang cocok di satu konteks belum tentu cocok di konteks lain (Balogun dan Hope-Hailey, 2003). Hal ini haruslah dipertimbangkan ketika manajer hendak mendesain program komunikasi. Demikian juga dngan karakteristik perubahan yang akan dilakukan (change programme characteristic). Karakteristik perubahan akan sangat mempengaruhi pilihan komunikasi yang akan diambil (Armenakis dan Harris, 2002).

Di kasus OilCo, perubahannya adalah relokasi kantor. Hal ini tentu memerlukan strategi komunikasi yang berbeda-beda dari program perubahan yang berkaitan dengan budaya perusahaan. Respon karyawan (employee response) juga harus bisa mempengaruhi strategi komunikasi seiring dengan perubahan ini berjalan, di mana hal ini mengharuskan fleksibilitas strategi terhadap berbagai respon karyawan yang ada. Kelemahannya di OilCo, mereka tidak membuat semacam wadah untuk umpan balik atau respon yang terukur dari karyawan, sehingga mereka tidak tahu seberapa efektif-nya kah komunikasi yang sudah mereka lakukan.

Finally, tujuan dari komunikasi (purpose of communication) merupakan faktor yang paling penting. Tujuan komunikasi akan berubah-ubah selama perubahan itu berlangsung. Karena itu, sangat penting bagi para manajer untuk memahami fase-fase perubahan dan mendesain komunikasinya sesuai dengan fase-fase tersebut. Berikut contoh dari tujuan komunikasi yang mungkin ditetapkan :

  1. Mendapatkan dukungan individual dari karyawan
  2. Mendapatkan komitmen dari karyawan untuk berubah
  3. Meminimalisir penolakkan terhadap perubahan
  4. Mengurangi kegelisahan karyawan
  5. Memastikan bahwa tujuan perubahan sudah jelas
  6. Berbagai informasi dan visi perubahaan baru
  7. Menantang status quo untuk berubah
  8. Mendapatkan kejelasan akan situasi perubahan
  9. Meminimalisir ketidak-pastian

Di dalam bagan roda di atas, kuadran pertama adalah message atau pesan. Message terdiri dari apa yang wajib karyawan ketahui (must), apa yang sebaiknya karyawan ketahui (should), dan apa yang bisa karyawan ketahui (could). Manajer perubahan haruslah memiliki kejelasan ke dalam kategori yang mana, informasi yang akan dia komunikasikan masuk. Kuadran media terdiri dari media tertulis, media verbal atau media elektronik. Media-media ini harus berjalan beriringan dengan saluran (channel) yang dipilih, karena hal ini sangat penting (Klein, 1996). Responden di kedua perusahaan lebih menyukai komunikasi tatap muka secara verbal sebagai saluran dan media utama ketika perubahan tengah diumumkan. Hal ini mendukung gagasan Klein yang mengatakan bahwa pertemuan kelompok atau rapat merupakan elemen penting dalam mengkomunikasikan perubahan.

Namun demikian, penggunaan berbagai jenis media itu diperlukan apabila perubahan perusahaan dikategorikan besar (major change) (Klein, 1996).

Kuadran terakhir adalah approach atau pendekatan. Hal ini bisa bermacam-macam dari mulai highly coercive (bersifat sangat memaksa) dan highly consultative (bersifat sangat demokratis) (Balogun dan Hope-Hailey, 2003).

4 elemen dalam bagan roda di atas harus dipertimbangkan secara menyeluruh dan satu kesatuan.

Kesimpulan kami, mengapa strategi komunikasi yang dipakai di OilCo hanya sedikit keberhasilannya, adalah karena adanya mismatch atau ketidak-cocokkan di antara penggunaan media dan saluran komunikasi dengan pesan dan pendekatannya. Di OilCo, barangkali media verbal dan salurannya (manajer, team leaders, dan kelompok) sudah cocok, tetapi pendekatan yang digunakan adalah direktif atau memaksa, sehingga karyawan tidak memiliki banyak pilihan kecuali mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. Pesan yang didesain oleh OilCo juga dianggap gagal dalam menginformasikan kepada karyawannya terkait hal-hal yang wajib mereka ketahui.

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa tantangan utama dari komunikasi perubahan adalah mencapai kecocokkan yang efektif antara 4 kuadran di bagan roda sambil mempertimbangkan 4 konteks di luar bagan itu secara bersamaan.

Developing Better Change Leaders by Aaron De Smet, Johanne Lavoie, & Elizabeth Schwartz Hioe (2012)

Berikut adalah terjemahan bebas saya untuk artikel lain dari McKinsey Quarterly pada tahun 2012. Enjoy 🙂


MENGEMBANGKAN PEMIMPIN PERUBAHAN YANG LEBIH BAIK

Setiap perubahan yang dicanangkan oleh perusahaan biasanya dimulai dari atas kemudian diturunkan ke dalam serangkaian program-program pendukung perubahan di setiap lini fungsi organisasi.

Yang sering terjadi biasanya, pimpinan perusahaan mengabaikan kemampuan dan kompetensi para manajer di bawah mereka untuk menyebarkan dan menjalankan program perubahan dari atas untuk mensukseskan upaya perubahan tersebut. Kemampuan dan kompetensi yang mesti dimiliki oleh para manajer di setiap level dan fungsi adalah kemampuan untuk membuat bawahan-bawahan mereka tetap semangat, terinspirasi akan perubahan yang lebih baik, serta untuk terus berkolaborasi melampaui batasan-batasan struktural yang ada di perusahaan.. Atau kemampuan untuk membuat manajer mau menerima program transformasi melalui dialog bukan perintah.

Ada satu perusahaan yang menempatkan program pengembangan kepemimpinan sebagai strategi utama ketika perusahaan ini hendak menerapkan sistem produksi baru ke 200 pabriknya di seluruh dunia. Ketika itu, latar belakang kenapa sistem produksi baru ini diperlukan adalah karena pabrik-pabrik mereka tidak konsisten dan lebih sering memiliki daya saing yang rendah dibandingkan kompetitornya. Suasana kerja di pabrik mereka pun terbilang kurang nyaman, konflik-konflik yang ada kalau tidak dihindari sama sekali dihadapkan dengan cara pasif-agresif. Karyawan di level terbawah pabrik merasa kalau mereka ini seperti roda penggerak (cogs) dan supervisor-supervisor mereka itu bertindak seperti polisi. Hasilnya, karyawan pabrik sama sekali tidak terlekat pada pekerjaan mereka. Mereka juga tidak percaya pada kepemimpinan di atas mereka. Mereka dibayang-bayangi oleh rasa takut membuat kesalahan karena pada dasarnya budaya pabrik mereka adalah keamanan kerja dan menghindari resiko.

Pimpinan perusahaan harus melihat persoalan ini lebih dari sekadar persoalan teknis. Mereka harus mengembangkan kapasitas dan kompetensi pemimpin pabrik supaya persoalan teknis ini bisa berjalan mulus. Dalam rangka menjalankan misi ini, perusahaan menyelenggarakan program pengembangan kepemimpinan yang rutin dan sangat terspesialisasi.

Setelah tiga tahun berjalan, perusahaan memperkirakan bahwa sistem produksi baru telah berhasil meningkatkan operating income mereka sekitar $1.5 miliar per tahun.

Pimpinan perusahaan yakin bahwa perilaku dan tindakan pemimpin sangat krusial untuk kesuksesan upaya perubahan mereka. Mereka juga percaya tanpa adanya program pengembangan kepemimpinan ini, hasil yang diharapkan dari perubahan paling hanya 50%. Lebih jauh lagi, pemimpin perusahaan ini menghitung bahwa mereka mendapatkan return sampai sepuluh kali lipat untuk setiap lusin pemimpin yang mereka latih.

Artikel ini akan membahas mengenai 3 pimpinan perusahaan yang dengan gayanya masing-masing mampu memperbaiki performa perusahaan mereka. Di akhir artikel, akan dibahas beberapa prinsip-prinsip pengembangan kepemimpinan.

Kasus 1 : Membuat Proses Pengadaan Lebih Efisien

Tersebutlah seorang Direktur Pengadaan dan Logistik yang bernama Annie. Dia ditugaskan untuk memperbaiki performa bagian pengadaan dari kuartil tengah menjadi kuartil top tanpa harus ada sumber daya yang digunakan. Annie dan tim-nya menyimpulkan bahwa cara mencapai tujuan ini adalah dengan menciptakan satu sistem pengadaan global ketimbang menggunakan sistem pengadaan di masing-masing daerah atau divisi. Pendekatan ini mereka yakini akan meningkatkan efisiensi, mampu memperbesar akses kepada sumber daya yang lebih murah dan memotong biaya interaksi dengan vendor-vendor di daerah atau divisi.

Cara ini mengharuskan mereka melibatkan semua pemangku kepentingan perusahaan di seluruh negara yang lebih banyak memilih untuk melakukan pengadaan sendiri-sendiri. Beberapa di antara stakeholder ini juga bahkan ada yang tidak saling mempercayai satu sama lain. Salah satu anggota tim Annie menyadari problem besar ini dan berpikir bahwa hal ini juga akan menyulitkan Annie menjalankan misinya. Menurut anggota tim Annie : “Annie itu suka bergerak terlalu cepat dan akhirnya banyak dari timnya yang ketinggalan kereta.” Di sini Annie, harus mengembangkan kemampuan dirinya (dengan cepat) untuk melibatkan rekan-rekan kerjanya ke dalam sebuah perjalanan di mana mundur sudah bukan lagi pilihan.

Annie sadar bahwa dirinya harus melibatkan stakeholder ini tidak hanya secara intelektuil, tetapi juga secara emosional, supaya mereka semua paham bahwa pendekatan sistem baru ini lebih baik untuk perusahaan, meskipun banyak yang berpikir sistem ini akan mengancam otoritas mereka. Annie juga menyadari bahwa dia punya kecenderung kuat untuk mengerjakan semua pekerjaan sendirian untuk memastikan bahwa hal itu bisa dikerjakan dengan cepat dan benar.

Belajar mengatasi kecenderungan ini akan menolong Annie untuk menjelaskan visinya secara lebih terang dan lebih menginspirasi siapapun yang mendengarkannya. Dalam program pengembangan kepemimpinannya, Annie belajar beberapa skill seperti bagaimana caranya menjaga diskusi agar selalu berfokus pada solusi dan bagaimana caranya mengatasi penolakkan melalui kekuatan yang sudah ada.

Hasil dari pengembangan ini pun menjadi semakin baik terhadap adopsi sistem pengadaan baru. Lebih dari 1000 karyawan mau menggunakan sistem baru ini dan efisiensi operasi mulai memberikan kontribusi positifnya. Sistem baru ini juga mendorong interaksi antar-pribadi yang membantu karyawan meretas budaya sulit berkolaborasi yang sudah berlangsung sejak lama.

Sistem pengadaan baru ini juga telah berhasil menghilangkan 50 posisi yang tidak lagi relevan (pekerja yang sebelumnya ada di posisi ini dibantu untuk mendapatkan pekerjaan di bagian lain di perusahaan). Belum lagi, pengalaman ini semakin memperkuat pengalaman Annie sebagai pemimpin.

Kasus 2 : Meningkatkan Produktivitas di Pabrik

Conor merupakan salah seorang manajer pabrik yang diharuskan meningkatkan kapasitas produksi pabriknya menggunakan sistem produksi perusahaan yang baru. Biasanya, untuk inisiatif seperti ini, perusahaan akan menurunkan sekelompok insinyur yang ahli di bidang Six Sigma untuk mengobservasi lini produksi terbawah, mengumpulkan data, dan mempresentasikan solusi-solusi perbaikan kepada perusahaan. Setelah itu, Conor akan menyampaikan kepada bawahan-bawahannya untuk mengaplikasikan sistem baru ini sementara dia akan terus mengawasi hasilnya.

Saat ini, Conor sadar bahwa cara lama tidak akan efektif : Hanya karyawan-karyawan yang benar-benar berada di level operasional yang paling tahu cara mengidentifikasi perbaikan dan efisiensi seperti apa yang diperlukan untuk mencapai target produksi yang diharapkan. Hal ini tidak akan bisa dicapai dengan sukses apabila tidak ada kolaborasi antara Conor dengan manajer-manajer di bawahnya.

Pekerja di level paling bawah ternyata bersikap skeptis. Survey yang dilakukan ketika itu menyimpulkan bahwa para pekerja pabrik melihat Conor dan timnya sebagai seseorang yang berada jauh di atas sana dan tidak bisa dipercaya. Ditambah lagi, perusahaan tidak bisa menggunakan kenaikan gaji atau memberlakukan lembur karena sedang ditengah krisis ekonomi global.

Kala itu Conor diikutkan dalam program pelatihan kepemimpinan yang membuatnya berefleksi terhadap situasi saat ini termasuk menemukan solusi tepat menghadapi semuanya.

Setelah pelatihan, Conor mulai sering keluar dari kantornya untuk menemui langsung para pekerja pabrik dalam rangka berbicara tentang pekerjaan mereka sehari-hari, tentang alur kerja mereka, bagaimana mesin-mesin mereka bekerja, dan bagaimana mereka menangani persoalan-persoalan teknis yang muncul. Sebelum dialog ini, para pekerja menyimpan informasi ini sendiri. Dan Conor mempertegas kepeduliannya dengan mengundang para pekerja yang memiliki informasi dan pengetahuan ini ke dalam rapat-rapat Conor dengan para pimpinannya, untuk kemudian bersama-sama mencari solusi bersama untuk setiap permasalahan yang ada.

Conor menjelaskan : “Ketika saya berbagi apa yang saya ketahui dan saya rasakan, saya menyadari bahwa orang lain pun akan otomatis melakukan hal yang sama. Saya baru tahu bahwa selama ini pabrik saya sudah memiliki teknologi yang efisien dan baik untuk mencapai target produksi yang diharapkan. Transparansi antar pribadi dan keterbukaan memang yang menjadi pendobraknya.”

Ketika suasana bekerja pun otomatis semakin membaik, para pekerja pabrik kini tidak ragu-ragu lagi untuk menyampaikan masalah-masalah yang mereka hadapi lengkap dengan usulan spesifik untuk solusi perbaikannya. Hal ini membuat pabrik Conor mampu meningkatkan kapasitas produksinya dari 87% menjadi 93% di hari ini.

Kasus 3 : Menutup Sebuah Pabrik

Pierre adalah seorang manajer pabrik di Perancis yang tengah menghadapi masa-masa paling sulit ketika krisis global lalu. Pabriknya sudah dapat dipastikan harus tutup karena banyak dari pelanggan pabrik itu yang bankrut. Namun demikian, perusahaan ini memerlukan pengetahuan dari para pekerjanya untuk mentransfer pengetahuan mereka ke operasi pabrik baru di negara lain. Di samping itu, mereka masih memiliki order produksi senilai 20 juta Euro yang masih layak dikerjakan sebelum pabriknya tutup.

Di sisi lain, ketegangan juga menyelimuti dunia buruh Perancis. Perusahaan lain yang menutup pabriknya membuat para buruh pabrik mengadakan demonstrasi besar-besaran yang tak jarang berujung kepada tindak kekerasan. Hal ini juga yang membuat banyak perusahaan yang sudah tahu bahwa mereka harus tutup tapi lebih memilih untuk menutup-nutupinya dari para buruh mereka, dan benar-benar menutup pabrik mereka di menit-menit terakhir.

Pierre pun diikutikan dalam program pengembangan kepemimpinan di mana dirinya fokus untuk topik-topik bagaimana caranya menyampaikan kabar tidak enak ini kepada buruh-buruh pabriknya, dengan resiko kerusuhan dan kekerasan yang sudah terbukti terjadi di pabrik lain.

Di akhir pelatihan, Pierre memutuskan untuk menggunakan pendekatan keterbukaan dan kejujuran. Pierre mengumumkan kepada seluruh buruh pabriknya bahwa pabrik mereka akan tutup 9 bulan dari sekarang. Pierre juga mengumumkan dengan tulus dan apa adanya tentang kekhawatiran dan ketakutan dia. Keterbukaan dan otentisitas Pierre rupanya berhasil menyentuh pikiran dan perasaan para buruh pabrik. Pierre mengaku bahwa dalam proses penutupan pabriknya, dia menghabiskan 60% dari waktunya sehari-hari untuk menangani urusan-urusan pribadi dengan buruhnya. Urusan-urusan pribadi seperti membantu para buruh pabriknya mendapatkan pekerjaan baru sambil melakukan pendukungan dan mentoring secara personal kepada tiap-tiap buruhnya.

Komitmen akan kejujuran ini berhasil. 9 bulan kemudian, pabrik Pierre berhasil memenuhi order terakhirnya. Pabrik Pierre menjadi satu-satunya pabrik yang bisa tutup tanpa ada demonstrasi dan kekerasan.

Pelajaran yang bisa Diambil

  1. Ikatkan Erat-Erat Training dengan Sasaran Bisnis. Pelatihan kepemimpinan menjadi tidak jelas jika tidak dihubungkan dan diaplikasikan kepada masalah-masalah yang relevan dihadapi oleh orang-orang di tempat kerja. Contoh dari kasus Pierre, di mana perusahaannya berfokus untuk mengajari dan melatih Pierre bagaimana caranya untuk menjadi berani jujur kepada seluruh buruh pabriknya ketika menghadapi penutupan pabrik yang tidak bisa dihindarkan.
  1. Fokuskan Pelatihan untuk Membangun Kekuatan. Perusahaan harus memilih untuk melatih para pemimpin atau manajer perusahaan yang memang memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan transformasi. Pelatihan itu sendiri bisa berisi tentang pengembangan diri. Seperti bagaimana caranya mengubah mind-set orang lain, mengubah diskusi yang panas dan sulit menjadi kesempatan belajar, serta memperkuat skill membina hubungan antar-pribadi dan optimisme manajerial untuk meningkatkan komitmen akan perubahan.
  1. Pastikan Bahwa Orang-Orang Yang Dilatih ini Didukung Sepenuhnya oleh Top Management. Para peserta pelatihan ini harus diberikan akses penuh kepada pimpinan yang meminta mereka mengikuti pelatihan. Pimpinan mereka ini juga haruslah yang mampu memberikan mereka kenyataan pahit karena hal ini bisa menginspirasi para peserta untuk mengubah cara mereka memimpin timnya.
  1. Ciptakan Jaringan yang Menghubungkan para Pemimpin Perubahan Ini. Upaya transformasi menjadi goyah ketika sukses yang diraih hanya berada di dalam sekat-sekat organisasi tertentu. Untuk mengatasi hal ini, pimpinan perusahaan mengadakan program pengembangan kepemimpinan secara global dan massal untuk menciptakan pemimpin-pemimpin baru yang memiliki bahasa yang sama dan mampu berkolaborasi melampaui batas-batas geografis dan organisasionalnya.

Di kasus Annie, ketika Annie kesulitan mengaplikasikan sistem barunya di Asia, manajer pabrik Brasil yang Annie kenal ketika sama-sama mengikuti pelatihan tidak ragu sedikit pun untuk terbang ke Asia dan menolong pimpinan pabrik Asia mengatasi persoalan-persoalannya. Ditambah lagi, perusahaan mengizinkan kolaborasi seperti ini (meskipun si pimpinan pabrik Brasil ini tidak ada kepentingan apa-apa di Asia), yang mana hal ini semakin memperkuat pesan ke seluruh organisasi bahwa memang perubahan seperti ini betul-betul harus terjadi.

Strategi lain yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk grup kecil berisi pemimpin-pemimpin perusahaan dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan perspektif bisnis yang bermacam-macam untuk diikutkan dalam program pelatihan yang sama. Hal ini memungkinkan terciptanya ke-saling-percayaan antara anggota tim dan membuat mereka bisa menjadi coach bagi satu sama lain.

The Science of Organizational Transformation by McKinsey & Company (2015)

Berikut adalah terjemahan bebas saya yang lain dari Artikel McKinsey tentang “The Science of Organizational Transformation” (2015). Enjoy 🙂

Sains Dibalik Transformasi Organisasi

Mendesain proses transformasi itu tidak bisa dengan menduga-duga (guesswork). Hasil survey McKinsey Global memperlihatkan bahwa perusahaan akan sukses bertransformasi jika mereka mendesain proses transformasinya dalam rangka menimbulkan perpindahan mind-set dan perilaku.

Riset McKinsey sebelumnye mengatakan bahwa tahap implementasi dari sebuah proses transformasi adalah yang paling penting. Penemuan mereka terakhir mengatakan pentingnya perusahaan menginvestasikan waktu dan upaya mereka untuk melakukan proses desain implementasi transformasi. Riset McKinsey terkini juga mengemukakan bahwa program transformasi yang paling efektif harus melibatkan 4 elemen ini :

  1. Penetapan dan eksekusi role model
  2. Menumbuhkan pemahaman dan keyakinan akan perlunya transformasi secara terus-menerus
  3. Memperkuat proses transformasi melalui mekanisme yang lebih formal dan mengikat
  4. Pengembangan talent dan kompetensi

Hasil penelitian memperlihatkan jika suatu perusahaan menggunakan ke-empat elemen ini, maka peluang mereka untuk sukses bertransformasi akan semakin besar, dibandingkan jika digunakan sebagian saja.

Bagaimana mendesain proses transformasi juga merupakan hal yang penting juga.


Desain Transformasi yang Efektif Tidak Bisa Dibuat dengan Menduga-Duga

Transformasi yang sukses pada dasarnya adalah ketika perusahaan mampu mengubah mindset dan perilaku karyawannya untuk mendukung transformasi. Berdasarkan penelitian dan pengalaman dari McKinsey ke-4 elemen di atas adalah elemen yang paling mampu mensukseskan perubahan ini. Ke-4 elemen ini juga dikenal dengan istilah “Influence Model”.

Penelitian dari McKinsey memperlihatkan bahwa banyak perusahaan yang lebih banyak menerapkan elemen nomor 2 dan 3. Elemen nomor 1 (role-modelling) adalah yang paling sedikit diterapkan dibanyak perusahaan. Banyak respoden dari penelitian McKinsey ini yang mengaku kesulitan menerapkan ke-4 elemen ini.

Dilaporkan juga bahwa ke-4 elemen ini sama pentingnya. Setiap satu elemen yang digunakan berkontribusi terhadap kesuksesan transformasi secara keseluruhan. Hasil akhir transformasi biasanya didefinisikan ke dalam dua hal :

  1. Perbaikan performa perusahaan (dari sisi profitability misalnya)
  2. Kesiapan perusahaan untuk performa jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable)—Misalnya, perbaikan kompetensi SDM perusahaan atau perubahan positif terhadap budaya perusahaan

Mengubah Mind-Set dan Perilaku melalui Influence Model

  1. Elemen 1 : Role Modelling. Pemimpin perusahaan haruslah menjadi role model utama untuk menunjukkan pada setiap karyawan akan mindset dan perilaku yang diinginkan. Para pemimpin perusahaan harus men-set perilaku sehari-harinya sebagai contoh akan perubahan yang diinginkan. Para pemimpin perusahaan juga dapat meminta para karyawan yang berpengaruh untuk menjadi rolemodel-rolemodel bagi level yang lebih rendah.
  2. Menumbuhkan pemahaman dan keyakinan. Karyawan harus memahami alasan dibalik mengapa perusahaan harus berubah. Jika mereka paham, lebih besar kemungkinan mereka akan mendukung transformasi perusahaan. Alasan ini haruslah berarti dan relevan.
  3. Memperkuat proses transformasi melalui mekanisme yang formal. Mekanisme formal yang dimaksud berbentuk struktur, sistem, dan proses bisnis. Perusahaan dapat memperkuat proses transformasi melalui penetapan struktur dan sistem yang baru, seperti contohnya, menerapkan KPI baru, menerapkan sistem insentif yang mendorong karyawan untuk mengikuti proses transformasi.
  4. Mengembangkan talenta dan kompetensi. Transformasi mungkin membutuhkan karyawan untuk memiliki kompetensi yang baru. Perusahaan harus mampu menganalisa gap kompetensi yang ada dan mengisi gap ini untuk mendukung proses transformasi, karena karyawan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan akan lebih mendukung proses transformasi ini.

The more action that a Transformation employed


Komplementer, Inovatif, dan Berfokus pada Kekuatan (Strength)

Disamping memberlakukan ke-4 elemen di atas, transformasi akan semakin sukses jika masing-masing elemen tersebut melengkapi satu sama lain serta sejajar (align) dengan konteks organisasi yang lebih luas. Ketika ke-4 elemen di atas itu mampu menjadi satu kesatuan yang komprehensif, saling melengkapi, dan relevan dengan konteks organisasi saat ini, maka 76% kemungkinan transformasi akan sukses.

Program transformasi yang selama ini dijalankan juga tidak bisa dijalankan dengan cara yang sama. Perlu ada program dan cara baru. Penelitian McKinsey mengemukakan bahwa ketika perusahaan menggunakan program dan cara transformasi yang sama, maka hanya 31% yang sukses. Ketika perusahaan menggunakan program dan metode transformasi yang baru, maka kemungkinan suksesnya naik menjadi 64%.

Hasil riset McKinsey lain menunjukkan jika program transformasi perusahaan difokuskan pada perbaikan kelemahan, maka hasilnya akan kurang efektif jika ketika perusahaan memfokuskan dirinya memperkuat apa yang sudah jadi kekuatan mereka. Tetapi, jika perusahaan mampu fokus pada perbaikan kelemahan dan perkuatan kekuatan secara bersamaan maka transformasi akan lebih berhasil lagi.

Transformation focus on weakness


Proses Desain juga Penting

Program transformasi yang sudah didesain di atas kertas tidak selalu mengarah pada transformasi yang sukses. Proses desain program transformasi—terutama terkait bagaimana menentukan prioritas dan siapa saja yang terlibat dalam proses desain ini—juga sangat penting bagi kesuksesan transformasi.

Transformasi akan lebih sukses jika melibatkan orang dari berbagai fungsi di organisasi sejak dari proses desain. Menariknya, para responden riset mengatakan bahwa para pemimpin perusahaan gagal melibatkan orang-orang yang paling berpengaruh dalam proses transformasi (yaitu top-management dan transformation-leadership team). Hanya 35% yang mengatakan bahwa perusahaan mereka melibatkan orang-orang yang paling berpengaruh (orang-orang yang berpengaruh ini adalah mereka yang selalu dicari sesamanya untuk nasihat, saran, ataupun gagasan terkait apa yang terjadi di perusahaan). Ketika key-influencer ini dilibatkan dalam proses desain, maka 68% transformasi akan berhasil.

Alasan lain mengapa begitu penting melibatkan lebih beragam orang di proses transformasi ini karena biasanya para pemimpin perusahaan cenderung melaporkan kesuksesan yang lebih besar terkait usaha transformasi mereka ketimbang orang lain.

Leaders and Bullish to Transformation

How To Separate Learning Myths from Reality by Artin Atabaki, Stacey Dietsch, & Julia Sperling (2015)

Artikel ini diambil dari McKinsey Quarterly yang terbit pada bulan Juli 2015. Ini merupakan terjemahan bebas saya. Enjoy 🙂

Bagaimana Memisahkan Mitos Belajar dengan Kenyataan yang Sesungguhnya

Pengetahuan umum yang selama ini kita ketahui selama ini terkait perkembangan otak manusia dalam hubungannya dengan proses belajar ternyata banyak yang salah. Misalnya, kapasita belajar otak ketika masa kanak-kanak cenderung lebih baik dan lebih powerful ketimbang masa dewasa yang sudah cenderung stagnan. Atau misalnya lagi, setengah dari otak kita itu tidak aktif di waktu-waktu tertentu atau ketika sedang mengerjakan pekerjaan tertentu. Atau misalnya lagi, kita hanya bisa belajar efektif jika sesuai dengan gaya belajar kita masing-masing. Ternyata semua itu banyak yang salah ketika metode analisa kerja otak manusia di zaman modern ini semakin canggih dan maju. Artikel ini akan membahas mitos-mitos yang selama ini kita ketahui tentang otak dan belajar manusia yang ternyata salah kaprah, berkat kemajuan teknologi saat ini. Hal ini penting mengingat ada hubungan yang cukup erat antara miskonsepsi tentang cara kerja otak ini dengan program-program pelatihan di perusahaan.

Mitos 1 : Masa Perkembangan Otak Paling Efektif ada di Masa Kanak-Kanak

Kita udah sering denger kalo masa-masa paling penting dari pembelajaran manusia itu pas lagi anak-anak khan ya. Hal itu disebabkan karena otak betul-betul berkembang di masa-masa itu. Setelah periode keemasan otak ini berakhir, kita juga tahu bahwa perkembangan manusia jadi gak begitu se-wah ketika masa kanak-kanak. Rupanya, penelitian terbaru membantah asumsi itu.

Penelitian terbaru tentang saraf otak menyebutkan kalo terdapat fenomena yang namanya neuroplasticity (atau kekenyalan/keliattan saraf). Intinya penelitian ini menemukan kalau pengalaman-pengalaman yang dialami oleh manusia seumur hidupnya mampu mengubah struktur fisik otak beserta bagaimana otak itu mengorganisir fungsi-fungsinya. Luar biasa ya ?

Nah, tingkat kekenyalan otak ini menurut para peneliti akan semakin meningkat ketika berhubungan langsung dengan “kesadaran” (mindfulness) manusia. Mindfullness ini maksudnya adalah ketika kita secara betul betul sadar sedang melakukan sesuatu. Misalnya adalah istilah mindful eating, atau makan dengan betul-betul sadar sedang makan, rasanya kita rasakan, bau makanannya kita cium, teksturnya, semuanya kita sadari betul.. Alih-alih kita makan sambil ngobrol sehingga semua itu tidak kita sadari. Nah, otak akan semakin kenyal dan berkembang dengan baik ketika kita mempraktekkan teknik-teknik meditasi sederhana seperti konsentrasi pernafasan. Menurut hasil penelitian, berkonsentrasi kepada proses bernafas kita meningkatkan kapasitas otak kita untuk belajar, mengontrol emosi, dan juga membuat otak lebih merasakan kasih sayang. Peneliti dari Harvard menemukan ketika kita secara rutin mempraktekkan teknik bernafas meditatif ini selama 8 minggu, maka hal itu akan membuat struktur fisik otak berubah secara signifikan dan bisa dibaca oleh MRI.

Perusahaan-perusahaan besar cukup sering mempraktekkan hal ini untuk meningkatkan produktivitas karyawannya berbarengan dengan menurunkan kadar stres karyawannya. Perusahaan seperti General Mills di bidang pangan, bahkan perusahaan digital sebeken Facebook dan Google senantiasa memberikan kesempatan ruang dan waktu bagi setiap karyawannya untuk mempraktekkan teknik meditasi ini, yang mana mendapatkan sambutan hangat dari para karyawannya. Hal ini telah beberapa kali terbukti mampu meningkatkan performa kerja setiap karyawan yang melakukannya.

Contoh lebih detail datang dari perusahaan asuransi kesehatan yang bernama Aetna. Aetna mengadakan kelas yoga dan meditasi gratis untuk semua karyawannya. Dilaporkan kemudian, karyawan yang rutin mengikuti kelas ini berkurang kadar stress-nya hingga 28% dan produktivitas mereka meningkat menjadi 62 menit per minggu—yang apabila diterjemahkan ke dalam nominal, produktivitas ini berharga senilai $3000 per karyawan per tahun. CEO Aetna, Mark Bertolini tercengang dengan tingkat ketertarikan karyawannya mengikuti kelas gratis ini. Hingga hari ini lebih dari seperempat karyawan Aetna yang jumlahnya 50,000 itu secara rutin mengikuti minimal satu kelas yoga dan meditasi. Pemimpin seperti Bertolini ini sadar betul pentingnya menyediakan fasilitas bagi karyawan untuk membantu mereka lebih fokus dan mindful untuk meningkatkan lingkungan kerja yang lebih kondusif dalam rangka peningkatkan performa kerja.

Mitos 2 : Idle-Brain Theory

Maksud dari idle-brain theory adalah yang mengatakan bahwa ada satu atau beberapa bagian otak yang tidak bekerja ketika kita sedang beraktivitas. Riset yang dilakukan di UK dan di Belanda mengungkapkan hampir 50% guru percaya bahwa teori ini memang sudah terbukti benar secara sains. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa apapun yang sedang dilakukan oleh seseorang, seluruh bagian dan fungsi otak bekerja. Dan tergantung dari akvitiasnya, beberapa bagian otak bekerja lebih aktif ketimbang bagian lainnya.

Intinya, seseorang selalu bisa belajar sesuatu yang baru bukan dengan cara mengakses bagian yang jarang digunakan pada otak, tetapi dengan cara membuat koneksi baru dan memperkuat koneksi antar neuron yang ada di otak.

Pemahaman ini terutama menjadi sangat relevan ketika situasi-situasi pembelajaran otak tengah berlangsung (seperti ketika seseorang mengikuti training, kuliah, seminar, atau apapun). Kita semua mungkin pernah mengalaminya. Di tengah-tengah sesi pelatihan atau kelas-kelas, kita kerap terpancing untuk mengecek hp kita untuk email, sms, atau text apapun atau melakukan apapun yang menjauhkan fokus kita kepada materi pelatihan. Masalahnya di sini adalah multi-tasking membuat otak bagian memori bekerja sangat keras, karena otak bagian penyimpanan memori ini bekerja dua pekerjaan sekaligus. Hal ini menyebabkan sulitnya otak menerima informasi pelatihan yang baru karena terganggu dengan aktivitas lain. Pendeknya, multi-tasking dan belajar tidak bisa dikerjakan sama-sama kalau mau efektif.

Beberapa perusahaan telah membangun lingkungan tempat belajar yang sebegitu mendukung pembelajaran dengan sama sekali mengeliminasi distraksi. Di McKinsey juga diterapkan satu area training di mana setiap peserta yang masuk diharuskan menyimpan gadget komunikasinya di loker masing-masing agar proses pembelajaran dapat berlangsung maksimal.

Mitos 3 : Gaya Belajar dan Dikotomi Otak Kiri dan Kanan

Sudah lumrah bagi kita untuk memahami bahwa ada sebagian orang yang dominan otak kiri (analitis) dan dominan otak kanan (kreatif). Penelitian terbaru telah membuktikan bahwa dikotomi ini sama sekali salah. Kedua bagian otak ini dalam aktivitas apapun senantiasa berhubungan dan bekerja berbarengan. Mereka tidak bekerja secara terisolir bergantung pada kegiatan apa yang tengah dilakukan (apakah pekerjaan analitis atau pekerjaan kreatif). Penelitian terbaru menolak anggapan bahwa setiap orang memiliki gaya belajar dan preferensinya sendiri-sendiri. Penelitian terbaru ini lebih menyarankan supaya pembelajaran berlangsung lebih efektif, maka semua indera manusia agar lebih banyak dilibatkan (audiovisual, indera peraba, indera penciuman, dll).

Satu perusahaan yang menerapkan konsep pembelajaran yang melibatkan hampir seluruh indera adalah KFC. KFC mengembangkan modul pelatihan customer service bagi karyawannya dalam bentuk video game. Video-game ini menempatkan karyawan berperan sebagai kasir dan penerima order dari pelanggan termasuk berreaksi terhadap reaksi-reaksi pelanggan yang sudah diset sebelumnya (kayak Dinner Dash ?). Setelah sesi bermain video-game ini selesai, karyawan akan menerima feed-back dari performa-nya di video game dan menerima coaching untuk semakin memperkuat pengalaman pembelajarannya.

Leading Change : Why Transformational Effort Fails by John Kotter (2007)

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Harvard Business Review pada tahun 2007. Saya menterjemahkannya secara bebas. Enjoy 🙂

MEMIMPIN PERUBAHAN

Mengapa Upaya Transformasi Gagal

 

“Para pemimpin yang sukses mentransformasi bisnisnya melakukan 8 hal dengan benar (dan mereka melakukannya dengan urutan yang benar juga).”

Rangkuman Singkat

Transformasi perusahaan seringnya hanya menghasilkan hasil yang anget-anget tai ayam, dan lebih banyak lagi yang gagal total.

Menurut Kotter, hal ini disebabkan karena para pemimpin perusahaan gak sadar kalo transformasi itu sebuah proses bukan event. Transformasi menurut Kotter itu berkembang melewati tahapan-tahapan yang dibangun satu sama lain. Transformasi membutuhkan waktu bertahun-tahun. Seringnya, para pemimpin perusahaan ini ditekan untuk menghasilkan hasil secepat-cepatnya sehingga banyak tahapan ini yang dilongkap.

Dengan memahami tahapan-tahapan yang ada termasuk ranjau-ranjau unik dari tahapan itu, kita akan memperbesar kans kita untuk sukses dalam bertransformasi.

Prakteknya..

Tahapan Action Ranjau
Membangun rasa urgensi -Melihat kondisi pasar dan kompetisi yang sesungguhnya untuk menemukan potensi krisis dan peluang yang mungkin belum tergali

-Yakinkan 75% manajer Anda bahwa status quo lebih berbahaya daripada yang belum diketahui (the unknown)

-Meremehkan sulitnya mengeluarkan orang-orang dari comfort zone

-Lumpuh karena takut akan resiko perubahan

Membentuk tim kuat (kayak PMO misalnya?) -Bentuk kelompok dengan komitmen dan kekuatan yang cukup untuk memimpin transformasi

-Dorong mereka untuk bekerja sebagai tim di luar hierarki organisasi yang sudah ada

-Belum ada pengalaman sebelumnya bekerja sebagai tim di hierarki bagian atas organisasi

-Menurutnkan otorisasi kepemimpinan tim ke bagian HR, quality, atau bagian strategic planning daripada kepada manajemen yang lebih senior

Menciptakan visi -Ciptakan visi sebagai pemandu transformasi

-Kembangkan strategi untuk mencapai visi tersebut

-Menampilkan visi yang terlalu rumit atau terlalu samar-samar yang sulit dikomunikasikan dengan mudah dalam waktu lima menit saja
Mengkomunikasikan visi -Gunakan semua metode yang mungkin untuk mengkomunikasikan visi baru serta strategi untuk mencapainya

-Ajarkan perilaku yang baru melalui contoh perilaku yang dilakukan oleh tim transformasi

-Kurang mengkomunikasikan visi

-Berperilaku yang bertentangan dengan visi

Menggerakkan orang untuk bertindak berdasar visi baru -Ubah sistem dan struktur yang menghalangi terwujudnya visi baru

-Dukung pengambilan resiko, ide-ide, aktivitas, dan tindakan yang nonkonvensional

-Gagal memindahkan orang kuat yang menolak perubahan
Merencanakan dan menetapkan keberhasilan-keberhasilan jangka pendek -Definisikan perbaikan performa yang jelas

-Akui dan beri penghargaan bagi karyawan yang berkontribusi terhadap perbaikan tersebut

-Tidak mendesain milestone keberhasilan jangka pendek

-Gagak mencetak keberhasilan sesegera mungkin (dalam kurun waktu 12-24 bulan pada proses transformasi)

Mengkonsolidasikan perbaikan-perbaikan yang sudah tercipta dan menghasilkan lebih banyak perubahan -Gunakan kredibilitas yang sudah didapat dari kemenangan sebelumnya untuk mengubah sistem, struktur, dan kebijakan yang menghalangi visi baru

-Rekrut, promosikan, dan kembangkan karyawan yang mengimplementasikan visi baru

-Hidupkan kembali proses perubahan dengan proyek baru dan agen perubahan yang baru

-Merayakan kemenangan terlalu awal—dengan perbaikan performa tahap awal

-Membiarkan para resisten meyakinkan karyawan bahwa kita sudah menang perang

Melembagakan pendekatan baru ini -Pertegas hubungan antara perilaku baru dengan kesuksesan perusahaan

-Ciptakan pengembangan kepemimpinan dan rencana suksesi yang konsisten dengan pendekatan baru

-Tidak menciptakan norma sosial dan nilai-nilai baru di dalam perusahaan yang konsisten dengan semangat perubahan

-Mempromosikan orang-orang ke posisi pemimpin yang tidak mempersonifikasi pendekatan baru

Perusahaan yang sukses bertransformasi melewati tahapan yang panjang dan berurutan. Melongkapi tahapan ini tidak pernah menghasilkan hasil yang memuaskan.

Kesalahan dalam setiap tahapan akan menimbulkan efek yang menghancurkan, memperlambat momentum dan menganulir keberhasilan proses yang sudah susah payah diperoleh.

Mungkin karena banyak orang memiliki pengalaman yang sedikit tentang transformasi perusahaan, maka bahkan setiap orang yang paling kapabel pun setidaknya melakukan satu kesalahan besr.

Kesalahan 1 : Tidak Membangun Sense of Urgency

Sense of Urgency

Upaya perubahan yang sukses dimulai dari beberapa individu atau kelompok yang mulai melihat dengan seksama kondisi pasar, situasi kompetisi, tren teknologi yang muncul, dan performa finansial perusahaan. Mereka fokus ke potensi turunnya pendapatan perusahaan, potensi turunnya margin perusahaan selama lima tahunan, atau munculnya pasar-pasar baru yang masih diabaikan oleh banyak orang. Setelah mendapatkan kesimpulan akan semua ini, individu atau kelompok ini akan mencari cara agar mereka dapat mengkomunikasikan temuan mereka secara luas dan dramatis, yang diutamakan kepada potensi krisis maupun peluang yang dihadapi perusahaan. Hal ini adalah langkah awal yang paling penting, karena dimulainya program transformasi memerlukan kerja-sama agresif dari banyak individu.

Terdengar mudah, tetapi faktanya 50% perusahaan yang bertransformasi gagal di tahap awal ini. Alasannya ? Banyak pemimpin perusahaan yang menganggap remeh. Mereka berpikir mudah saja mengeluarkan orang-orangnya dari zona nyaman. Mereka kurang sabar. Di sisi lain, ada juga pemimpin yang ketakutan akan efek dari transformasi ini kepada karyawan-karyawan mereka. Mereka khawatir karyawan senior akan menjadi defensif, motivasi kerja menurun, program transformasi menjadi di luar kendali, hasil bisnis jangka-pendek gagal, harga saham jatuh, dan mereka akan menjadi kambing hitam atas krisis yang terjadi ini.

Ketakutan ini disebabkan oleh terlalu banyaknya manajer dan masih sedikitnya pemimpin sejati. Mandat manajemen umumnya adalah meminimalisir resiko dan menjaga agar sistem yang sudah ada terus berjalan. Di satu sisi, perubahan selalu menuntut sistem yang baru, karenanya memerlukan figur pemimpin sejati yang bukan sekadar manajerial.

Fase pertama ini tidak akan berkembang ke fase selanjutnya sampai terdapat cukup banyak pemimpin yang ada di posisi strategis perusahaan.

Jika target transformasi adalah keseluruhan perusahaan, maka key-person-nya adalah CEO.

Performa bisnis yang buruk itu bagaimana dua mata pedang. Sisi baiknya dari performa bisnis yang buruk adalah orang-orang akan lebih cepat sadar bahwa mereka kini tengah diambang kehancuran, tetapi ruang untuk bermanuver lebih kecil karena kurangnya sumber daya. Hal yang sebaliknya juga sama. Ketika performa bisnis sedang bagus-bagusnya, meyakinkan orang untuk berubah akan jauh lebih sulit, kendati sumber daya yang dimiliki lagi banyak sekali untuk bisa berubah.

Proses transformasi yang sukses diawali dari diskusi yang sejujur-jujurnya (biasanya tidak menyenangkan) tentang kompetisi baru, margin yang menyusut, pangsa pasar yang menurun, pendapatan yang datar, atau faktor apapun yang mengindikasikan menurunnya daya saing perusahaan. Banyak pemimpin perusahaan yang meminta pihak eksternal untuk mengkomunikasikan kabar buruk ini, terutama ketika top leader-nya bukanlah change champion. Maka dari itu, pihak eksternal seperti analis, konsultan, dan bahkan pelanggan dapat membantu perusahaan dalam hal ini. Inti dari aktivitas ini adalah untuk “membuat status quo itu lebih berbahaya daripada berlayar ke lautan ketidak-pastian”.

Di beberapa kisah sukses, ada perusahaan yang secara sengaja merekayasa krisis untuk memancing urgensi untuk transformasi ini. Ada seorang CEO yang secara sengaja merekayasa laporan akuntansi perusahaan untuk menunjukkan kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan mereka sampai menimbulkan tekanan hebat dari Wall Street dalam prosesnya.

Ada lagi satu perusahaan yang sengaja mengadakan survey kepuasan pelanggan padahal mereka sudah tau bahwa hasilnya akan buruk, plus, mereka mempublikasikan hasil survey itu ke publik !

Secara sekilas, manuver-manuver di atas terlihat sangat bodoh dan beresiko, tetapi terdapat juga resiko ketika perusahaan bermain terlalu aman : Ketika tingkat urgensi transformasi tidak tinggi, maka proses transformasi tidak akan sukses.

Kapan tingkat urgensi transformasi bisa dikatakan tinggi ? Kotter menyebutkan tinggi, ketika sekitar 75% anggota manajemen perusahaan yakin bahwa business as usual mereka sudah tidak bisa lagi digunakan. Di bawah 75%, maka hanya akan menghasilkan masalah serius di tahapan selanjutnya.

Kesalahan 2 : Tidak Membangun Tim yang Kuat

Transformasi biasanya dimulai dari satu atau dua orang. Transformasi yang sukses tim kepemimpinan yang menjadi ruh transformasi ini semakin terus bertambah dan berkembang. Jika jumlah minimum orang tidak tercapai pada tahapan awal, tidak akan ada hal berarti yang terjadi.

Transformasi yang sukses tidak hanya berpusat pada top manajemen. Transformasi yang berhasil melibatkan CEO, General Managers, ditambah 15 sampai 50 orang lainnya yang duduk bersama mengembangkan komitmen bersama untuk performa perusahaan yang lebih baik melalui transformasi. Berdasarkan pengalaman Kotter, tim ini tidak akan terdiri dari semua senior eksekutif di perusahaan karena biasanya mereka tidak akan begitu mendukung pada awalnya.

Yang jelas, transformasi yang sukses terdiri dari tim yang sangat kuat—dalam hal jabatan, akses informasi, keahlian, kompetensi, reputasi, dan dalam keahlian berhubungan dengan orang lain.

Dalam organisasi yang skalanya kecil maupun besar, tim kuat dan sukses biasanya hanya terdiri dari tiga sampai lima orang di tahun pertama. Di perusahaan yang besar, anggota tim ini harus bertumbuh hingga 20-50 orang sebelum maju ke tahapan selanjutnya. Manajer senior selalu menjadi inti dari tim, tetapi terkadang tim juga bisa terdiri dari anggota Direksi, perwakilan pelanggan, bahkan pimpinan buruh yang berpengaruh.

Karena tim ini bisa terdiri dari anggota yang tidak masuk dalam anggota manajemen senior, maka mereka cenderung bekerja di luar hierarki organisasi yang ada (seperti PMO). Meski akan kagok, tapi ini perlu. Hal ini dilakukan apabila sistem saat ini tidak bekerja, karena yang namanya reformasi memerlukan aktivitas diluar batasan-batasan formal yang ada.

Ada seseorang yang harus mengumpulkan orang-orang untuk tim ini, menolong mereka mengembangkan penilaian bersama terkait permasalahan perusahaan, peluang, serta meciptakan kesaling-percayaan dan komunikasi yang baik. Aktivitas retreat selama 2 atau tiga hari merupakan metode yang cukup populer digunakan.

Perusahaan yang gagal di fase kedua ini biasanya mengabaikan pentingnya keberadaan tim kuat ini. Hal ini disebabkan biasanya karena mereka tidak punya pengalaman team work di level atas. Atau terkadang top leader mengharapkan bagian SDM, kualitas, atau strategic planning alih-alih manajer kunci yang berpengaruh langsung pada transformasi perusahaan.

Kesalahan 3 : Visi yang Kurang Jelas

Tanpa visi yang jelas, upaya transformasi bisa membawa perusahaan ke arah yang salah atau bahkan sama sekali tidak kemana-mana.

Program transformasi yang gagal identik dengan banyak sekali rencana-rencana, direktif, program-program aktivitas tanpa visi. Ada satu perusahaan yang menerbitkan buku setebal empat inci berisi prosedur, tujuan, metode, dan deadline tanpa ada satu pun statement yang menggugah siapapun yang membacanya. Pada kasus lain ada juga perusahaan yang sudah memiliki arah yang cukup baik tetapi masih terlalu rumit atau kabur untuk bisa menjadi sesuatu yang berguna.

Ini aturan untuk mengukur visi itu baik atau tidak :

“Jika Anda tidak bisa mengkomunikasikan visi kepada orang lain dalam waktu lima menit atau kurang dan mendapatkan pemahaman dan ketertarikan, berarti Anda belum selesai dengan fase ini,”

Kesalahan 4 : Kurang Mengkomunikasikan Visi

Terdapat tiga pola komunikasi yang biasanya dilakukan secara umum oleh perusahaan. Setelah memiliki visi transformasi yang baik, mereka lantas mengkomunikasikannya dengan mengadakan sekali meeting masal atau dengan mengirimkan satu pesan kepada seluruh karyawan. Kenyataannya, hanya sedikit orang yang benar-benar paham akan upaya transformasi ini. Pola kedua yang dilakukan adalah ketika pimpinan perusahaan menghabiskan banyak waktu untuk menemui kelompok-kelompok karyawan dan mengkomunikasikan visi baru ini. Nyatanya, tetap saja masih banyak orang yang benar-benar paham. Pola ketiga dilakukan seperti pola kedua tetapi dengan menambahkan internal newsletter secara rutin yang disebar ke seluruh karyawan. Meski komunikasi tentang visi baru ini digaungkan terus secara rutin, namun pada akhirnya akan selalu ada pimpinan-pimpinan perusahaan yang berlaku bertindak bertentangan dengan visi baru sehingga hasil akhirnya adalah sinisme di kalangan karyawan dan pengabaian dari komunikasi rutin itu.

Kuncinya adalah komunikasi yang kredibel, dalam rangka mendorong karyawan untuk mendukung visi baru bahkan rela berkorban untuk keberhasilan transformasi perusahaan.

Fase ke-4 ini akan berat terutama jika downsizing menjadi bagian dari eksekusi visi baru. Untuk itu, menurut Kotter, visi seperti ini akan sukses dilaksanakan apabila komunikasi yang dilakukan melibatkan peluang growth baru dan peluang karir baru di perusahaan, termasuk komitmen manajemen untuk berlaku adil bagi mereka yang terkena pemecatan.

Komunikasi yang baik dalam situasi transformasi adalah ketika para pimpinan perusahaan senantiasa mengkomunikasikannya dalam keseharian mereka bekerja kepada siapapun kapan pun. Misalnya, ketika membahas strategi bisnis, mereka selalu menjadi yang pertama mengingatkan apakah solusi-solusi yang sedang dibahas sesuai dengan visi baru yang sudah ditetapkan. Ketika pimpinan perusahaan bicara tentang performance appraisal, mereka bicara mengenai apakah perilaku-perilaku karyawan dalam bekerja sudah mendukung visi baru atau sebaliknya. Ketika sedang mengevaluasi performa triwulanan setiap fungsi, mereka juga membahas tentang apa saja kontribusi yang sudah diberikan oleh setiap divisi terhadap kesuksesan transformasi perusahaan. Intinya, mereka selalu mengkomunikasikan dan menghubungkan setiap aspek dari perusahaan kepada keberadaan visi baru perusahaan.

Mengkomunikasikan visi ini yang penting prinsipnya adalah : “Gunakan SEMUA saluran dan metode komunikasi yang mungkin terutama saluran komunikasi yang biasanya sering diabaikan oleh karyawan. Rubah isi dan lay-out pesan menjadi semenarik dan semenggugah mungkin.”

Yang terpenting dari seluruh bentuk komunikasi yang dilakukan perusahaan dalam mengkomunikasikan visi baru dan transformasinya adalah : INTEGRITAS. Istilah lainnya adalah “walk the talk”. Kesesuaian antara yang dibicarakan dengan yang dilakukan. Ini adalah bentuk komunikasi yang tanpa sadar senantiasa diproyeksikan keluar dan setiap orang akan selalu menilai kesesuaian kata dan tindakan pemimpin ini tanpa mereka sadar. Sekali saja pimpinan perusahaan mengindikasikan adanya perbedaan dengan apa yang mereka bicarakan dengan apa yang mereka lakukan, maka hal itu akan mengancam keberhasilan proses transformasi.

Kesalahan 5 : Tidak Menghilangkan Halangan Menuju Transformasi

Berkomunikasi terkait proses transformasi berserta visi baru perusahaan tidak pernah cukup. Tim transformasi haruslah mampu mengidentifikasi penghalang-penghalang transformasi sekaligus mengatasinya. Dengan kampanye komunikasi yang baik, karyawan bisa saja sudah sepenuhnya memahami terkait upaya transformasi perusahaan dan kemana mereka akan pergi serta siap untuk mendukung upaya ini, tetapi tantangan selanjutnya adalah menanggulangi keraguan yang ada di kepala setiap karyawan di mana tim transformasi harus mampu meyakinkan mereka bahwa itu semua tidak relevan. Di beberapa kasus, halangan ini nyata.

Halangan-halangan transformasi ini bisa berupa struktur organisasi existing. Jenis pekerjaan yang begitu sempit, membatasi, dan penuh dengan tuntutan bisa menghalangi karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya atau membuatnya kesulitan untuk memikirkan hal lain di luar pekerjaannya. Terkadang halangan juga bisa berupa sistem kompensasi dan performance appraisal yang membuat karyawan cenderung memikirkan keuntungan dirinya sendiri daripada berkorban untuk visi transformasi yang baru. Dan mungkin yang paling buruk adalah para bos-bos pimpinan divisi atau manajer yang pada dasarnya tidak mendukung perubahan ini, sehingga mereka sering membuat tuntutan-tuntutan pada bawahannya yang tidak konsisten dengan upaya transformasi.

Terdapat satu kasus yang cukup menarik. Ada satu perusahaan yang memulai proses transformasinya dengan benar di ke-empat tahap sebelumnya, namun terhambat di tahap ke-5. Hal ini disebabkan karena perusahaan membiarkan personil-personil kunci perusahaan (Direksi, GM, dll) menghambat transformasi itu sendiri. Personil kunci ini mendukung transformasi hanya di bibir saja, tetapi perilaku dan tindakannya tidak berubah, dan dia juga tidak terus mendorong bawahan-bawahannya untuk berubah. Dia tidak memberi reward kepada setiap ide out of the box yang muncul yang mendukung transformasi. Dia membiarkan sistem SDM untuk terus berjalan meskipun faktanya sistem SDM saat ini bertentangan dengan upaya transformasi. Menurut Kotter, motif dari personil kunci yang seperti ini begitu kompleks. Mungkin saja jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tidak benar-benar yakin bahwa perusahaan harus berubah. Mungkin juga dia merasa terancam dengan semua perubahan ini. Atau mungkin saja dia takut dia tidak bisa menghasilkan perubahan dan hasil transformasi yang diharapkan. Apapun alasannya jelas personil kunci ini menjadi penghambat transformasi. Namun jarang ada perusahaan yang pernah mengalami hal ini sebelumnya. Sang CEO khawatir akan kehilangan talenta terbaiknya. Alhasil, manajer di level yang lebih rendah menganggap para pimpinan perusahaan tebang pilih dan tidak sesuai dengan komitmen mereka untuk pembaruan, hingga pada akhirnya usaha transformasi pun menjadi gagal.

Di paruh pertama proses transformasi, jarang ada perusahaan yang langsung memiliki momentum, kekuatan, waktu untuk menyingkirkan semua penghalang transformasi. Tetapi perusahaan harus mau dan mampu mengatasi penghalang yang paling besar. Jika penghalang ini berbentuk orang, maka perusahaan harus mampu memperlakukan orang ini dengan adil dan sejalan dengan semangat visi transformasi perusahaan yang baru. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memberdayakan orang lain dan juga untuk memelihara kredibilitas dari keseluruhan proses transformasi.

Kesalahan 6 : Tidak Merencanakan Target-Target Kemenangan Jangka Pendek (Short-Wins) Secara Sistematis

Transformasi sejati membutuhkan waktu yang panjang. Dan upaya ini selalu beresiko kehilangan momentum jika tidak ada target kemenangan jangka pendek (short wins) untuk dirayakan.

Tanpa adanya short wins, banyak orang yang akan cepat menyerah karena merasa bahwa proses ini terlalu panjang dan rumit. Short wins itu perlu untuk mengingatkan bahwa kita telah mencapai progress-progress penting dari keseluruhan proses transformasi yang panjang.

Transformasi yang sukses selalu mengedepankan performance improvement yang jelas dan terukur, menetapkan tujuan dan target dalam perencanaan tahunan, serta memberikan reward berupa penghargaan—bahkan uang, untuk siapa saja yang mampu mencapai target-target tersebut.

Short win ini penting untuk ditetapkan dengan sistematis, terukur dan jelas, karena ketika semua orang sadar bahwa proses transformasi itu panjang, maka tingkat urgensi transformasi bisa menurun drastis tanpa adanya short win. Komitmen untuk menghasilkan short win bisa membuat tingkat urgensi tetap tinggi dan mendorong timbulnya analitical thinking yang lebih detail yang bisa semakin memperjelas visi.

Kesalahan 7 : Mendeklarasikan Kemenangan Terlalu Cepat

Upaya transformasi akan terdiri dari banyak sekali proyek-proyek yang harus dijalankan perusahaan. Keberhasilan menjalan proyek tidak sama dengan keberhasilan mentransformasi perusahaan secara umum. Jangan terjebak menganggap bahwa kemenangan di satu pertempuran sama dengan kemenangan di peperangan. Transformasi bisa berlangsung 5 sampai 10 tahun, karena transformasi yang menyeluruh juga melibatkan perubahan di budaya kerja dan nilai-nilai perusahaan yang dijalankan sehari-hari. Upaya perubahan ini sangat rentan dengan kembali ke kebiasaan lama.

Ironisnya, kecenderungan untuk merayakan kemenangan terlalu cepat ini terjadi sebagai hasil kombinasi dari para inisiator perubahan dan para penolak perubahan yang pada akhirnya menciptakan perayaan kemenangan prematur. Para inisiator terlena dengan keberhasilan-keberhasilan dalam proses transformasi sehingga momentum ini diambil oleh para penolak perubahan untuk mendeklarasikan bahwa transformasi sudah selesai dan semua karyawan bisa kembali bekerja di tempatnya masing-masing. Ketika karyawan kembali ke kebiasaan lamanya, untuk kembali meminta mereka bertransformasi akan menjadi sangat sulit, apalagi jika ditambah budaya lama yang pelan-pelan kembali mengambil alih.

Solusinya, daripada mendeklarasikan kemenangan terlalu cepat, para pimpinan perusahaan bisa mengambil momentum short win untuk mengatasi halangan-halangan transformasi yang lain yang mengancam kelangsungan proses transformasi. Mereka kini mengatasi problem-problem di sistem dan struktur lain yang tidak konsisten dengan upaya transformasi mereka yang sebelumnya belum ditangani. Mereka sungguh-sungguh memperhatikan siapa saja yang dipromosikan, siapa yang direkrut, dan bagaimana orang-orang mereka dikembangkan. Mereka mengadakan proyek transformasi yang lebih besar daripada proyek sebelumnya.

Kesalahan 8 : Tidak Melekatkan Perubahan Ke Budaya Perusahaan

Akhirnya, perubahan atau transformasi itu berhasil jika mampu mengubah budaya perusahaan atau “the way we do things around here”. Upaya perubahan akan selalu rentan terhadap kegagalan ketika tekanan untuk berubah sudah hilang. Karena itu, transformasi belum bisa dikatakan berhasil sampai betul-betul mendarah-daging menjadi kebiasaan sehari-hari karyawan menjadi norma sosial yang tidak tertulis dan menjadi nilai bersama.

Terdapat dua faktor yang penting untuk melembagakan perubahaan ke dalam budaya perusahaan. Yang pertama, adalah dengan menunjukkan kepada semua orang bahwa pendekatan baru, strategi baru, upaya baru, dan perilaku baru ini ternyata efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Jangan biarkan orang menerka-nerka sendiri hubungan antara transformasi dengan peningkatan kinerja perusahaan. Komunikasikan terus hubungan ini dengan rutin dan konsisten. Caranya bisa dengan terus mendengungkan di setiap rapat bahwa perubahan yang sudah dilakukan berefefek positif terhadap kinerja perusahaan. Atau dengan menulis artikel rutin untuk diakses semua karyawan bahwa transformasi yang selama ini dilakukan berhasil meningkatkan laba perusahaan.

Yang kedua adalah dengan telaten memastikan bahwa generasi kepemimpinan selanjutnya sudah benar-benar menjadi personifikasi akan transformasi. Syarat promosi di setiap level haruslah melibatkan kompetensi dan sikap yang mendukung transformasi. Satu saja suksesi buruk terjadi di level top manajemen maka akan membuat keseluruhan transformasi menjadi gagal total. Suskesi buruk bisa terjadi ketika jajaran direksi tidak menjadi satu kesatuan akan upaya transformasi ini. Dalam hal ini mungkin penentu jajaran direksi selanjutnya harus paham akan upaya transformasi ini.