Keeping The Faith, The Discipline

Ketika kita memulai suatu kebiasaan baru dalam rangka membuat diri kita lebih disiplin, tantangannya adalah tetap menjalani apa yang dijanjikan pada diri sendiri, tidak peduli seberapa shitty diri ini tengah merasa, tidak peduli seberapa malas dan zero will-power kondisi kita saat itu.

Dua minggu sudah saya menjalani regime baru yang saya sendiri cukup surprise saya bisa menjalaninya dengan streak sempurna. Saya kira saya bisa menjalani terus, sampai saya memasuki minggu ketiga. Di sini, karena beberapa poin rutinitas regime saya sempat ter-interrupt karena ke Bandung (di mana beberapa di antaranya saya skip sampai dua hari berturut-turut), penyakit lama mulai menghantui.

Suara kecil di belakang kepala yang berbisik, “Sudahlah. Cukup sampai sini.”

Benar kata James Clear, kita boleh bolos dari apa yang sudah kita janjikan, tetapi kita tidak boleh membiarkan diri kita seperti itu terus-menerus. Kita harus kembali stick to our regime. Jika tidak, kata James, kebiasaan bolos itu akan cepat mengambil-alih menjadi kebiasaan baru yang sebetulnya sudah kadung tercetak di kebiasaan kita. Padahal kita sedang berusaha mencetak kebiasaan baru. Ini yang saya ingat-ingat betul.

Betapa mudah sekali jatuh ke perangkap ini. Awalnya cuma satu kali. Lama-lama dua kali, tiga kali, empat kali.. Hingga tanpa sadar, saya sudah melupakannya sama sekali dan kembali ke kebiasaan lama saya. Kebiasaan menyabotase diri sendiri. Sisi yang sangat saya benci dari diri saya sendiri.

Namun kali ini saya tidak boleh kembali ke kebiasaan lama saya itu. Saya sudah membuktikan ke diri saya sendiri bahwa saya bisa mempertahankan streak sampai 14 hari berturut-turut. Di minggu ke-3 mulai terjadi banyak hal-hal di luar program tetapi saya tidak boleh mengendur. Saya sadar bahwa saya sudah sampai sejauh ini, saya harus terus melanjutkannya sampai 30 hari penuh, lalu 60 hari penuh, lalu 90 hari penuh.

Kenapa ? Saya hanya ingin lihat dan penasaran, ada apa di hari ke-90 ketika saya berhasil menyelesaikan semuanya secara penuh. Mungkin tidak akan ada apa-apa, mungkin juga hari ke-90 akan sama saja dengan hari pertama. Namun, jika saya meyakini kisah si tukang batu di tulisan saya ini, maka saya harus terus menjalaninya. Jika hari ke-90 tidak ada apa-apa, saya haris percaya untuk meneruskannya sampai hari ke-120, atau bahkan hari ke-180, atau terus sampai ke hari ke-365. Membaca ulang angka-angka tersebut terasa berat dan sulit, namun saya tidak perlu memikirkannya.

Saya hanya perlu berjalan menunduk, fokus pada langkah kaki saya. Selangkah demi selangkah demi selangkah.

Selebihnya, biar Tuhan yang membawa saya ke tempat-tempat yang Dia inginkan.

Sic Parvis Magna

Pertama kali mendengar istilah ini saat saya main game The Uncharted 4. Artinya “Greatness from a Small Beginning” atau “Kejayaan dimulai dari awal yang sederhana/kecil”. Somehow saya pernah juga mendengar quote yang mirip waktu menonton film Kera Sakti. Saat itu Pendeta Tong Sam Chong yang berkelana ke barat kurang lebih berkata, “Perjalanan ribuan kilometer ke barat diselesaikan pada awalnya lewat langkah pertama.” Small beginning.

Saya jatuh cinta dengan quote Sic Parvis Magna setelah saya mulai mendalami ilmu tentang habit. Khususnya di bagian memulai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang mudah dilakukan, seperti yang saya tulis di postingan ini. Memulai dengan kebiasaan kecil yang mudah dilakukan sungguh merupakan manifestasi dari Sic Parvis Magna. Sesuatu yang kecil, tampak tidak berarti, namun jika dilakukan dengan konsisten secara terus menerus akan menghasilkan sesuatu yang besar. Satu-satunya yang membuat seseorang tidak menyadari hal ini karena ia menginginkan sesuatu yang serba instan.

Nah, ini baru sesuatu.

Sic Parvis Magna memiliki makna lebih dari sekadar permulaan yang kecil untuk sebuah kejayaan yang gilang gemilang. Ada formula khusus yang membuat sesuatu yang sedemikian kecil pada waktunya berubah menjadi sesuatu yang luar biasa.

Formula tersebut adalah konsistensi.

Dengan konsistensi, tercipta sesuatu yang disebut compound effect atau jika diterjemahkan secara bebas berarti efek berlipat ganda.

Video di atas menjelaskan dengan sangat baik mengenai konsistensi. Video tersebut memulai dengan sebuah cerita tentang pemuda bernama Mike (terdapat perbedaan detail dengan apa yang ditulis di sini) Suatu hari dalam perjalanan rutinnya sepulang bekerja, Mike menemui seseorang tengah memukul-mukul batu besar dengan peralatan seadanya. Penasaran, Mike-pun bertanya kepada si tukang batu tersebut apa yang sedang ia lakukan. “Oh, aku sedang berusaha untuk memecahkan batu ini,” jawab si tukang batu enteng. Mike dibuatnya heran. “Bagaimana mungkin dia bisa memecahkan batu ini dengan peralatan seperti itu ?” batin Mike. Namun Mike hanya tersenyum dan mengucapkan semoga berhasil kepada si tukang batu sambil pamit mohon diri.

Hari-hari seterusnya pun seperti itu. Setiap hari Mike disuguhkan pemandangan yang sama. Si tukang batu memukul-mukulkan peralatannya seolah tidak tahu kalau usahany itu sia-sia saja, menurut Mike. 1 minggu berlalu, setiap berpapasan dengan si tukang batu yg sedang bekerja, Mike mengamati batu dipukul dan sama sekali tidak nampak ada retak sedikit pun. 2 minggu.. 1 bulan.. 3 bulan.. Mike tidak tahan lagi. Di bulan ke-5 Mike mutuskan untuk memberitahu si tukang batu naif ini untuk berhenti dan melakukan hal yang lain.

“Bagaimana kalau Anda menyerah saja ?” kata Mike. “Ada hal lebih baik lain yang bisa Anda lakukan,” tambahnya. Si tukang batu hanya menatapnya sekali, tertawa kecil, dan kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa menjawab sepatah kata-pun. Kesal karena tak mendapatkan reaksi apapun, Mike melengos pergi sambil berkata di benaknya, “Mungkin orang ini memang gila!” Namun baru saja Mike melangkah 2-3 langkah pergi, telinganya menangkap bunyi batu yang retak. Mike berbalik dan terkesiap menemukan batu tersebut kini terbelah dua.

“Tapi bagaimana mungkin ?” kata Mike pada si tukang batu. “Apakah Anda menggunakan alat lain atau kini tenaga Anda lebih kuat dari sebelum-sebelumnya ?” cerocos Mike.

“Tidak ada,” jelas si tukang batu dengan tenang. “Alat saya hanya seperti ini sejak saya memulai, dan saya yakin saya tidak bertambah kuat meski sudah melakukan ini dalam waktu yang cukup lama,” tambahnya.

Melihat Mike masih kebingungan, si tukang batu mencoba menjelaskan lebih lanjut sebisanya, “Tidak ada hal berbeda yang saya lakukan sejak pertama saya melakukan ini sampai hari ini. Saya hanya meyakini kalau setiap progress kecil itu nyata adanya, meski tak terlihat dan tidak berarti. Bukan berarti itu tidak ada sama sekali. Kita hanya perlu untuk percaya dan tetap melakukannya.”

Barangkali kita sering mengalami hal ini (untuk yang jarang mengalami, good for you!): Kita membeli gym membership yang cukup mahal itu namun ditengah jalan kita hanya membayar saja tetapi tidak pernah lagi menggunakan fasilitas yang sudah kita bayar. Beberapa di antara kita semangat berolahraga di gym di awal-awal hanya untuk menemukan diri kita setelah beberapa lama berhenti dan mengabaikan semangat itu.

Mengapa ya seperti itu ? Bagaimana jika, setiap jam yang kita habiskan di gym sama dengan menurunkan berat badan kita 2 kg dan memperkuat massa otot tubuh 10%, saat itu juga ? Pastinya semangat kita tidak akan timbul tenggelam khan ? Mengapa ? Karena kita langsung melihat hasil dari upaya kita secara instan. Namun kita semua tahu, bahwa skenario 1 jam olahraga di gym sama dengan 2 kg berat badan turun itu tidak pernah akan terjadi (at least sampai hari ini, cuma Tuhan yang tahu di masa depan akan seperti apa). Kita juga tahu, bahwa menurunkan berat badan dan membentuk perut six pack tidak bisa dicapai dalam hitungan hari. Mungkin itu sebabnya kita sulit konsisten, karena reward dari apa yang kita upayakan tidak serta merta kita lihat hasilnya saat itu juga.

Beberapa dari kita ingin hasil instan.

Dan sayangnya, hukum alam tidak berjalan demikian. Semuanya perlu proses dan seringnya, formula dasar dari proses tersebut adalah kesabaran dan keyakinan.. Atau mungkin kepasrahan. Apapun itu, hukum alam menghendaki mereka yang berproses untuk tetap patuh, disiplin di dalam proses tersebut. Seperti si tukang batu.

The Crippled Boy

The boy walks

He needs to keep on walking

Because he walks on the treadmill made of time

The boy may stand still, but the treadmill keeps on rolling

Because the treadmill stops for no man, nor any boy

The boy walks

Now crippled with less possession to his own hearts

Because somehow it is no longer belong to him

The boy walks

Now completely at mercy

I don’t have anything, cried the boy, I could torned away anytime any moment, he added

Beyond him but ridiculously close to him, The Maker saw

The Maker always witness

The Maker always hear

The Maker knew the boy barely walked The Path

The boy had so much to prove, the boy had so many to redeem

But fear not, deemed The Maker

You are getting there.

[Old-Post] I love you. And I want you to love me. That’s why I bullshit you everyday.

Banyak tulisan telah dibuat mengenai kepercayaan dan cinta, yang menyatakan bahwa apabila kita bisa membangun hubungan yang penuh cinta dan kepercayaan, maka kita bisa saling jujur satu sama lain.

Aku justru mempercayai yang sebaliknya.

Memang enak ketika aku bisa mencintai sekaligus mempercayai seseorang, tetapi jika aku tidak merasakan ini, apa yang bisa aku lakukan ? Kepercayaan dan cinta adalah sebuah perasaan SEBAGAI respon-ku terhadap orang lain, dan respon ini TIDAK BISA direkayasa.

Ini hanyalah tentang apakah aku merasakan cinta, atau tidak.

Segala penekanan atau penegasan terhadap bahwasanya kepercayaan dan cinta bisa dihasilkan lewat berpura-pura mempercayai dan mencintai—dengan alasan : “karena ini sehat, dan akan membawa kedekatan, kejujuran, dan lain sebagainya”—hanya akan menambah kepalsuan dan ketidak-jujuran untuk setiap perilaku yang ada.

Namun demikian, kejujuran, adalah sebuah perilaku (alih-alih respon) dan merupakan sesuatu yang bisa aku pilih. Aku tidak bisa memilih untuk mencintai atau mempercayai, TETAPI aku selalu bisa memilih untuk jujur atau tidak.

Dan ketika aku memilih untuk sungguh-sungguh jujur dengan berkata sesuai dengan apa yang memang aku alami dan rasakan, aku menunjukkan bahwa aku bisa dipercaya.

Hanya perilaku inilah yang mampu memanggil respon kepercayaan. Kepercayaan merupakan responku terhadap seseorang yang aku tahu bisa aku percaya. Meski aku tidak menyukai seseorang, aku bisa mempercayainya apabila dia senantiasa jujur padaku, dan aku menghormati keinginannya untuk jujur.

Tentu saja, kejujuran TIDAK SELALU membawa respon berbentuk cinta, namun ini sangatlah esensial. Ketika aku jujur apa adanya, dan kamu meresponku dengan kehangatan dan kepedulian yang tulus, maka di sini telah ada yang namanya cinta.

Sekali lagi, ketika aku jujur apa adanya, dan kamu meresponku dengan kehangatan dan kepedulian yang tulus, maka DI SINI telah ADA yang namanya CINTA.

giphy
Jika aku berkalkulasi dan memasang perilaku palsu hanya untuk menyenangkan dirimu, kamu mungkin saja mencintai perilaku-ku, tetapi kamu tidak bisa mencintaiku, karena aku telah menyembunyikan keberadaan/eksistensi-ku yang sesungguhnya DI BALIK perilaku artifisial ini. Kendati pun kamu mencintaiku sebagai responmu terhadap perilaku-ku yang ini, aku tidak bisa BENAR-BENAR menerima cintamu.

Karena cinta itu telah teracuni oleh pengetahuanku, bahwa ia ada HANYA untuk image yang telah aku ciptakan, bukan benar-benar untukku. Dengan begitu, aku pun harus senantiasa berjaga, memastikan bahwa aku selalu memelihara image-ku ini sehingga cintamu takkan pergi kemana-mana.

Karena aku telah menutup diriku sendiri dari cintamu dengan cara ini, aku akan selalu merasa kesepian dan tidak dicintai. Oleh karenanya, aku dengan putus asa terus memanipulasi diriku sendiri juga kamu, untuk selalu bisa mendapatkan cinta ini.

Betapa kontrasnya keadaan kita jika aku membuka diriku apa adanya, baik terhadap diriku sendiri maupun terhadap dirimu, dan kamu merespons-ku SEBAGAIMANA AKU DI SAAT ITU (tanpa perlu kamu ditemani oleh penilaianmu, pengalaman masa lalumu, prasangkamu, harapanmu, nilai-nilaimu, moralitasmu, serta dogma dan doktrinmu).

Aku akan bisa menerima segala sesuatu sepenuhnya, serta menyadari betul kepuasan dan kesejatian ketika bersamamu.
Hubungan yang penuh kejujuran ini tidaklah selalu menyenangkan. Tentu saja. Terkadang kita merasa sedih, marah, kecewa, dan hancur karenanya.

Tetapi demi Tuhan, it is always SOLID, REAL, and vitally ALIVE. *

* Diterjemahkan (dan telah sedikit disesuaikan dan dibumbui oleh saya sendiri for (maybe) your own comfort and enjoyment in reading translated stuff) dari John O. Stevens dalam Awareness : Exploring, Experimenting, Experiencing (1971), yang dikutip dari Brad Blanton dalam Radical Honesty (1996 : 56-58)

51nisckhnol

—–oOo—–

Mungkin kita cukup takut untuk mengetahuinya. Atau kita terlalu sibuk untuk meluangkan waktu mencarinya. Atau barangkali justru kita terlampau dungu dan bebal untuk menyadarinya.

Kebenaran itu. Kesejatian itu.

Itulah yang senantiasa kita rindukan segera setelah udara dunia merengkuh penuh kulit kita yang tipis untuk pertama kalinya. Itulah yang senantiasa kita dambakan segera setelah kita mengenal betapa nyaman, aman, dan hangatnya dekapan kasih Ibunda kita untuk pertama kalinya.

Kebenaran kadang merupakan sesuatu buruk rupa. Kebenaran kadang tak punya belas kasihan. Kebenaran kadang menghancurkan segalanya. Menghancurkan persahabatan, mematikan cinta kasih, memutilasi kesetiaan dan kepercayaan.

Tidak. Kebenaran seperti itu, karena manusia yang memberinya atribut demikian. Manusia melekatkan kata-kata sifat seperti itu SETELAH ada kepentingannya yang tak tercapai atau ada perasaannya yang porak-poranda.
Sedangkan kebenaraan tetap berada di sana. Berdiri mantap. Tak tergoyahkan. Bebas nilai, bebas prasangka, bebas definisi. Kebenaran yang apa adanya. Kebenaran yang selama ini sudah ada dalam diri setiap manusia. Menanti untuk diterima, diakui, dan disyukuri keberadaannya.

Why can’t we just accept the truth as it is ? Why can’t we just tell the truth ?

—–oOo—–

“We all lie like hell. It wears us out. It is the major source of all human stress. Lying kills people.. Evidence from the past doesn’t prove anything about current experience.. If we humans are to be saved form ourselves, individually as well as collectively, we have to learn more about the art and science of speaking the truth.”—Brad Blanton

“Kunci pertama menuju kebesaran adalah menjadi seorang yang sama dengan pribadi yang terlihat.”—Socrates

“All truths are easy to understand once they are discovered; the point is to discover them.”
—Galileo Galilei

“There are only two mistakes one can make along the road to truth; not going all the way,
and not starting.”—Buddha

“And you will know the truth, and the truth will make you free.”—John (8 : 32)

“Tidakkah manusia itu lucu, Bodhi ? Selama hidup mereka konstan mengeluh dan mengaduh, tapi begitu hidup ingin menarik diri, mereka tidak pernah rela.. Langkahkan kaki, tendangi kerikil, dan temukan Kesejatian itu.”—Dewi Lestari (Dee)

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar-balikkan [kata-kata] atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”—Q.S Annisa : 135

“I love you, and because I love you, I would sooner have you hate me for telling you
the truth than adore me for telling you lies.”—Pietro Ariteno

Mata yang Menipu

Kita tidak bisa mempercayai mata ini sepenuhnya.

What is seen deceives you.

Sedihnya, kita cenderung mengambil kesimpulan yg begitu decisive terhadap emotional state solely based on what is happening before our eyes.

Ditambah dengan kecanduan kita terhadap social media. Lengkap sudah.

Parade kebahagiaan dari orang-orang sekitar. Tentang pertemuan hangat dan intim dengan teman dan keluarga. Tentang anak-anak mereka yg menggemaskan. Tentang perjalanan mereka ke tempat-tempat yg mengagumkan ke pelosok dunia. Tentang prestasi dan pencapaian mereka yg berkilauan.

internet-says

Kita melihatnya. Dan kadang benak ini tak pelak mengkerdilkan diri masuk ke lubang gelap dingin bersama teman imajiner yg kerjanya hanya berbisik : “Sepertinya hanya engkau-lah satu-satunya yg tidak bahagia.”

Nyatanya kita tidak pernah bisa mengetahui keadaan orang lain yg sebenar-benarnya. Apalagi orang-orang yg lebih sering kita ketahui kehidupannya lewat social media.

People have their own problem, katanya, no matter how shiny they looked before your eyes.

Everyone fought their own battle, katanya.

Longing

Tanpa di sadari, kita senantiasa menjalani hidup ini dengan ‘auto-pilot’. Raga kita menjalani aktivitas sehari-hari seperti berjalan kaki, naik kendaraan, makan, minum, dan sebagainya, tetapi “kita tidak benar-benar hadir di sana”.

Physically we are doing regular stuffs but our mind was venturing elsewhere.

We are not present. We are either strolled back to the past, or flown away into the imagination of futures, or something in between.

Kita jadi seperti robot. Zombie. Walking dead.

Pagi itu di tahun 2014, ketika saya  masih kuliah di United Kingdom, sekitar pukul 7.00 GMT, saya berjalan kaki dari flat menuju terminal bus. Rutenya sama. Pemandangan sekitaran jalannya sama, hanya saja lebih sepi, meski di kala itu matahari sudah bersinar terang.

Biasanya saya pun berjalan dengan mode auto pilot. Kaki dan tubuh ini seperti sudah di program untuk menuju tujuan tanpa cela sedikit pun. Dan saat itu juga pikiran saya pun telah berpergian melintasi ruang dan waktu ke tempat lain sesuka hatinya.

Tetapi tidak pagi itu.

Sepanjang jalan saya memandangi sekitar saya. Gedung kampus, jalanan yang sepi, rumah-rumah penduduk, pub dan bar, rumput-rumput hijau, bunga-bunga di taman yg berwarna-warni.

Seketika saya pun terpesona menyadari bahwa kini saya sudah sedemikian terbiasanya hidup di sini.

Hidup jauh dari rumah. Jauh dari semua yg saya ketahui dan kenali selama 28 tahun.

Somehow saya pun menyadari betapa kecil dan sendirinya diri ini, terlepas dari banyaknya teman dan sahabat yg senantiasa hadir baik secara fisik maupun maya.

In fact, we are always alone. If not now, then tomorrow. If not in this life, then in our deathbed.

We are meant to be alone in the end.

I am humbled.

Kunci

Being consistent and discipline is hard. That is why greatest people alive are always a few among many. Because to do such consistency and discipline so just plain hard.

Ada yang bilang kalo disiplin dan konsistensi itu di dorong oleh yg namanya ‘Purpose’. Bahasa Indonesianya mungkin “Maksud” atau “Tujuan” tapi somehow dua kata ini tidak se-powerful bahasa aslinya.

Yeah, sedemikian powerful sehingga sanggup mendorong seseorang untuk mengabaikan malas, distraksi, dan penghalang-penghalang psikologis lainnya dalam rangka melakukan apa yg harus dirinya lakukan.

Purpose.

Somehow, itu jugalah yg membentengi diri dari perasaan insecure, terutama ketika melihat orang-orang lain yg tampaknya senantiasa berbahagia dan sukses. Betapa manusia itu merupakan makhluk yg sangat cepat mengambil kesimpulan dari sedikit informasi yg dia terima.

Betapa manusia itu senang sekali melakukan ‘deletion’ terhadap kenyataan yg sesungguhnya terjadi.

Kadang memang kenyataan yg tersaji memang tidak utuh. Kadang kenyataan yg tampak sama sekali tidak mendeskripsikan yg sesungguhnya.

Semuanya serba sepotong. Dan potongan ini kita telan bulat-bulat untuk kita jadikan satu-satunya kebeneran di benak kita.

We simply don’t know shit about other people. We will never know, no matter how open they are to us or how a celebrated attention-seeker whore they are on the social media.

Just like our own selves. There is always things we kept to ourselves.

Something dark. Something that we’re so afraid of to be known to others. Something that is mysterious even to ourselves.

gilmer__the_darkness_inside_by_vialir-d6owuhv

I am still looking for a key that unlock the mystery to myself.

Don’t we all ?

Menempa Diri

Sepertinya memang benar.

Adalah sulit untuk konsisten ketika reward yg kita inginkan tidak segera datang.

Betapa sulitnya mendidik diri ini untuk menghargai proses yang panjang dan berkesinambungan.

Betapa laparnya diri ini akan sesuatu yg serba instan dan cepat, tanpa melibatkan usaha yg banyak.

Sungguh berbahaya.

Secara tidak sadar, kecenderungan ini melemahkan integritas diri, mengkerdilkan keteguhan hati, serta menciutkan kedisiplinan mental.

All my life, saya selalu melihat banyak hal digambarkan melalui kurva lonceng. Orang-orang yg katanya “berhasil” (apapun bentuknya) jumlahnya selalu sedikit.. Termasuk yg terbilang “gagal”, di mana jumlah mereka sama sedikitnya dengan mereka yg berhasil. Mereka tergambarkan dengan sisi-sisi lonceng yg menurun.

Yg paling banyak jumlahnya adalah mereka yang “biasa-biasa” saja. Tergambarkan dengan badan lonceng yg gemuk dan lebar.

2014-10-03-blogbellcurve
Bell Curve – Huffington Post

Yang harus diyakini pasti adalah bahwa the progress is real. And its lingering effect should be felt soon if we are to keep going and not giving in to the laziness or boredom.

Barangkali kuncinya adalah menjaga agar rantai konsistensi ini tetap terjaga dan jangan sampai putus.

Ketika terputus, tidak akan ada efek apa2 kecuali judgment hebat dari sendiri tentang betapa payah dan lemahnya diri ini. Sesuatu yg mengerikan.

Ketika si rantai konsistensi dan disiplin bisa terus dijaga, dari hari ke harinya, ada reward yg sesungguhnya datang dengan instan : Perasaan yang sangat enak untuk dirasakan seharian.

Perasaan memiliki kuasa penuh atas diri sendiri dengan kepercayaan diri yang solid.

Perasaan bahwa diri ini tidaklah seperti apa yg dihakimi oleh diri sendiri selama ini.

Rasa kemenangan.

Perasaan transformasi diri yg membebaskan.

Ini adalah sebuah pembuktian diri. Bukan kepada orang lain, melainkan kepada sang hakim yg ada di dalam diri ini. Sang hakim yg selama ini sudah terlanjur menghakimi diri sendiri dengan label pemalas, indisipliner, inkonsisten, lemah integritas, dan hal-hal buruk lainnya.

Still a long way to go.

 

I am My Own Worst Enemy

Manusia seumur hidup gak berhenti diuji integritasnya. Setiap hari. Setiap saat. Kalau pun gak ada orang lain yg ngeh, keutuhan pribadi itu tetep diawasi oleh sang hakim yg ada di dalam diri sendiri.

Konsekuensi dari sistem “free will” yg di-install ama Tuhan. Kita sebagai manusia jadi selalu punya pilihan untuk melenceng dari apa yg sudah kita janjikan keluar.

Or is it ?

Jadi inget bukunya “The God’s Debris” yg bilang kalo kebebasan memilih yg dianugerahkan sama manusia itu gak lain gak bukan adalah ilusi semata.

50221-_uy440_ss440_

Ilusi yg diciptakan untuk membuat manusia berpikir kalau dia-lah yg sesungguhnya memegang kendali dalam kehidupannya.

Ilusi yg didesain untuk membuat manusia berpikir kalau dirinya-lah yg menentukan nasibnya sendiri.

Salah satu gagasan dari “The God’s Debris” yg paling mengguncang nalar adalah ketika ada pertanyaan :

“Jika Tuhan Maha Mengetahui segalanya, maka apakah Dia mengetahui nasib-Nya sendiri ?”

Pemikiran yg menarik sekaligus mengganggu. Belum baca sampe selesai karena abstraksi buku itu masih sulit untuk dicerna.

Anyhoo, balik lagi ke integritas, itu kayanya jadi isu sentral kebanyakan orang saat ini. Termasuk saya.

Susah jadi manusia itu.

Akhir-akhir ini saya jadi makin paham kenapa Muhammad SAW pernah bilang kalau peperangan terbesar terjadi di dalam diri manusia itu sendiri. Karena peperangan ini berlangsung seumur hidup, dan setiap saat. With a little break. And occured oftenly when you are at least expected it.

I am my own worst enemy.

7d98acf9f5d0efcdc18d5efd7c4071be

[Old-Post] The Last Samurai : Reflecting to the Now, where Devotion is Scarce

Film lain yang memberi impact cukup dalam menurut saya adalah film-nya Tom Cruise, The Last Samurai (2003).

Ada satu kalimat yang sampai detik ini masih terngiang-ngiang di benak yaitu :

They are an intriguing people (mengacu ke orang-orang di desa Samurai), from the moment they wake.. They devoted themselves to the perfection of whatever they pursue. I have never seen such discipline.”

Devotion. Toward perfection.

Kata-kata itu begitu menancap dalam di benak ini.

Apa rasanya memiliki rasa pengabdian tak tergoyahkan akan sesuatu hal ?

Bahasa sekarangnya mungkin adalah komitmen dan disiplin.

Its a hard thing to do. Really.

Saya coba menelaah mengapa ini sulit dilakukan dari berbagai sisi.

Yang pertama adalah perbedaan zaman. Zaman sekarang, terlalu banyak distraction. TV, radio, box office movie, video game, social media, youtube. Flood of information. We are getting more than we can grasp and even comprehend. Zaman sekarang adalah zaman di mana fokus semakin sulit dilakukan.

Ngerjain tugas, cari bahan di googling, tiba-tiba perhatian tertarik sama hasil search google yang lain, klik ke sana, ternyata isinya menarik, and gone..

Niatnya break ngerjain tugas dengan cara youtube-ing, niatnya nonton satu video klip, terus liat tabel youtube recommendation, banyak hal-hal yang menarik di sana, klik ke situ, nonton, klik lagi lanjutannya, nonton, one thing led to another, and gone..

Siapa bilang kalau zaman sekarang itu hidup jadi lebih mudah ? No it is not.

Kalau zaman dulu memang basically there is nothing else to do selain melakukan apa yang dilakukan oleh samurai-samurai itu. Zaman sekarang memang lebih serba lebih mudah dan nyaman dalam hal akses informasi, tetapi itu ternyata menimbulkan korosi terhadap fokus dan disiplin diri.

Kayanya belum pernah umat manusia diuji seperti ini di zaman-zaman sebelumnya. Tantangannya makin berat.

Manusia sekarang diuji bukan karena kekurangan resource kaya di zaman dulu, tetapi karena kelebihan resource, terutama informasi.

Manusia sekarang secara konstan diuji terus kapasitas fokus, konsistensi, dan komitmennya.

Zaman sekarang begitu kompleks, rumit, dan.. Berisik.. Sehingga kesederhaan dan hal minimalistik adalah sesuatu yang begitu dirindukan. Setidaknya bagi saya.

Yang berikutnya mungkin adalah efek pendidikan orang tua. Well, bahkan Ibu saya pernah bilang kalau : “Ini salah mamah, mamah dulu terlalu memanjakan kalian.”

Orang tua zaman sekarang dengan segala kemudahan teknologi itu akhirnya jadi cenderung lembek dan terlalu memanjakan anak-anaknya. Dan anak-anak ini, dengan pengetahuan dan akses tanpa batas ke dunia luar mereka, jadi lebih banyak punya referensi tentang apa yang terjadi di luar sana. Akselerasi kecerdasan mereka akan semakin menggila.

Lagi-lagi, belum pernah sebelumnya orang tua diuji oleh pendidikan anaknya sendiri seperti di zaman sekarang. Membesarkan anak di zaman sekarang keliatannya adalah sesuatu yang penuh resiko. Terutama bagi si anak itu.

Si anak bisa menjadi sangat cerdas dan pintar dengan sebegitu instan, sehingga mereka jadi lack of appreciation terhadap proses. Well, ini hanya pandangan saya. Saya sendiri belum pernah membesarkan anak.

Tetapi poin utamanya adalah, zaman sekarang orang-orang sepertinya pingin segala sesuatu serba instan. Dan saya sendiri memiliki kecenderungan seperti itu. Mengerikan.

Makin ke sini, berarti manusia semakin menyimpang dari apa yang sudah digariskan oleh alam. I mean, there is nothing instant in this universe. Alam sudah mengajarkan kita bahwa segala sesuatunya bertumbuh perlahan dengan anggun dan pasti, memenuhi takdirnya sendiri-sendiri, terus bertumbuh hingga akhir. Akhirnya kapan ? Tidak ada yang tahu, but it doesn’t matter, they will keep growing without a scent of prejudice.

Anyway, pokoknya zaman sekarang hidup itu lebih sulit, karena segala sesuatunya semakin mudah.

Paradoks yang membingungkan sekaligus mengagumkan.